27. Bayangan Tanpa Bentuk

3.2K 59 3
                                    

Dua ratus jurus kemudian, serbuan ketiga Tianglo itu sudah berobah dari deras menjadi lemah.

Adalah sebaliknya Suma Bing semakin gagah, selincah naga segarang harimau, setiap gerak tangannya menjadi serangan ampuh yang melemahkan pertahanan ketiga musuhnya, sampai akhirnya ketiga musuhnya terdesak kerepotan dan terancam jiwanya. Agaknya tidak sampai tiga puluh jurus lagi pasti ketiga Tianglo ini susah terhindar dari ancaman elmaut.

Wajah Liau Sian semakin membesi kehijau2an, hatinya bergejolak semakin tak tenang, demikian juga semua anak murid Siau lim si semua terkesima dengan hati kebat-kebit.

Kekuatan gabungan lima Tianglo ternyata masih bukan tandingan anak muda ini, mereka insaf dari seluruh penghuni kelenteng Suci yang diagungkan itu agaknya susah dicari tokoh kosen yang dapat menandingi kelihayan musuh muda ini.

Tiga hari yang lalu Rasul penembus dada juga pernah membikin geger Siau lim si Liau Khong kepala ruang Lo han tong dan dua muridnya gugur ditembusi dadanya. Kedatangannya sebebas berjalan dijalan raya tanpa seorangpun dari anak murid Siau lim si yang mampu merintangi. Sekarang si sesat kedua Suma Bing lagi2 memporak porandakan kepungan kelima Tianglo yang berkepandaian paling tinggi dari mereka. Naga2nya nama kebesaran Siau lim si yang diagungkan dan sudah bersejarah ratusan tahun ini akan runtuh dan dihapus dari catatan sejarah.

Tiba2 Ciangbun Hong tiang melangkah maju memasuki gelanggang...

Para anak murid Siau lim si dan para pelindung kelenteng melihat Ciangbunjin turun tangan sendiri, beramai2 merekapun merubung maju sehingga dalam gelanggang semakin meruncing tegang, suasana yang mencekam hati ini membuat orang susah bernapas.

Sungguh sangat kebetulan pada saat itulah mendadak lonceng gereja berdentang keras memekakkan telinga, lalu disusul sebuah suara seorang petugas jaga berseru keras "Hudco telah tiba!"

Seketika semua anak murid Siau lim si mengunjuk rasa hormat dan hidmat, be-ramai2 mereka mundur kedua belah samping dan berdiri dengan rapi, ketiga Tianglo yang tengah bertempur juga segera melompat keluar gelanggang menghentikan pertempuran, berjejer bersama Ciangbun Hong tiang mereka menghadap ke Toa tian (ruang besar).

Diam2 Suma Bing juga terkejut, entah tokoh macam apakah orang yang disebut Hudco itu.

Tengah ia berpikir itu, tampak olehnya seorang pendeta tua kurus kering agak bungkuk mengenakan jubah orang beribadat, muncul dari dalam ruang sembahyang. jalannya pelan dan lemah, sedemikian lemah gerak kakinya itu seumpama dihembus angin juga pasti bisa roboh.

Masa pendeta tua bagai mayat hidup inikah yang disebui Hudco. Demikian batin Suma Bing.

Segera Ciangbun Hongtiang tampil kedepan tiga langkah kedua dengkul ditekuk sambil berseru: "Ciangbun Tecu Liau Sian menghadap Hudco!"

"Kau sebagai pejabat Ciangbun, Lolap tidak berani terima, silahkan!"

Kelihatannya pendeta tua kurus kering bagai Mumi ini tinggal kulit pembungkus tulang, tapi suaranya sedemikian keras mendengung memekakkan telinga, tampak hanya sedikit menggerakkan tangannya saja, tubuh Liau Sian yang setengah membungkuk itu terangkat bangkit dan mundur ketempat asalnya lagi.
Sekarang giliran kelima Tianglo yang menyembah hormat sambil berseru: "Harap Supek terima hormat kami!"
Maka beramai2 para anak murid dari semua tingkatan beruntun bersabda Buddha lalu berlutut dan mengunjuk hormat.
Diam2 tercekat hati Suma Bing, bahwa usia kelima Tianglo sudah hampir seabad, adalah si pendeta tua ini kiranya seangkatan lebih tinggi dari mereka, lebih tinggi dua tingkat dari Ciangbun Hong tiang mereka, bukankah usianya ini sudah lebih dari seabad! Suasana sekelilingnya sedemikian hening nyenyap penuh mengandung keagungan.
Pelan2 si pendeta tua itu melangkah maju mendekat...
Dimana pandangan Suma Bing melihat, tanpa terasa merinding dan menyedot hawa dingin. Ternyata cara berjalan pendeta tua ini, kakinya mengambang tiga senti tanpa menyentuh tanah, terang ilmu ringan tubuh yang dikembangkan ini adalah Leng hi poh yang paling dibanggakan dan paling sukar dipelajari itu.
Kira2 terpaut dua tombak dihadapan Suma Bing baru pendeta itu menghentikan langkahnya, kelopak mata yang meram itu juga mendadak terbuka lebar, hanya sekali berkelebat saja lantas meram lagi. Meski hanya sekali kedipan saja, ini cukup membuat seluruh tubuh Suma Bing tergetar.
Mendadak pendeta tua merangkap kedua tangan didepan dada, sambil menengadah mulutnya menggumam: "Tecu Hui Kong melanggar pantangan dan sumpah selama enam puluh tahun, semoga para Cousu suka memberi ampun akan pelanggaran yang terpaksa ini!" — Habis ucapannya kedua matanya dipentang lebar lagi, dua sinar kehijauan dari matanya menatap setajam ujung pisau kemuka Suma Bing. Agak lama kemudian baru dia membuka kata lagi: "Asal Siau sicu bicara secara terus terang, dapatlah! dosa2mu dihapus."
"Tidak mungkin," sahut Suma Bing tegas.
"Kalau begitu terpaksa Lolap benar2 melanggar pantangan?"
"Silahkan!"
Kedengaran suara Hui Kong melengking tinggi bersabda Buddha, sebelah tangannya yang kurus kering bagaikan batang kayu itu diangkat mencengkram kearah Suma Bing dari kejauhan...
Melihat gaya serangan orang ini, terkesiap hati Suma Bing, cepat2 kedua tangan diayun, siapa tahu baru saja tangannya bergerak tenaga dalam ternyata susah dihimpun dan dikerahkan, keruan kagetnya tak terhingga, maka terlihat cengkraman musuh ditarik kembali, seketika suatu daya sedot yang kuat sekali membuat dirinya tanpa kuasa terseret kehadapan orang.
Beruntun jari2 Hui Kong menjentik lalu katanya: "Untuk sementara waktu Lwekang Siau sicu kututup, setelah semua urusan beres baru boleh kupulihkan lagi, kuharap kau tahu diri!" — habis berkata ia memutar tubuh dan dalam sekejap mata bayangannya sudah menghilang didalam ruang Toa tian.
Timbul rasa kejang dan linu kesakitan dalam tubuh Suma Bing, dalam keadaan yang sudah terlambat ini meskipun mata melotot dan gigi gemeretak gusar, apalagi yang dapat diperbuatnya.
Dalam pada itu para Tianglo juga segera tinggal pergi.
Terdengar Ciangbun Hong tiang berseru lantang: "Semua bubar dan harus selalu waspada, selain pengawas kelenteng dan para murid petugas, semua kembali ketempat masing2."
Be-ramai2 para pendeta bersabda dan memberi hormat terus mengundurkan diri tanpa bersuara. Tinggal empat pendeta petugas dan Liau Seng Taysu, berdiri tegak dibelakang Ciangbun Hong tiang Liau Sian Taysu.
Liau Sian maju beberapa langkah, suaranya berat berkata: "Sekarang sicu boleh memberitahukan maksud kedatanganmu sebenarnya dan asal-usulmu bukan?"
"Tidak!!" sahut Suma Bing beringas.
"Suco kami pernah berkata, kalau kau mau bicara, urusan ini habis sampai disini saja, malah Lwekangmu dapat dipulihkan lagi."
"Aku yang rendah tidak sudi menerima budi kalian ini"
Berobah wajah Liau Sian, katanya sambil berpaling kearah Liau Seng Taysu: "Sementara waktu Sicu ini kuserahkan kepada Sute, antarkan dia masuk ke Ceng Sim sek (ruang perenungan), setelah dia mau buka mulut baru kita rundingkan lagi."
Liau Seng Taysu mengiakan, bersama keempat murid petugas mereka membungkuk mengantar kepergian Ciangbun Hong tiang. Dua murid petugas itu lantas menggiring Suma Bing keruang samping sebelah sana.
Apa yang dinamakan Ceng sim sek ternyata adalah sebuah rumah batu yang rapat dipagari jeruji besi. Agaknya disinilah tempat peranti menghukum para murid Siau lim si yang berdosa atau melanggar aturan. Demikian juga Suma Bing terkurung dalam Ceng sim sek ini.
Hui Kong si padri tua menggunakan ilmu totok yang tertinggi dan terampuh menutup hawa murninya, sehingga lumpuhlah tenaganya tak ubahnya seperti orang biasa. Sungguh susah dibayangkan sampai dimanakah taraf kesempurnaan ilmu dan Lwekang Hui Kong. Didengar dari sabda renungannya tadi, naga2nya ia sudah selama enam puluh tahun baru keluar untuk pertama kali ini. Benar2 tak tersangka sebelum tujuan utamanya dapat terlaksana, malah dirinya harus tersangkut dalam lingkaran yang menyebalkan ini. "Siapakah wanita yang terkurung di gua dibelakang puncak Siau sit hong itu? Apakah ibunya San hoa li Ong Fang lan? Atau perempuan lain yang berdosa besar yang memang setimpal menerima hukumannya itu? Selama satu hari satu malam, dalam perasaan Suma Bing se-akan2 sudah dua tahun lamanya. Laksana seekor singa yang baru saja dimasukkan dalam kerangkengan, selama satu hari satu malam itu sekejappun belum pernah matanya dipejamkan, rasa gusar, benci dan dendam selalu merangsang benaknya, sedetikpun belum pernah meninggalkan pikirannya.
"Kalau aku tidak mati, kalau aku bisa keluar, hm..." demikian gumamnya penuh penasaran, dengusan hidung terakhir itu tidak sukar dibayangkan itulah mewakili pelimpahan hatinya yang penuh gelora dendam!
Sudah berulangkali Liau Seng Taysu datang membujuk, setiap kali selalu mengundurkan diri tanpa hasil.
Pada tengah malam hari kedua, cuaca sangat gelap, angin pegunungan menghembus kencang. Tanpa mengeluarkan suara pintu jeruji besi rumah batu itu terbuka lalu tertutup lagi dengan cepat, sebuah bayangan pendek tambun tapi selincah kucing enteng sekali melayang masuk kedalam rumah batu dimana Suma Bing berada. "Siapa itu?"
"Sssst! Buyung jangan keras2, inilah aku si maling tua!"
Suma Bing merasa kejut dan heran. Ternyata si maling bintang Si Ban cwan juga telah menyusul tiba sampai Siau lim si, entah menggunakan cara apa dia dapat lolos dari penjagaan yang sedemikian ketatnya, malah dapat membuka pintu jeruji besi itu lagi?
"Buyung mari keluar!"
"Keluar?"
"Eh, apa kau ingin cukur gundul menjadi Hwesio, selama hidup ini tinggal dalam kurungan di Siau lim si ini?"
"Seorang laki2 berani datang secara terang juga harus pergi secara terang2an pula," begitulah semprot Suma Bing uringan2, "Mana aku Suma Bing mau pergi secara sembunyi begitu?"
Si maling tua mendengus ejek, katanya: "Buyung, apa kau mengharap para pendeta Siau lim ini beriring mengantarmu keluar. Kenyataan kau sudah menjadi orang hukuman, masih berlagak apa segala. Siau lim si tidak akan pindah tempat, apa kelak kau tidak dapat datang lagi? Dengan menyerempet bahaya si maling tua ini mencuri kunci dari tubuh Liau Seng Taysu untuk menyambut kau keluar kurungan, perbuatanku ini baru pantas disebut manusia rendah?"
Hampir saja Suma Bing tidak kuat menahan rasa gelinya ujarnya: "Baiklah aku pasti akan datang lagi!"
"Buyung, ingat kata2ku, jangan kau main kukuh dan keras kepala. Kalau sampai konangan, berarti kau menyulut sumbu bencana, menyesalpun tak berguna."
"Apakah luar dalam kelenteng ini tidak ada penjagaan?"
"Sudah tentu ada!"
"Lalu Cianpwe..."
"Hehehehe, julukan si maling bintang merampok rembulan masakah nama kosong belaka."
"Tapi aku tertutuk oleh Hui Kong Taysu hingga Lwekang ku lenyap..."
"Paling perlu kita keluar dulu, urusan belakang!" Tanpa banyak cakap lagi si maling bintang Si Ban cwan menjinjing tubuh Suma Bing dan dikempitnya dibawah ketiaknya, secara diam2 laksana setan keluar dari Siau lim si tanpa diketahui oleh seorangpun jua. Sebuah bayangan langsing tahu2 muncul dari kegelapan sebelah depan sana.
"Locianpwe, bagaimana?" tanya bayangan itu.
"Mencuri ayam menggerayangi anjing adalah modal si maling tua yang paling diandalkan, pasti takkan salah, mari pergi?"
Bayangan langsing yang sembunyi diluar kelenteng itu bukan lain adalah Siang Siau hun.
"Engkoh Bing!" seru Siang Siau hun riang gembira. Mendadak terdengar sebuah bentakan keras dan berat: "Sicu darimanakah itu yang berkunjung kebiara kami?" — disusul enam bayangan besar beruntun muncul dan tepat mencegat ditengah jalan mereka.
"Lari!" tiba2 si maling bintang membentak keras, tubuhnyapun sudah melejit kedepan dengan kecepatan anak panah, dalam sekejap saja sepuluh tombak sudah dilampauinya.
"Sicu, berhenti!" sebuah bayangan hitam lainnya lagi2 muncul dan meluncur turun dihadapan si maling tua Si Ban cwan. Itulah seorang pendeta tua yang membekal sebuah tongkat besi panjang. Kedua matanya ber-kilat2 memancarkan sinar yang menakutkan dikegelapan malam.
Disebelah belakang sana, Siang Siau hun juga sudah terkepung oleh keenam pendeta tadi tanpa mampu meloloskan diri.
Si maling bintang tertawa dingin, tubuhnya mencelat miring kesamping. Dibarengi sebuah bentakan keras, si pendeta tua itu berkelebat lagi dan tahu2 sudah mencegat didepan si maling tua. Wut langsung ia sapukan tongkat senjatanya Dari cara ia mencelat datang mencegat dan serangannya ini dapatlah dipastikan bahwa Lwekang si pendeta tua ini bukan olah2 hebatnya.
Karena mengempit Suma Bing gerak gerik si maling tua kurang leluasa, tak dapat dia melayani serangan orang dengan serangan, terpaksa ia berkelit mundur delapan kaki jauhnya.
Mendadak Suma Bing meronta serta berteriak : "Cianpwe lepaskan aku, lekas kau pergi!"
"Buyung tak mungkin terjadi legakan hatimu, mereka takkan melukai serambutmu."
Pendeta tua itu melintangkan tongkatnya serta berkata: "Oh, kiranya adalah Siao Sicu yang kenamaan itu. Maaf Pinceng berlaku kurang hormat, silahkan kembali kedalam kuil untuk berdamai!"
"Pendeta tua apa gelaranmu?" acuh tak acuh si maling tua Si Ban cwan bertanya
"Pinceng Liau Cin!"
"Baik kuturuti kemauanmu, kembalilah!" — Benar juga segera si maling bintang Si Ban cwan membalik tubuh menuju kearah pintu besar kelenteng agung itu...
Saat mana Siang Siau hun masih terkepung oleh enam murid Siau lim si keadaannya sudah terdesak dibawah angin rambutnya sudah awut2an keringat membanjir keluar.
"Berhenti!" segera Liau Cin berseru kearah enam muridnya
Keenam pendeta tegap gagah itu segera mematuhi perintahnya berloncatan mundur,
Sambil membenarkan letak sanggul kepalanya Siang Siau hun mengikuti dibelakang maling bintang Si Ban cwan, menuju kearah kelenteng.
Saat mana diluar pintu besar kelenteng itu sudah terpasang beberapa buah tengloleng besar hingga sekitarnya terang benderang seperti disiang hari bolong. Tampak Liau Sian Ciangbunjin Siau lim si sudah menanti ditengah pintu. Dibelakangnya beruntun berdiri kelima Tianglo dan pengawas kelenteng Liau Seng dan Liau Ngo si petugas penyambut tamu dan masih banyak lagi para murid yang bertugas jaga. Tidak ketinggalan juga kedelapan belas Lohan juga berjajar dikedua belah samping, suasana sangat tegang sunyi.
Setelah meletakkan Suma Bing diatas tanah, ter-sipu2 maling bintang Si Ban cwan angkat tangan memberi hormat kearah Liau Sian serta sapanya: "Silahkan Ciangbunjin!"
Liau Sian bersabda sambil merangkap tangan, serunya: "Malam2 Lo sicu menyelundup kedalam kelenteng malah hendak membawa lari orang hukuman"
Tak tertahan lagi Suma Bing membentak gusar: "Tutup mulutmu. Tuan sebagai ketua dari satu aliran besar cara bicaramu harus kenal aturan dan bertanggung jawab. Memang aku sedikit lalai dan kena teringkus oleh kalian, kusesalkan kepandaianku yang tidak becus. Bagaimana bisa kau anggap aku sebagai orang hukuman kalian untuk merendahkan derajat harga diriku?"
Setelah tertawa dingin si maling bintang Si Ban cwan ikut menimbrung: "Partai kalian mengurung Suma Bing, malah memunahkan ilmu silatnya lagi, dengan alasan apa kalian berani berlaku se-wenang2?"
Sahut Liau Sian dengan nada berat: "Suma Sicu membikin onar, melukai anak murid kami dan yang lebih penting asal usulnya sangat mencurigakan!"
"Dalam hal apa dia mencurigakan?"
"Gerak tubuh yang dipertontonkan itu, menyangkut suatu peristiwa penting dalam partai kami pada seabad yang lalu!"
Keterangan ini bukan saja membuat Si Ban cwan dan Siang Siau hun tercengang heran, juga Suma Bing tidak kurang pula kejutnya. Agaknya prasangkanya benar, soal ini menyangkut pada Bu siang sin hoat yang dikembangkannya itu, tapi sebab yang utama bagaimana tak dapat dia menyimpulkannya.
Karena sudah bersumpah pada Giok li Lo Ci untuk tidak membocorkan keadaan dalam Lembah kematian, maka pengalamannya dalam Bu kong san yang membawa berkah itu selain dia seorang tak ada lain orang mengetahui secara jelas.
Sekilas si maling bintang Si Ban cwan melirik kearah Suma Bing, lalu berpaling lagi kearah Liau Sian serta bertanya: "Dapatkah kiranya Ciangbunjin menerangkan sebab musabab dari peristiwa lama itu?"
"Peristiwa itu menyangkut rahasia partai kita. Maaf tak dapat kami memenuhi permintaanmu itu,"
"Aku maling tua masih ada satu pertanyaan, harap suka memberi penjelasan?"
"Silahkan Sicu katakan!"
"Sia sin Kho Jiang satu diantara Bu lim su ih itu adakah permusuhan dengan partai kalian?"
"Tidak!"
"Kalau toh Lam sia tiada permusuhan dengan partai kalian. Ketahuilah Suma Bing adalah murid Lam sia malah pengalamannya dalam dunia Kangouw belum cukup setahun, bagaimana bisa, dikatakan dia tersangkut paut dengan peristiwa lama partai kalian?"
"Maksud tujuan dan asal usul Suma Sicu ini sangat mencurigakan tidak bisa tidak partai kami harus membikin terang urusan ini!"
"Kalau urusan ini belum jelas, mana boleh kalian menahan dan mengurungnya secara se-mena2?"
"Justru tujuan kita adalah membikin terang urusan ini!"
"Tujuan Suma Bing mendatangi Siau sit hong ini terutama hanya ingin membuktikan perempuan yang kalian kurung dibelakang puncak itu, adalah orang yang tengah dicarinya. Beginilah penjelasannya!"
"Ya, memang mungkin perempuan itu adalah orang yang tengah dicari oleh Suma sicu itu!"
"Siapakah dia?" tanya Suma Bing terharu.
"Hati Sicu sendiri pasti sudah tahu!"
Darah Suma Bing bergolak terasa dadanya hampir meledak, sinar matanya memancarkan kebencian yang menyala2 buas, jikalau Lwekangnya tidak tertutup, mungkin segera ia turun tangan melabrak musuh ini, maka sambil kertak gigi suaranya mendesis: "Perhitungan ini aku Suma Bing harus menebusnya berlipat ganda!"
Tanpa menghiraukan sikap Suma Bing itu, Liau Sian berpaling kearah si maling bintang: "Omitohud, dosa, dosa... Silahkan Lo sicu dan Li sicu (maksudnya Siang Siau hun) ini segera turun gunung!"
"Tidak bisa!" hampir bersamaan maling tua dan Siang Siau hun berseru.
Jawaban ketus dan kasar ini membuat semua anak murid Siau lim si yang hadir merasa gusar, dengan penuh kemarahan mereka melotot kearah maling tua dan Siang Siau hun.
Kata Liau Sian Taysu kepada Liau Seng Taysu: "Harap Sute menggusur tawanan!"
Liau Seng si pengawas kelenteng segera mengiakan lantas menghampiri kearah Suma Bing dengan langkah lebar!
'Sreng.' Siang Siau hun mencabut keluar pedangnya.
Si maling bintang juga bergegas menghadang didepan Suma Bing.
Ketegangan semakin meruncing se-akan2 dalam kesenyapan sebelum hujan badai bakal mendatang.
Pada saat itulah mendadak terdengar sebuah suara tawa aneh yang mendirikan bulu roma orang mendengung ditengah udara.
Berobah hebat air muka para jagoan dari Siau lim si, serta merta Liau Seng juga menghentikan langkahnya.
Sebuah bayangan hitam bagai setan seenteng burung hinggap memasuki gelanggang. Kiranya itulah seorang aneh yang berpakaian serba hitam sampai kulit dan wajahnya juga berwarna hitam, hanya sepasang bola matanya banyak putih daripada hitamnya.
Se-konyong2 diantara barisan anak murid Siau lim si sana terdengar sebuah seruan kaget: "Racun diracun!"
Tentang Racun diracun pernah mengalahkan Pak tok Tangbun Lu baru terbatas beberapa orang saja yang mengetahui. Tapi dia berani menggunakan julukan Racun diracun malang melintang didunia persilatan, sehingga membuat Tangbun Lu yang selama ini sudah merajai dalam dunia Racun akhirnya toh mandah sembunyi diri, maka dapatlah dibayangkan betapa berbisanya manusia beracun ini.
Kehadiran Racun diracun di Siau lim si ini benar2 diluar dugaan Suma Bing.
Demikian juga para pendeta Siau lim si tidak kalah besar kejut dan takutnya, entah apa maksud tujuan manusia paling beracun ini muncul disini?
"Apakah Sicu ini yang disebut Racun diracun oleh kaum persilatan?" tanya Liau Sian penuh kewaspadaan.
Racun diracun mengiakan, suaranya dingin menusuk telinga membuat orang merinding karenanya.
"Ada urusan apa Sicu berkunjung kemari?"
"Sudah tentu, kalau tiada urusan penting tidak bakal aku sudi berkunjung."
"Pinceng minta penjelasan?"
"Bukankah pertanyaan Ciangbunjin ini sangat berkelebihan. Karena urusan Sia sin kedua Suma Bing inilah aku datang!"
Berobah pucat wajah Liau Sian, para pendeta lainnya juga sontak unjuk rasa gusar dan gentar.
"Sicu khusus datang untuk Suma Bing?"
"Sedikitpun tidak salah!"
"Harap sicu menerangkan secara jelas?"
Racun diracun ter-loroh2, lalu serunya: "Urusan ini sangat gampang, kubawa dia turun gunung!"
Liau Cin Taysu tidak kuat menahan sabar lagi, sambil menggerakkan senjata tongkatnya ia membentak: "Sicu anggap Siau lim tiada orang kosen?"
Racun diracun tertawa ejek: "Aku tidak peduli kesimpulan apa yang Taysu pikirkan!" kejut dan heran merangsang benak Suma Bing. Ternyata Racun diracun datang hendak menolong dirinya. Sepak terjangnya selama ini sudah tentu bukan terjadi secara kebetulan saja. Tapi, mengapa dia berbuat demikian?
Liau Sian ulapkan tangan mencegah perbuatan Liau Cin selanjutnya, suaranya terdengar sangat berat: "Mengandal alasan apa Sicu berani membawa orang pergi?"
Tidak kalah garangnya Racun diracun balas bertanya: "Lalu mengandal apa pula partai kalian mengurung dan menghukum orang lain?"
"Sebab dia berkeliaran dalam kelenteng melukai orang, dan juga karena dia tersangkut dalam peristiwa yang sudah ter-katung2 selama seabad!"
"Peristiwa apa yang ter-katung2 itu?" tanya Racun diracun sambil tertawa sinis.
"Peristiwa itu merupakan rahasia partai kita, harap maaf Pinceng tidak bisa memberi keterangan!"
"Itulah bagus sekali, urusanku juga sangat penting dan terahasia maka hendak kubawa dia pergi, maaf aku juga tidak bisa menerangkan panjang lebar!"
Wajah Liau Sian mengelam dalam, matanya memancarkan cahaya terang tajam, agaknya ketua Siau lim si yang diagungkan ini benar2 sudah marah besar, perlahan dan berat dia maju tiga langkah, suaranya bengis: "Apa Sicu berani berbuat se-mena2?"
"Sungguh menggelikan, ini mana boleh dianggap se-mena2. Kalian meng-ada2 menimpahkan dosa untuk mengurung orang, apa ini bukan se-mena2?"
Saking murka badan Liau Sian Taysu sampai gemetar, serunya gusar: "Aku sangsi keinginan Sicu itu takkan dapat terkabul!"
"Belum tentu!"
Memangnya sifat Liau Cin Taysu paling kasar dan berangasan, tak kuat lagi dia menahan gejolak amarahnya, sambil menggerung keras tongkatnya diangkat menggunakan jurus Thay san ap ting mengemplang kearah Racun diracun, karena gusar dan bertenaga besar maka perbawa serangan ini bukan olah2 hebatnya angin menderu2 bagai geledek menyambar.
Menghadapi serangan tongkat yang hebat ini Racun diracun tenang2 saja tanpa beringser dari tempatnya, tidak menyingkir malah diangkat sebelah tangannya untuk menyampok kearah datangnya samberan tongkat...
'Blang' dimana terdengar suara keras ini, kontan Liau Cin Taysu sempoyongan satu tombak lebih wajahnya pucat pias. Tongkatnya bengkok terlepas dari tangannya.
Gebrak pertama keras lawan keras benar2 menggetarkan sanubari seluruh hadirin.
Maklum Liau Cin Taysu setingkat dengan Ciangbun Hong tiang, Lwekangnya boleh dikata sudah sangat tinggi dan paling dibanggakan diantara seangkatannya, tidak kira hanya satu gebrak saja sudah dibikin keok oleh musuh.
Betapa tinggi kepandaian Racun diracun ini benar2 mengejutkan.
Hening sejenak lantas terdengar bentakan2 gusar bagai geledek, tampak Liau Seng dan Liau Ngo melompat maju berbareng.
Racun diracun angkat sebelah tangannya, serunya lantang: "Nanti dulu!"
Liau Seng Taysu pengawas kelenteng dan Liau Ngo penyambut tamu segera menghentikan langkahnya.
Dengan sorot mata tajam Racun diracun menatap kearah Liau Sian, katanya: "Ciangbunjin, kalau tuan tidak suka melihat terjadi banjir darah ditempat suci yang agung ini, lebih baik kalian jangan banyak tingkah!"
"Urusan ini sangat penting dan besar artinya, partai kita rela berkorban untuk menghadapi meski harus terjadi banjir darah."
"Tapi sekarang belum saatnya menimbulkan banjir darah!"
"Apa maksud ucapan Sicu ini?"
Racun diracun menunjuk kearah Suma Bing dan berkata: "Kita nantikan setelah kawan ini sudah membuktikan siapakah perempuan yang kalian kurung dibelakang puncak itu baru dapat dipastikan apakah ada harganya kalian harus mengeluarkan darah sebagai imbalannya."
Ucapan Racun diracun ini malah menambah ketekadan Liau Sian Taysu untuk meringkus Suma Bing kembali, setelah bersabda lalu dia berseru: "Demi gengsi dan peristiwa lama itu, Suma Bing harus tetap tinggal dalam kelenteng kami, harap Ngo lo maju meringkus bocah itu!"
Kelima Tianglo mengiakan berbareng lalu bersama-sama melangkah maju...
Dalam waktu yang bersamaan Liau Seng Taysu dan Liau Ngo Taysu mendesak maju lagi kearah Racun diracun.
Jidat Siang Siau hun basah oleh keringat saking tegang pedang panjangnya juga telah dilolos pula bersiap siaga. Sedang si maling bintang Si Ban cwan menggeser kedudukan mendekati Suma Bing dan berdiri disampingnya.
Mendadak Racun diracun membentak keras: "Liau Sian Hwesio, apa kau paksa aku untuk menggunakan Racunku?"
Bentakan serta ancaman yang serius ini seketika membuat para pendeta yang hadir giris dan merinding bulu romanya. Serta merta kelima Tianglo yang mendesak maju itu juga lantas menghentikan tindakannya. Mereka maklum betapa kejam dan hebatnya ancaman Racun diracun ini. Sebab racun takkan dapat ditahan meski dengan kepandaian atau Lwekang yang tinggi.
Dengan sorot matanya yang dingin Racun diracun menyapu pandang keseluruh gelanggang lalu berkata lagi: "Aku masih menghargai dan mengingat bahwa partai kalian adalah golongan dan aliran lurus yang mengutamakan kebenaran dan keadilan, maka tidak tega aku turun tangan kejam. Tapi jikalau kalian memaksa, demi terlaksana maksudku aku tidak akan mengenal kasihan menggunakan segala kekejianku. Aku percaya kalian pasti tahu betapa besar dan jelek akibatnya? Perlu kuperingatkan sekali lagi, dalam jangka tiga tindak pasti jiwa kalian bisa melayang, kalau ada diantara kalian tidak percaya boleh silahkan keluar mencoba!"
Ciangbun Taysu Liau Sian berseru dongkol: "Sicu ini ada hubungan apa dengan Suma Bing?"
"Hubungan kami sangat kental!"
Se-konyong2, terdengar tembang parita yang mengalun panjang dan menyusup tinggi diudara dari dalam ruang dalam. Tembang parita dari keagamaan Buddha ini benar2 mengandung kekuatan atau perbawa yang tiada taranya, semua pendeta yang hadir berbareng bersabda sekali sambil merangkap tangan dan menundukkan kepala beramai2 mereka menyingkir kesamping.
Sekarang ditengah gelanggang ketinggalan Racun diracun, Suma Bing, si maling bintang Si Ban cwan dan Siang Siau hun empat orang.
Menggunakan peluang ini Racun diracun berpaling kearah Si Ban cwan dan berkata: "Tuan lekas bawa Suma Bing secepatnya tinggalkan tempat ini, biar aku yang melayani mereka."
Alis putih si maling bintang Si Ban cwan berkerut dalam, sahutnya: "Saat ini sudah terlambat untuk pergi!"
"Kenapa?"
"Suara tembang parita tadi dinamakan Thian in sian jiang (irama langit), orang yang bertembang tadi Lwekangnya sudah mencapai kesempurnaannya, pasti orang itu bukan lain adalah Hui Kong Taysu yang diagungkan sebagai Buddha hidup oleh kaum Siau lim si. Tua bangka ini usianya sudah hampir satu setengah abad..."
"Masa kita harus mandah saja ditangkap dan diringkus?" seru Siang Siau hun gugup.
"Belum tentu mereka mampu!" jengek Racun diracun.
Baru saja ucapannya selesai, tampak seorang pendeta tua kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang sudah muncul diambang pintu. Maka semua pendeta, segera memberi hormat sambil menundukkan kepala.

Dalam hati Suma Bing berkata "Akan datang satu hari aku harus tempur pendeta tua ini!"

Tanpa sadar Racun diracun mundur satu langkah lebar.

Terdengar Suma Bing berbisik kepada si maling bintang: "Cianpwe, tiga bulan yang lalu Rasul penembus dada pernah menerjang masuk ke Siau lim si dan membunuh Liau Khong kepala Lohan tong dan kedua muridnya. Kedatangannya itu sedemikian gampang dan berhasil dengan gemilang, mengapa pendeta tua ini..."

"Waktu itu dia tidak muncul!"

Dalam pada itu sepasang mata Hui Kong Taysu tengah menatap wajah Racun diracun lalu katanya: "Sicu ini menggunakan ilmu make up yang dinamakan Hian goan tay hoa ih sek untuk merobah bentuk wajah agaknya kau sealiran dengan Pek kut Hujin?"

Tiba2 tubuh Racun diracun tergetar, baru pertama kali ini kedoknya dibongkar terang2an dihadapan orang banyak, sejenak ia tertegun, lalu sahutnya: "Benar, memang harus kuakui!"
Mendengar nama Pek kut Hujin di-sebut2 berobah air muka semua hadirin. Karena Pek kut Hujin adalah momok wanita paling ditakuti yang sudah malang melintang pada seabad yang lalu. Siapa saja bagi kaum persilatan yang mendengar akan namanya pasti merinding ketakutan. Sungguh tidak nyana bahwa Racun diracun ini kiranya sealiran juga dengan momok wanita nomor satu pada jaman yang silam itu.

Pedang Darah Bunga IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang