32. Perkampungan Bumi

2.9K 52 1
                                    

Tiba2 orang tua yang duduk sebelah kanan berdiri lalu membungkuk hormat kepada orang tua ditengah sebagai raja itu dan berkata: "Orangnya sudah siuman, apakah yang mulia hendak mengajukan pertanyaan?"

Kata2 'Yang mulia' ini membuat berdebar keras hati Suma Bing, batinnya apakah aku berhadapan langsung dengan Raja.

Terdengar raja junjungan itu berkata suaranya keras lantang: "Hu pit (nama pangkat; penasehat raja) berdua tinggal, yang lain bubar!"

"Terima perintah!"

Orang tua yang memegang lencana itu memutar tubuh sambil mengulapkan tangan: "Sidang selesai!"

Maka orang2 yang berdiri dikedua pinggiran itu beramai-ramai membungkuk hormat tanpa bersuara mereka beriring keluar meninggalkan ruang istana besar itu.

Sekejap saja semua orang sudah mengundurkan diri, tinggal dua orang tua yang memegang lencana masih tetap berdiri didua pinggiran, agaknya kedua orang tua inilah Coh yu Hut pit atau Coh hu dan Yu pit (penasehat dikiri dan kanan).

Terdengar Yu pit bertanya dengan nada berat: "Suma Bing, majulah menghadap Te kun (raja bumi)."

Nama Te kun ini lagi2 membuat hati Suma Bing berdetak. Terhitung sebutan apakah ini.

Dengan penuh keheranan dan tak mengerti matanya menatap kedepan, kakinya tidak bergeser dari tempatnya. Dari sinar mata orang yang tajam berkilat dapatlah diketahui bahwa mereka2 ini juga kaum persilatan, tapi keadaan dan jubah2 kebesaran...

Yu pit berseru lagi: "Suma Bing, maju menghadap!"

Kaki Suma Bing bergeser sedikit tapi tidak maju melangkah, hatinya bimbang dan penuh tanda tanya.

Segera Coh hu ikut berkata: "Yang mulia adalah junjungan resmi dari Giok te (raja kahyangan), kau seorang rakyat jelata, berani kau menghadap tanpa berlutut".

Seketika Suma Bing mengucurkan keringat dingin, kiranya mereka ini adalah malaikat dan bukan manusia biasa. Jadi sebenarnya dirinya ini masih hidup sebagai manusia atau tinggal arwah halusnya saja?

Tanpa terasa lemah kedua kakinya per-lahan2 ditekuk terus berlutut, mulutnya berkemik lirih:

"Menghadap..."

Menghadap apa dia tidak kuasa meneruskan, entah dia harus menyebut apa kepada raja junjungan dihadapannya ini.

Te kun (raja bumi) angkat sebuah tangan serta berseru: "Silahkan duduk!"

Coh hu segera melangkah maju menarik Suma Bing sambil menunjuk sebuah tempat dibawah sebelah kiri.

Hati Suma Bing kosong hampa dan tidak tentram, meski tempat duduknya itu empuk tapi dalam perasaannya dia tengah duduk diatas permadani yang penuh bertaburkan jarum.

"Suma Bing, laporkan keterangan leluhurmu!"

"Ayah almarhum Suma Hong..."

"Sudah cukup, dari perguruan mana?"
Sejenak Suma Bing melengak, lalu sahutnya: "Murid dari perguruan Sia sin Kho Jiang!"
"Apakah kau pernah berguru pada perguruan lain?"
"Tidak!"
"Lalu kepandaian Bu siang sin kang itu kau pelajari dari siapa?"
Menyinggung Bu siang sin hoat, timbul kecurigaan dalam benak Suma Bing, dia berani pastikan bahwa orang2 dihadapannya ini juga dari kaum persilatan, dan bukan malaikat apa segala. Tentang mengapa menyamar malaikat dan memboyong dirinya ketempat itu sampai saat itu dia, masih tak mengerti dan tak dapat membayangkan sebab musababnya.
"Memang Bu siang sin hoat bukan kupelajari dari mendiang guruku, kupelajari dari seorang Cianpwe..."
"Siapa?"
"Aku yang rendah pernah bersumpah untuk tidak menyebut2 namanya dihadapan orang lain"
Mendadak dia merobah sebutan dirinya dengan aku yang rendah sehingga Te kun serta Coh hu dan Yu pit berobah air mukanya.
"Apakah Bu siang sin li?"
"Maaf aku tidak berani menjawab!"
Air muka Te kun sedikit berobah, matanya melirik kekanan kiri dan berkata kepada dua orang penasehatnya: "Urusan selanjutnya biar kalian selesaikan sendiri!"
"Terima perintah!"
Bergegas Raja bumi bangkit terus menghilang dibalik pintu angin sebelah samping.
Setelah membungkuk tubuh mengantar Rajanya mengundurkan diri. Coh hu dan Yu pit duduk kembali ditempat duduk masing2.
Sekian lama mereka meng-amat2i Suma Bing, lalu Coh hu berkata: "Suma Bing, apa kau tahu mengapa kau diundang masuk kedalam istana?"
"Aku yang rendah tidak mengerti?"
"Kau berjodoh dengan Kiongcu, maka kau diundang masuk istana diangkat sebagai Hu ma (menantu raja)!"
Diam2 Suma Bing memaki omong kosong dan ngaco belo belaka. Sudah terang aku digondol kemari secara paksa, indah benar kalian menggunakan istilah mengundang menghadap raja. Karena batinnya ini segera ia menyahut dingin: "Untuk hal ini aku tidak mau terima!"
"Kau salah!"
"Dimana letak kesalahan aku yang rendah?"
"Ini merupakan perintah dari Raja bumi!"
"Tapi aku bukan punggawa dari Raja bumi kalian, maka tidak perlu aku harus tunduk akan perintahnya."
"Jodoh telah mengikat dan sudah terdaftar diatas batu kelahiran. Kau tidak boleh menolak atau membangkang lagi!"
"Urusan perjodohan bukan main2, mana bisa menggunakan paksaan?"
"Hahahahaha, Suma Bing, marilah kau ikut aku!"
Dengan penuh keheranan Suma Bing mengintil dibelakang Coh hu, mereka memutar kesamping pintu terus memasuki sebuah ruang lain yang lebih kecil. Dengan tangan kiri Coh hu menunjuk sebuah bola kaca yang terporot melesak kedalam dinding, katanya: "Kau lihatlah sendiri!"
Dengan hati kebat-kebit Suma Bing maju mendekati bola kaca itu, begitu matanya mendekat dan melihat pemandangan didalamnya, seketika ia menjerit keras tubuhnya terhuyung hampir roboh. Kiranya pemandangan dalam bola kaca itu menunjukkan sebuah hutan dimana tempat dia berkelahi melawan Rasul penembus dada, diatas tanah rebah sesosok mayat yang berlepotan darah susah dikenali dan tidak perlu disangsikan bahwa mayat itu adalah dirinya sendiri.
Jengek Coh hu dingin: "Sudah jelas belum?"
Otak Suma Bing serasa buntu pepat bekerja, semangatnya lesu, sahutnya lirih: "Apa benar aku sudah mati."
"Benar, kau sudah mati!"
"Jadi aku ini adalah arwah halus, bukan manusia lagi?"
"Ditempat perjodohan yang sembabat ini, kau sekarang adalah malaikat!"
Begitulah mereka berdua kembali lagi keruang besar tadi, Suma Bing terlena duduk ditempat asalnya, kenyataan menumbangkan keraguan hatinya bahwa orang2 yang dia hadapi ini ternyata adalah malaikat dan bukan manusia.
Tapi cara bagaimanakah kematian dirinya?
Kecurigaan hatinya masih belum lenyap. Tapi kenyataan membuktikan mau tak mau dia harus mengakui bahwa dirinya memang benar2 sudah mati, malah mayatnya terlantar dalam rimba tanpa liang kubur yang layak. Terpikir olehnya dendam kesumat dan sakit hatinya semasa masih hidup, tanpa terasa dia mengeluh dan berteriak panjang: "Aku tidak boleh mati, aku tidak rela mati."
Yu pit menjengek dengan suara dingin: "Tapi sekarang kau sudah mati!"
"Aku... tidak boleh mati!"
"Apa ada angan2mu yang belum terlaksana?"
"Dendam perguruan, sakit hati orang tua, budi para sahabat aku harus menyelesaikan semua itu satu persatu."
"Tentang itu gampang dilaksanakan!"
"Benar, setelah melangsungkan pernikahanmu dengan Kiongcu, sudah secara resmi kau sebagai Huma, keluar masuk istana terserah sesuka hatimu tiada orang yang berani melarang. Sampai pada saat itu, bolehlah kau melegakan hatimu untuk menuntut segala sakit hati dan dendam sesuka hatimu."
"Apakah omonganmu benar?" tanya Suma Bing gemetar.
"Sudah tentu benar!"
"Tapi..."
"Tapi apa?"
Mendadak teringat olehnya akan Phoa Kin sian istrinya yang sudah mengandung itu, hati terasa seperti di-iris2 dengan pisau hampir2 saja airmata meleleh keluar. Sungguh tak kira belum lama mereka berpisah, ternyata harus bercabang jalan untuk tidak akan bertemu lagi se-lama2nya. Tidak ketinggalan terbayang juga wajah Siang Siau hun gadis rupawan yang mati2an mencintai dirinya, Ting Hoan gadis simpatik yang juga telah terang2an menyatakan isi hatinya kepadanya, semua ini kini sudah menjadi bayangan belaka dan akan menjadi kenangan sepanjang masa.
Seumpama dia melulusi untuk menjadi Hu ma, atau calon menantu raja, apakah tindakannya ini tidak terlalu kejam terhadap istrinya Phoa Kin sian yang merana itu? Karena pikirannya ini tercetus seruan dari mulutnya: "Tidak, aku tidak seharusnya begitu."
Alis Coh hu berkerut dalam, tanyanya: "Apanya yang tak boleh?"
"Aku tidak boleh menyia2kan cinta..."
"Suma Bing, jalan terang dan gelap harus dapat kau bedakan, malaikat dengan rakyat jelata mana boleh bercampur baur, jangan kau menyiksa dirimu sendiri, perjodohanmu ini sudah merupakan takdir ilahi, kau tidak boleh menolak, kalau tidak... kau akan mendapat hukuman Tuhan."
Suma Bing menjadi nekad, sahutnya: "Aku yang rendah rela mendapat hukuman itu."
"Keputusan tidak terletak ditanganmu"
Segera Yu pit mengetok meja dengan sebuah mistar dan bertembang lantang: "Harap Te kun segera membuka sidang!"
Disusul lonceng dibelakang istana sana berdentang ramai, orang2 yang tadi mengundurkan diri kini be-ramai2 memasuki pula ruangan istana itu secara teratur dan rapi.
Otak Suma Bing terasa pepat, hatinya kosong matanya mendelong mengawasi segala perobahan dihadapannya, ingatan yang selalu mengganjel dalam benaknya adalah 'Aku sudah mati!' bayangan ini bagai gigitan seekor ular yang selalu menggerogoti sanubarinya. Betapapun dia tak rela mati begitu saja. Akan tetapi, kenyataan dia sudah mati. Gambaran yang terlihat dalam bola kaca itu merupakan kenyataan.
Begitu Te kun menempati tempat duduknya, be-ramai2 para hadirin memberi hormat.
Coh hu tampil kedepan dan angkat bicara: "Dipersilahkan junjungan yang mulia memberikan restu dalam pernikahan ini."
"Silahkan Kiongcu menghadap!"
Diluar pintu ruangan sana terdengar seruan yang sama.
"Silakan Kiongcu menghadap!"
Dalam sekejap tampak serombongan dayang2 istana membimbing seorang putri yang berpakaian mewah dan mengenakan banyak perhiasan berderap memasuki istana.
"Menghadap Baginda raja."
"Duduklah disebelah!"
"Ayah baginda memanggil anak, entah ada keperluan apakah?"
"Untuk menyelesaikan perjodohanmu yang sudah tersurat oleh takdir."
Serta merta Suma Bing melirik kearah Kiongcu, tergerak hatinya. Kiongcu ini sedemikian cantik rupawan bak bidadari. Kebetulan sinar mata sang Kiongcu juga tengah melerok kearahnya, begitu sinar mata mereka bentrok, kontan merah jengah wajah mereka. Tapi Kiongcu malah unjuk senyumnya yang menggiurkan.
Cepat2 Suma Bing tundukan kepala, hatinya berdetak keras, darah terasa mengalir deras tanpa terkendali.
"Apapun juga yang bakal terjadi, aku tidak akan menyia2kan cinta Phoa Kin sian kepadaku." demikian dalam hati ia berdoa dan ambil ketetapan.
Wajah tua Raja bumi kelihatan berseri girang suaranya lantang: "Segera perintahkan upacara pernikahan segera dimulai."
Begitu perintah ini disampaikan, suasana menjadi ramai musik mulai mengalun merdu. Dua orang protokol yang mengenakan jubah panjang warna merah segera tampil kedepan dan berdiri dikanan kiri.
Ingin rasanya Suma Bing menolak, tapi dalam keadaan yang penuh kewibawaan ini tak kuasa dia mengeluarkan kata2, sebab sekarang dia bukan lagi manusia yang masih hidup, ingatan atau pikiran ini selalu merangsang dan mengganggu ketenangannya.
Dengan kesima mematung dia menurut saja dituntun berdiri jajar dengan Kiongcu, lalu berlutut menghadap raja dan sembahyang janji setia kepada langit dan bumi. Setelah semua upacara selesai lalu mereka diantar masuk kamar penganten.
Cara mengatur dan hiasan kamar penganten ini juga sedemikian mewah dan anehnya tidak menyerupai cara2 dan adat2 kebiasaan dari manusia jelata umumnya.
Menghadapi istri yang cantik rupawan ini pikiran Suma Bing malah semakin kabur dan me-layang2.
"Siangkong!" dengan malu2 Kiongcu memanggilnya.
Bergetar sanubari Suma Bing, sahutnya: "Kiongcu..."
"Siangkong, aku bernama Pit Yau ang!"
"O!"
"Biarlah aku panggil kau engkoh Bing, kau panggil aku adik Ang saja."
Suaranya sedemikian halus merdu, apalagi dalam suasana malam penganten yang mempesonakan ini lebih menambah kemesraan ikatan batin mereka.
"Adik Ang!"
"Engkoh Bing!"
Mereka tersenjum berpandangan, lalu berpelukan dan berciuman.
Lama kelamaan yang terdengar hanyalah suara tawa halus kegelian dan helaan napas yang memburu, alam sekelilingnya menjadi sunyi senyap.
Entah sudah berselang berapa lamanya. Pelan2 Suma Bing mulai siuman, pelan2 dia bangkit dari tempat tidur, sekilas dipandangnya Pit Yau ang yang masih tidur nyenyak dialam mimpinya, dengan penuh kasih sayang diciumnya keningnya. Sambil mengenakan pakaiannya dia turun dari tempat tidur dan duduk diatas sebuah kursi, mulailah dia mengenangkan segala apa yang telah dialaminya...
Per-tama2 yang masuk dalam ingatannya, ialah sesaat sebelum dirinya terhujam oleh cundrik Rasul penembus dada, terang dirinya ditolong dan dibawa lari oleh seseorang, malah dia juga merasakan jalan darahnya linu kesemutan, lantas dia lupa se-gala2nya, bagaimana dirinya bisa mati?"
Sebenarnya istana apakah ini dan dimana letaknya?
Te kun atau raja bumi itu mengapa menanyakan riwayat dan leluhur serta perguruannya, terutama malah menekankan dalam bertanya tentang Bu siang sin hoat? Kalau dirinya benar2 sudah mati, mengapa dirinya tidak merasakan adanya hal2 yang janggal sebagai setan atau malaikat, semua2 ini dirasakan wajar dalam kenyataan sebagai badan kasar manusia umumnya, dan yang terpenting... berpikir sampai disini matanya melirik kearah ranjang gading dengan kelambu sutranya yang tersulam indah masih menjulai panjang.
"Janggal!" tiba2 tercetus pekik keras dari mulutnya.
"Engkoh Bing, apanya yang janggal?"
"Aku adalah manusia, aku belum mati!"
Sambil mengenakan pakaiannya pelan2 Pit Yau ang turun dari atas ranjang, Suma Bing tidak berani beradu pandang dengan sinar mata bening tajam bak bintang kejora, cepat2 ia tundukan kepala.
"Engkoh Bing!"
Terpaksa Suma Bing angkat kepalanya, suaranya gemetar: "Kita sudah menjadi suami istri?"
Pit Yau ang tertawa menggiurkan, ujarnya: "Siapa bilang bukan?"
"Tapi..."
"Tapi bagaimana?"
"Aku tidak percaya dan meragukan apa yang tengah kualami ini!"
"Tapi kenyataan sudah kau alami!"
"Aku merasa bahwa aku masih belum mati?"
Pit Yau ang tertawa penuh arti, katanya: "Mengapa kau pikirkan hal2 yang tidak genah itu?"
Berobah serius wajah Suma Bing, katanya: "Bagaimana kau bisa mengatakan hal ini urusan tidak genah?"
"Kita sudah menjadi suami istri, kita sudah bersumpah untuk seia sekata dan hidup rukun sampai tua, apakah ini belum cukup."
Berobah hebat air muka Suma Bing, bergegas dia bangkit dari tempat duduknya, serunya berjingkrak gusar: "Sebetulnya tempat apakah ini?"
Sekilas berobah juga air muka Pit Yau ang, tapi pada lain saat berobah pula dengan senyuman yang menggiurkan, katanya lemah lembut: "Engkoh Bing, duduklah kita bicarakan hal ini pelan2, mengapa mesti marah2?"
Tapi darah Suma Bing malah terasa mengalir semakin cepat, wajahnya merah padam bentaknya murka: "Sebetulnya dimanakah sekarang aku berada?"
Sahut Pit Yau ang dengan suara lirih lembut: "Perkampungan bumi, salah satu tempat kramat bertuah dari dunia persilatan."
"Perkampungan bumi!" teriak Suma Bing gemetar, tubuhnya terhuyung menggigil.
Mimpi juga tidak menyangka bahwa dirinya bakal terjatuh kedalam cengkraman Te po, salah satu dari tiga tempat keramat yang paling ditakuti dalam dunia persilatan.
Pura2 menjadi malaikat menyamar setan untuk memincut dan menipu dirinya supaya menikah dengan Pit Yau ang. Suatu perasaan kena tipu membuat darahnya mendidih, gusarnya bukan alang kepalang.
'Plok!' sebelah pipi Pit Yau ang yang putih halus itu seketika berpeta merah bekas lima jari yang jelas sekali, air darah kontan meleleh keluar dari ujung bibirnya. Dalam murkanya tamparan Suma Bing ini ternyata bukan olah2 kerasnya.
Air muka Pit Yau ang berobah pucat dan merah bergantian, tubuhnya yang semampai itu menggigil terhuyung, bentaknya bengis: "Suma Bing, kau berani turun tangan memukul orang?"
Suma Bing menggigit bibir, teriaknya: "Kuhajar wanita tidak tahu malu seperti kau ini, mau apa?"
Malu dan gusar merangsang gejolak hati Pit Yau ang, matanya merah hampir menangis, bergegas dia bangkit dari tempat duduknya, serunya gemetar: "Dimana aku tidak tahu malu?"
"Menipu aku untuk menikah dengan kau!"
"Aku menikah menurut kehendak orang tua, bagaimana dikatakan menipu?"
"Pura2 menjadi malaikat menyamar setan, dengan obrolan membujuk dan setengah ancaman bukankah ini menipu?"
"Kau dengarlah dulu penjelasanku..."
"Tidak perlu penjelasan." pekik Suma Bing sambil ulapkan tangan.
Berobah membesi wajah Pit Yau ang, timbul nafsu membunuh pada air mukanya, suaranya gemetar dingin: "Kau tidak mau dengar penjelasanku?"
"Tidak perlu!"
"Lalu kau hendak apa?"
"Kubunuh kau!"
"Apa kau mampu melakukan?"
"Mari kucoba."
"Kiongcu, ada terjadi apakah didalam?" para dayang yang menjaga diluar kamar menjadi gugup dan bertanya gelisah.
"Tidak ada urusan kalian, kamu pergi semua."
"Baik."
Air mata Pit Yau ang akhirnya meleleh juga membasahi pipi, ujarnya penuh haru dan sesenggukan: "Suma Bing, seumpama menipu kau, juga tidak mengandung maksud jahat, mana boleh kau tidak membedakan antara kebaikan dan kejahatan?"
"Masa tindakan kalian ini bermaksud baik?"
"Boleh dikata demikian."
"Cis." Suma Bing berludah.
"Suma Bing, kau pandang aku Pit Yau ang sebagai orang apa?"
"Perempuan tidak tahu malu!"
"Berani kau katakan sekali lagi?"
"Tidak tahu..."
Belum kata2 'malu' keluar dari mulutnya, Pit Yau ang sudah mencengkram jalan darah pergelangan tangan Suma Bing, cara geraknya yang cepat dan aneh benar2 sangat menakjupkan, sedikitpun Suma Bing tidak sempat berkelit.
"Suma Bing, berani kau menghina aku?"
"Menghina kau mau apa, perbuatan ini sangat rendah dan hina, sungguh tidak kira nama Te po yang dikumandangkan ternyata..."
"Tutup mulut, Suma Bing, kalau aku tidak segera turun tangan, siang2 kau sudah mati konyol dibawah cundrik Rasul penembus dada!"
Tertegun Suma Bing mendengar kata2 orang, ternyata bayangan misterius itu adalah dia (Pit Yau ang), dengan mudah dan seenaknya saja dia dapat menggondol pergi seseorang, betapa tinggi kepandaian dan Lwekangnya ini benar susah dibayangkan. Tapi begitu teringat akan maksud dari latar belakang semua itu, tanpa terasa ia mendengus dingin: "Maksudnya semula memang sudah hina dina, aku Suma Bing tidak terima budimu ini."
Pit Yau ang kertak gigi, katanya: "Suma Bing, keterlaluan kau menghina aku!"
"Hm."
Sebelah tangan Pit Yau ang dibalik menekan jalan darah Thian leng hiat di-embun2 kepalanya, ancamnya serius: "Baik biar kulenyapkan kau."
Tanpa kuasa bergidik badan Suma Bing, namun dasar sifatnya angkuh dan keras kepala kematian tidak akan melumerkan sifat pembawaannya ini, serunya penuh kebencian: "Boleh silahkan kau turun tangan"
Airmata mengalir semakin deras, Pit Yau ang kewalahan tangan dilepaskan katanya sedih memilukan: "Engkoh Bing, mengapa kau berbuat demikian, terhadap aku?"
"Lalu kau mau apa?"
"Jelek2 kita sudah menjadi suami istri!"
"Aku tidak mengakui!"
"Apa, kau... kau tidak mengakui?"
"Semua ini adalah tipuan belaka!"
"Suma Bing, badanku yang suci bersih ini sudah kupersembahkan kepadamu, ternyata kau..." berkata sampai disini, tangisnya semakin keras.
Tanpa terasa Suma Bing melirik keatas ranjang, benar juga terlihat noktah2 darah berlepotan diatas seprei, badannya gemetar seperti ayam kedinginan, memang betul badan Pit Yau ang yang masih perawan suci sudah diserahkan untuk dirinya, malah samar2 masih teringat dalam otaknya upacara pernikahan itu.
Kecantikan Pit Yau ang bak bidadari, lain dari yang lain, kepandaian silatnya juga luar biasa, malah putri dari majikan Te po yang kenamaan itu, mengapa tidak memperdulikan nama dan gengsi sendiri, melakukan tindakan2 yang memalukan ini?
Kalau perkampungan bumi hendak mencari menantu, bisa secara terang2an dan bebas memilih diantara sekian banyak manusia umumnya, mengapa pura2 menjadi malaikat menyamar setan untuk menipu dan menakuti orang? Terutama gambaran yang terlihat dalam bola kaca bundar itu susah dimengerti, apakah itu ilmu sihir?
Waktu teringat akan istrinya Phoa Kin sian yang sudah mengandung, terasa pilu dan seperti di-sayat2 hatinya, kelak bagaimana dirinya harus berhadapan dengan bibinya Ong Fong jui, bagaimana pula dia memberikan pertanggungan jawabnya kepada istri tercinta? Karena pikirannya ini giginya gemertak, tanyanya: "Pit Yau ang, kalian ayah beranak sebenarnya mengandung maksud apa?"
Pada saat itulah tiba2 diluar pintu terdengar seruan seorang dayang berkata: "Ada perintah dari Te kun, diminta Kiongcu dan Hu ma segera menghadap beliau diistana belakang!"
"Baik, sudah tahu!" segera sahut Pit Yau ang.
Suma Bing mendengus keras, serunya: "Kebetulan hendak kutanyakan kepada ayahmu, apakah maksudnya semua perbuatan ini..."
Berobah pucat wajah Pit Yau ang, suaranya ketakutan, "Jangan!"
"Mengapa jangan?"
"Kalau kau berlaku kurang ajar terhadap ayah, adalah kau cari mati sendiri!"
Lebih memuncak kemurkaan Suma Bing, matanya mendelik bagai kelereng: "Aku Suma Bing sudah terjatuh dalam cengkraman kalian ayah beranak, aku tidak peduli akan mati hidup."
"Kau... jangan!"
Suma Bing mendengus ejek.
"Aku mohon kepadamu!"
"Kau Pit Yau ang memohon kepadaku? Sungguh menggelikan kau salah menilai aku, Suma Bing ini bukan budak hina dina yang lemah tulang..."
"Engkoh Bing, sedikitpun tiada rasa cinta kasihmu terhadap pernikahan kita."
Tergerak sanubari Suma Bing wajahnya membeku, tanyanya: "Apakah maksudmu ini?"
"Engkoh Bing, sehari menjadi suami istri akan terkenang sepanjang masa, meski kau buang aku bagai barang rongsokan yang tidak berguna lagi, tapi masa aku tega melihat kau..."
"Beberapa kata ini enak didengar dan dapat meluluhkan hati. Tapi sayang aku Suma Bing bukan manusia lemah semacam itu."
"Engkoh Bing, kuminta kepadamu bila berhadapan dengan ayah, haraplah kau berlaku sabar!" sejenak ia merandek, lalu katanya lagi sambil menggigit bibir: "Tidak peduli syarat apapun yang kau ajukan, biar aku lulusi semua."
Sikap Suma Bing tetap dingin membeku: "Ucapanmu dapat dipercaya?"
"Sudah tentu!"
"Baik, kululusi permintaanmu!"
"Mari ganti pakaian segera kita keistana belakang."
Istana belakang juga tidak kalah besar dan megahnya, suasana disini lebih hening lelap, sinar lampu memancarkan cahayanya yang redup. Terlihat Raja bumi mengenakan pakaian preman tengah duduk penuh wibawa diatas kursi kebesaran.
Suma Bing mengiringi Pit Yau ang memasuki ruang istana, begitu dekat segera Pit Yau ang mendahului berlutut dan bersembah: "Anak menghadap ayah baginda!" Sebaliknya Suma Bing berdiri mematung tanpa bergerak, diam2 Pit Yau ang menarik ujung celananya, sinar matanya memancarkan permohonan yang harus dikasihani. Bentrok dengan sorot mata ini luluh dan lemah hati Suma Bing, terpaksa dia berlutut juga.
Sedikit mengerut kening Raja bumi angkat sebelah tangan seraya berkata: "Bangun, duduk dipinggiran!"
"Terima kasih ayah!"
Berdua mereka duduk diatas kursi yang terletak disebelah samping.
Sorot mata Suma Bing menatap lurus kedepan, air mukanya yang dingin membeku membuat gentar dan takut orang yang melihatnya.
Terdengar Raja bumi membuka kata dengan nada kalem dan berat: "Menantuku yang bagus, menurut undang2 tradisi dari kakek moyang kita, dari sejak sekarang juga, kau sudah merupakan ahli waris dari perkampungan bumi kita ini."
Keruan bergetar perasaan Suma Bing, cara bagaimanakah penjelasannya ini. Bagaimana mungkin dirinya menjadi ahli waris dari perkampungan bumi ini, malah menurut undang2 tradisi kakek moyang mereka lagi. Ini benar2 kejadian yang aneh bin ajaib dikolong langit. Maka segera sahutnya dingin: "Ini, sukar aku dapat menerima!"
Berobah pucat air muka Pit Yau ang, diam2 ia me-narik2 lengan baju Suma Bing.
Wajah Raja bumi berobah membesi dan gusar: "Ini merupakan undang2 besi selamanya tidak dapat diganggu gugat!"
Dasar sifat Suma Bing memang angkuh dan keras kepala, terlupakan sudah akan janjinya kepada Pit Yau ang, bantahnya: "Mengenai urusan besar begini harus tergantung kepada orang yang berkepentingan rela menerima atau tidak, mana bisa main paksa apa segala?"
Wajah Te kun berobah lagi lebih seram tak enak dipandang, kedua matanya memancarkan sinar hijau yang menakutkan, geramnya: "Keputusan tidak terletak pada dirimu?"
"Aku yang rendah..."
"Apa, terhadap aku kau sebut aku yang rendah?" bentak sang raja.
Tubuh Pit Yau ang gemetar semakin keras, wajahnya pucat pasi, ber-ulang2 matanya ber-kedip2 memberi isyarat tapi sedikitpun Suma Bing tidak hiraukan se-akan2 tidak melihat.
"Dengan kedudukan Te kun dan nama kebesarannya, semestinya tidak seharusnya berbuat..."
"Bedebah, tutup mulutmu. Berani kau membangkang perintah raja."
"Aku yang rendah seorang yang telah mempunyai istri!"
"Apa? Kau sudah mempunyai istri?"
Badan Pit Yau ang gemetar semakin keras, dengan lengan baju ia tutup mukanya.
"Benar!" seru Suma Bing dengan tidak kalah gusarnya.
"Sebelum ini kenapa tidak kau jelaskan?"
"Adalah kalian yang memaksa dan mengatur keadaan ini, sehingga aku yang rendah tiada kesempatan untuk membela diri!"
Agaknya Te kun sendiri juga merasa tegang dan murka luar biasa, wajahnya berkerut2 menahan perasaan hatinya. 'Pak, Plok' dua kali tangannya bertepuk, segera muncul dua laki2 yang mengenakan pakaian Busu sambil menghadap dengan hormatnya diambang pintu.
"Panggil menghadap Komisaris luar!"
"Terima perintah!" kedua busu itu membungkuk tubuh terus mengundurkan diri.
Suma Bing tetap duduk ditempatnya dengan sikap dingin kaku, dengan tenang ia nantikan perkembangan selanjutnya.
Tidak lama kemudian, seorang tua yang bertubuh tinggi tegap dan bersikap garang bergegas memasuki ruang istana, segera kedua lutut ditekuk sambil sembahnya: "Komisaris luar Teng Tiong cwan menghadap Baginda raja!"
"Bangun dan jawab pertanyaan!"
"Terima kasih baginda!"
"Siapa orang yang bertugas menyelidiki asal usul ahli waris kali ini?"
"Sim tongcu dan Bu tongcu dua tongcu bawahan hamba langsung bertugas dikalangan Kangouw!"

Terdengar Te kun mendengus gusar, serunya: "Bawa Sim dan Bu Tongcu keluar penggal kepalanya!"

Tanpa terasa berdetak keras jantung Suma Bing.

Saking kaget komisaris luar Teng Tiong cwan mundur selangkah, tubuhnya membungkuk sambil memberi hormat, ujarnya: "Harap baginda suka memberi ampun, ketahuilah bahwa kedua Tongcu ini sudah pernah mendapat empat kali pahala utama!"

"Penggal kepalanya!"

"Hamba memberanikan diri bertanya, apakah kesalahan mereka?"

"Bekerja secara ceroboh, merusak gengsi dan nama kebesaran Te po!"

"Harap diberikan data2 yang jelas?"

------------------------------------------
Benarkah Suma Bing sudah mati dan menjadi malaikat di perkampungan bumi?
Apa benar Suma Bing bakal menjadi ahli waris sebagai raja di perkampungan bumi, cara bagaimana dia melepaskan belenggu yang mengikat dirinya ini?
Pengalaman suka duka apalagi yang akan dialami Suma Bing dalam menempuh kearah tercapainya cita-citanya?
-----------------------------------------

Pedang Darah Bunga IblisWhere stories live. Discover now