"Aku sudah tahu!"
Mendadak Racun diracun berlutut diatas tanah serta menyembah berulang2, serta mengeluh menyedihkan: "Suhu!" suara panggilan ini seakan bukan keluar dari mulut Racun diracun, hal ini membuat Suma Bing tertegun, namun sudah tiada tempo untuknya banyak berpikir panjang."Kalau Cianpwe sudah tahu perbuatan jahat diluar perikemanusiaan muridmu ini, mengapa..."
"Jadi maksudmu kau anggap aku sengaja hendak melindungi dan mengeloni muridku?"
"Memang begitulah pikiran wanpwe sebenarnya!"
"Lalu kau hendak berbuat apa?"
"Aku hendak menuntut balas bagi yang sudah mati dan melampiaskan dendam yang masih hidup."
"Sesuatu keluarga mempunyai peraturan keluarga sendiri demikian juga suatu aliran mempunyai aturannya sendiri, aku orang tua sudah pasti mempunyai caraku sendiri untuk membereskan persoalan ini?"
"Cara bagaimana Locianpwe hendak membereskan persoalan ini?"
"Dalam persoalan ini kau sudah tidak boleh turut campur."
"Maaf kalau wanpwe berlaku kurangajar..."
"Kenapa?"
"Agaknya Locianpwe sudah terlambat untuk bertindak!"
Nada ucapan Pek Kut Hujin terdengar marah, serunya: "Masa kau berani dihadapanku membunuh dia?"
Suma Bing menggigit gigi, sahutnya lantang: "Cayhe terpaksa harus melakukan!"
Dingin dan menusuk benar suara tawa Pek Kut Hujin, katanya: "Suma Bing, dalam masa sekarang ini, tiada seorang tokoh silat siapapun yang berani berkata demikian kepadaku."
Ini memang kenyataan, nama Pek Kut Hujin sudah menggetarkan dan menggoncangkan seluruh Kangouw pada ratusan tahun yang lalu, sampai pendeta agung dari Siau lim Hui Kong Taysu sendiri juga mesti mengalah dan memberi muka padanya, apalagi tokoh2 lainnya.
Tapi, sifat pembawaannya yang angkuh dan keras kepala pula turunan dari sifat2 Lam sia yang agak sesat menjadikan wataknya semakin ugal2an tidak mengenal apa artinya takut dan mundur, semprotnya menantang: "Wanpwe tidak gentar diancam!"
"Suma Bing kau jangan berlagak dan banyak tingkah karena ilmu saktimu itu!"
"Bukan wanpwe hendak memamerkan ilmu saktiku, aku hanya melakukan apa yang harus kuperbuat."
"Sekali lagi kuperingatkan kepadamu, jikalau kau melukainya, kau akan menyesal seumur hidup!"
"Apa Cianpwe bertekad hendak merintangi?"
"Sudah tentu!"
"Aku tidak perdulikan akan segala akibatnya!"
Sementara itu Racun diracun sudah bangkit dan berteriak gemetar: "Suhu, tecu sudah berkeputusan rela untuk mengorbankan segala apa yang perlu kukorbankan!"
"Apakah kau sudah bayangkan akibatnya?"
"Sudah tecu pikirkan!"
"Tapi aku tidak mengizinkan!"
Suma Bing tidak paham maksud percakapan mereka guru dan murid. Pada saat itu yang ia pikir adalah rangsangan darah panasnya untuk melenyapkan makhluk aneh dihadapannya ini. Kalau tidak bagaimana ia harus memberikan pertanggungan jawab kepada Thong Ping dan Ting Hoan yang sudah berada dialam baka.
Sekonyong2 sebuah bayangan bayangan langsing terbang mendatangi dengan gesitnya tanpa mengeluarkan suara terus menubruk kearah Racun diracun.
Kejadian ini benar2 diluar dugaan, seketika Suma Bing tertegun mematung.
'Blang!' disertai keluhan kesakitan sangat tampak Racun diracun terhuyung beberapa langkah, hampir saja roboh terkapar.
Setelah melihat orang yang baru mendatangi ini tercetuslah seruan kaget dari mulut Suma Bing: "Adik Hun, kaukah itu."
Memang bayangan langsing yang baru mendatangi ini adalah kekasih pertama Suma Bing yaitu Siang Siau Hun adanya.
Wajah Siang Siau Hun diliputi rasa kebencian yang meluap2, mendengar panggilan Suma Bing dia hanya mendehem sekali, kedua matanya dengan nanar mengawasi Racun diracun.
Berkelebat sebuah bayangan putih yang melayang tiba didepan matanya.
Suma Bing berteriak kaget, kontan jurus Mayapada remang2 dilancarkan sekuatnya.
Ditengah gelombang badai yang bergulung2 itu, tampak bayangan putih itu kena terpental sampai tiga tombak jauhnya. Jurus serangannya merupakan gerakan reflek dan kesigapannya. Karena begitu bayangan putih berkelebat tahulah dia bahwa Pek Kut Hujin sudah bertindak memasuki gelanggang. Untuk membela diri dan untuk melindungi Siang Siau Hun, maka tanpa pikir lagi kontan dia lancarkan serangannya.
"Auh..." terdengar pekik yang menyayatkan hati, Racun diracun sempoyongan lagi, akhirnya tak kuat berdiri dan roboh telentang diatas tanah.
Hal ini malah membuat Siang Siau Hun tertegun bengong. Mengapa Racun diracun tidak membela diri atau balas menyerang, tidak mengerahkan tenaga murninya, juga tidak menyebar racunnya? Jelas dia mengetahui bahwa kepandaian dan lwekang Racun diracun jauh berada diatas kemampuannya.
Dirangsang nafsu untuk menuntut balas tanpa banyak pikir akan segala akibatnya, mati2an dia turun tangan, sebenarnya kecil harapannya dapat berhasil, namun kenyataan tidak seperti perhitungan semula, ternyata sedemikian gampang dirinya berhasil melukai musuh. Karena kesima sampai lupa untuk bertindak lagi...
Suma Bing sendiri juga bukan main heran dan kagetnya, sikap Racun diracun kali ini benar2 sangat ganjil.
Sementara itu Pek Kut Hujin sudah melayang tiba pula disisi tubuh Racun diracun, suaranya hampir menjerit sedih: "Muridku, tidak setimpal kau mengeluarkan pengorbanan sedemikian besar. Kau... kau..."
Mendadak tubuh Racun diracun berkelejetan dua kali. Terjadilah suatu keanehan, kulit seluruh tubuh yang semula warna hitam itu kini perlahan2 berobah. Menjadi kuning dan berobah pula menjadi putih...
"Ah...!" Suma Bing menjerit keras, dan sempoyongan mundur puluhan langkah, kedua matanya melotot hampir mencelat keluar.
Phoa Kin sian. Itulah istrinya Phoa Kin sian. Mimpi juga dia tidak mengira bahwa Racun diracun ternyata adalah duplikatnya Phoa Kin sian.
Pucat pias wajah Siang Siau hun, tubuhnya menggigil keras sekali.
Sementara itu. Pek Kut Hujin itu juga mulai berobah, bentuk wajah yang seram menakutkan tadi seolah2 kena sihir telah berobah menjadi bentuk asalnya.
Dia bukan lain adalah Ong Fong jui, bibinya.
Suma Bing menggigil semakin keras sehingga tubuhnya terasa dingin membeku. Hampir2 dia tidak mempercayai kenyataan yang dihadapinya ini.
Dengan wajah diliputi kesedihan dan suaranya yang pilu berkatalah Ong Fong jui: "Keponakanku, kau harus bertanggung jawab akan tragedi ini, dua jiwa manusia telah dikorbankan. Seorang adalah istrimu sedang yang lain adalah anakmu yang bakal lahir."
Hitam gelap pandangan Suma Bing, tubuhnya limbung hampir roboh. Keringat dingin deras mengalir dari atas jidatnya. Sesaat terasa seperti dunia kiamat sudah tiba diambang pintu, juga seperti pesakitan yang mendadak mendengar keputusan hukum mati baginya, otaknya terasa kosong melompong.
Siang Siau hun membanting2 kaki sambil menggenggam kedua tangan erat2, teriaknya mengeluh: "Oh Tuhan. Apakah yang telah kuperbuat?"
Wajah Ong Fong jui sudah basah oleh airmata, katanya sesenggukkan: "Nona Siang, ini bukan salahmu sudah sepatutnya kau menuntut balas bagi adikmu. Durjana yang meracun dan membunuh adikmu serta Li Bun siang sebenarnya adalah adik Kin sian sendiri. Karena pesan ayah bundanya sebelum ajal, dia mewakili adiknya mengorbankan dirinya..."
Berkatalah Siang Siau hun menghadap Suma Bing: "Engkoh Bing, selamanya aku akan menyesal terhadap kau... aku..."
Kala itu Suma Bing berdiri kesima seperti patung, biji matanya tidak bergerak. Apa yang dikatakan Siang Siau hun ini sudah tentu dia tidak mendengar.
Siang Siau hun menjerit sesenggukkan terus berlari pergi sambil menutup mukanya.
Suasana menjadi hening sekian lamanya diliputi kesedihan dan kepiluan hati.
Lama dan lama kemudian baru Suma Bing dapat membuka mulut bertanya: "Bibi dia... masihkah dapat ditolong?"
Ong Fong jui menggeleng kepala penuh putus asa, sahutnya sedih: "Tak bisa ditolong lagi"
"Tak bisa ditolong? Oh Tuhan...!"
"Dia tengah mengandung tua dan hampir melahirkan, terkena pukulan berat dan terluka parah masihkah ada harapan untuk tetap hidup"
Suma Bing menjerit sambil menubruk maju, kedua kakinya menjadi lemas dan terus jatuh berlutut diatas tanah.
Muka Phoa Kin sian memutih seperti kertas, jubah panjang dan celananya sudah basah kuyup tergenang air darah. Gugur! Kandungannya telah gugur!
Semangatnya semakin runtuh, hatinya terasa juga tengah meneteskan darah. Apakah dosa istrinya? Kini dia telah meninggal! Apapula dosa anak yang belum lahir itu, dia juga ikut menemui ajalnya! Dia berteriak2 dan menggumam entah apa yang terucapkan yang terdengar hanya samar2 saja: "Akulah pembunuhnya, aku adalah... pembunuh... aku..."
"Keponakanku," bujuk Ong Fong jui pilu. "Tak berguna kau salahkan diri sendiri, kita berada dipinggir jalan raya, marilah dipindah kesuatu tempat lain!"
Suma Bing manggut2 seperti patung, tanpa hiraukan noda2 darah, dipayangnya tubuh Phoa Kin sian terus dibawa kedalam sebuah hutan dan mencari sebuah tempat yang rindang dibawah sebuah pohon besar terus dibaringkan kembali.
Jarak yang dekat tidak lebih dari puluhan tombak ini baginya terasa seperti dibebani ribuan kati beratnya. Kesedihan yang berkelebihan membuat hatinya lemah, semangatnya runtuh, langkahnya sedemikian berat, dan perlahan.
Melihat lakunya ini Ong Fong jui menggeleng kepala tanpa bersuara.
Bagai sadar impiannya, berkatalah Suma Bing: "Bibi, dia masih dapat ditolong?"
"Apa, dapat ditolong?"
"Seumpama tenaga murniku akan terkuras habis biarlah dengan Kiu yang sinkang..."
"Ai... keponakanku, isi dalam perutnya sudah jungkir balik, kandungannya juga sudah gugur, seumpama tabib dewa juga takkan kuasa menolongnya"
"Tapi... dia tidak boleh mati, jangan, aku harus membuatnya hidup kembali..."
"Keponakanku, tenangkanlah pikiranmu."
Setelah menyeka airmatanya, secepat kilat Ong Fong jui ulurkan telunjuknya beruntun jarinya menutuk duapuluh lebih jalan darah besar, lalu dengan sebuah gaplokan yang keras dia memukul jalan darah Khi hay, lalu dengan telapak tangannya menekan dijalan darah Thian toh, mulailah hawa murninya sendiri disalurkan gelombang demi gelombang.
Sebentar saja wajah Phoa Kin sian mulai bersemu merah, dadanya juga mulai bergerak naik turun secara teratur, tak lama kemudian tiba2 ia membuka mata.
Baru sekarang airmata Suma Bing membanjir keluar suaranya sedih dan tersenggak: "Adik Sian, kau... Mengapa kau berbuat demikian?"
Agaknya Phoa Kin sian tengah meronta menahan sakit bibirnya bergerak2 sekian lama baru terdengar suaranya yang lirih seperti bunyi nyamuk: "Engkoh Bing, aku... tidak salahkan kau..."
"Tidak, adik Sian, kau harus membenci dan mengutukku... katakanlah kau benci padaku..."
"Engkoh Bing, sungguh aku menyesal... tidak melahirkan... anak untuk kau..."
"Oh aku... akulah algojonya, akulah yang membunuh anakku, membunuh istriku...!"
"Engkoh Bing, ... jangan kau salahkan diri dan mereras diri, inilah takdir!"
"Takdir? Tidak, inilah tragedi buatan manusia!"
Suma Bing mengelus2 rambut istrinya, airmata terus mengalir dengan deras.
Kata Ong Fong jui dengan suara serak: "Kin sian, kau sudah lakukan perbuatan yang paling goblok dikolong langit ini, mengapa kau tidak mau dengar nasehatku..."
Sepasang mata Phoa Kin sian yang redup dan guram berkedip2, ujarnya sedih: "Suhu, kau... pandang aku sebagai putrimu sendiri, budimu yang luhur setinggi gunung dan setebal bumi ini terpaksa dalam penitisan yang akan datang baru dapat kubalas!"
"Adik Sian." tanya Suma Bing, "Mengapa kau... tidak siang2 terangkan asal-usulmu?"
"Aku... tidak boleh..."
"Mengapa?"
"Pertama; peraturan... perguruan. Kedua: ... sebelum ayah bunda meninggal, mereka serahkan Cu giok kepadaku... dia melakukan kejahatan diluar perikemanusiaan... semua ini adalah kesalahanku, aku... harus menebus dosanya itu, dengan pengharapan dia... merobah diri dan kembali kejalan yang benar..."
"Phoa Cu giok!!" gumam Suma Bing sambil kertak gigi.
Seumpama saat itu Phoa Cu giok berada dihadapannya pasti tanpa pikir lagi dia akan dibunuhnya.
Agak lama Phoa Kin sian pejamkan matanya, lalu dengan susah payah dipentangkan lagi, serta katanya semakin lemah.
"Engkoh Bing... kuharap kau meluluskan satu permintaanku..."
"Coba katakanlah?"
"Apakah kau dapat mengampuni... Cu giok?"
"Ini...!" terbayang nafsu membunuh yang tebal diwajah Suma Bing.
Kata Phoa Kin sian pula dengan sekuat tenaga: "Engkoh Bing, tiada... lain permintaanku hanya... inilah satu2nya pengharapanku, lulusilah... mengampuni jiwanya... bantu dan bimbinglah dia kearah jalan yang benar, meskipun mati..."
"Tidak adik Sian... aku tidak bisa membiarkan kau... tidak, seumpama mesti mengorbankan jiwaku aku juga harus berusaha..."
Airmuka Phoa Kin sian berobah merah, napasnya mendadak memburu dan batuk2.
Tangan Ong Fong jui yang menempel dijalan darah Thian toh itu juga kelihatan gemetar, keringat membanjir dengan derasnya membasahi tubuh.
"Engkoh Bing," kata Phoa Kin sian pula suaranya lirih hampir tak terdengar, "Lu... lusilah permintaanku!"
Suma Bing merenggut rambut sambil kertak gigi, sahutnya terpaksa: "Baiklah, aku penuhi permintaanmu yang terakhir ini..."
Warna merah dimuka Phoa Kin sian menghilang dan kembali pucat pasi, tapi ujung bibirnya tersungging senyum dikulum, kepalanya tekluk kesamping mangkatlah arwahnya kealam baka.
Dengan lesu dan perih Ong Fong jui menarik pulang tangannya: "Dia sudah meninggal!"
Suma Bing berteriak menggila: "Adik Sian!" terus menubruk jenazah Phoa Kin sian. Seketika terasa pandangannya gelap dan bumi berputar jungkir balik, pikirannya kosong melompong.
Mendadak Suma Bing meloncat bangun, sesaat ia pandang wajah pucat jenasah Phoa Kin sian, tiba2 angkat sebelah tangannya terus mengepruk keatas batok kepalanya sendiri.
"Gila kau!" hardik Ong Fong jui keras, secepat kilat ia bergerak mencengkram kencang pergelangan tangannya terus berkata lagi: "Suma Bing, apa kau ingin membuatnya mati tidak meram. Apa yang hendak kau lakukan? Tugas berat menuntut balas belum terlaksana, pesan terakhir gurumu hendak kau ingkari. Beginilah kelakuan seorang gagah!"
"Bibi," gumam Suma Bing, "Betapa aku dapat mengampuni diriku sendiri?"
"Keponakanku yang baik. Hubunganku dengan Kin sian sebagai guru dan murid, tapi hakikatnya seperti anak kandungku sendiri. Perih dan kesedihan hatiku rasanya tidak kalah beratnya dari kau. Tapi semua ini dapatlah ditarik kembali oleh kekuatan manusia. Semua ini sudah menjadi suratan takdir!"
"Ya bibi, aku akan menyesal dan merana sepanjang hidupku ini!"
Sebuah gundukan tanah dari sebuah kuburan baru muncul diantara alingan pohon2 lebat dalam rimba itu. Dimana diatas sebuah batu nisan yang sederhana tertuliskan beberapa huruf yang berbunyi: "Kuburan Kin sian istri Suma Bing yang tercinta" dibawah sebelah kiri tertanda nama Suma Bing.
Tampak Suma Bing berendeng bersama Ong Fong jui didepan kuburan, mereka berdiri mematung tanpa bergerak dan mengheningkan cipta.
Agak lama kemudian baru Ong Fong jui buka suara memilukan: "Keponakanku yang sudah pergi biarlah pergi, yang mati takkan dapat hidup kembali. Marilah kita tinggal pergi!"
"Tidak!"
"Kau..."
"Aku hendak mendampingi kuburan Kin sian selama seratus hari, sebagai curahan rasa cinta kasih sebagai suami istri!"
"Kau mempunyai maksud yang suci dan mulia itu sudah cukup. Janganlah kau memeras diri merusak kesehatanmu sendiri."
"Bibi, kurasa dengan berbuat begitu dapatlah memperingan beban tekanan batinku!"
"Ai, apa boleh buat, baiklah. Aku harus segera mencari durjana Phoa Cu giok itu, harus cepat2 kucegah supaya dia tidak memperbanyak melakukan kejahatannya."
"Bi, silahkan aku tidak bisa mengantar!"
"Ada yang masih harus kuberitahu kepadamu. Pek Kut Hujin adalah guruku, dia sudah meninggal dunia pada duapuluh tahun yang lalu, akulah yang menjadi murid ahli warisnya."
"O!"
"Kau sudah paham?"
"Ya, bibi, tentang ibunda..."
"Ibumu bagaimana?"
"Aku sudah dapat menemukan dia!"
"Ha! Apa benar?" teriak Ong Fong jui kegirangan dan haru.
Kata Suma Bing lagi: "Dia menjadi ketua dari Jeng siong hwe yang menggetarkan kalangan Kangouw itu. Tapi sebenarnya dia adalah majikan dari Panggung berdarah!"
Saking kaget Ong Fong jui undur selangkah, suaranya gemetar: "Sungguh diluar dugaan, lalu dimana sekarang cici berada?"
Secara ringkas jelas Suma Bing menuturkan dimana letak daripada Panggung berdarah itu.
Ong Fong jui manggut2, katanya: "Tuhan sungguh maha pengasih, keponakanku tentang para musuh besarmu...!"
"Aku sudah mempunyai catatan nama2 mereka, Loh Cu gi adalah biangkeladinya!"
Menyinggung nama Loh Cu gi seketika timbul nafsu kekejaman Suma Bing.
"Keponakanku apa kau masih ingat pada Pek chio Lojin?"
"Ya, dengan tanganku sendiri telah kubunuh dia!"
"Apakah kau pernah dengar tentang Pek bin mo ong (raja iblis seratus muka)?"
"Raja iblis seratus muka?"
"Benar, gembong aliran hitam yang kejam dan telengas, ilmu kepandaian riasnya tiada keduanya di kolong langit ini. Kepandaian Lwekangnya juga malang melintang dalam dunia persilatan. Dia adalah Suheng dari Pek chio Lojin!"
"Memangnya kenapa?"
"Konon kabarnya Bwe hwa hwe baru2 ini mengundang dan mengangkat seorang Maha pelindung. Orang itu mungkin adalah raja iblis ini."
"Masa betul?"
"Sudah sekian lama raja iblis ini tidak muncul dikalangan Kangouw, belakangan ini katanya ada orang yang melihat jejaknya!"
"Kalau dia secara terang berani membantu kejahatan menyebar maut, pasti keponakan takkan melepas dia."
"Raja iblis ini sangat cerdik dan licik serta licin sekali, kau harus waspada hati2 menjaga diri."
"Terima kasih akan petunjuk bibi ini!"
"Lalu tentang barisan pohon bunga Bwe yang aneh diluar markas besar Bwe hwa hwe itu apakah kau sudah..."
"Justru hal inilah yang membuat keponakan serba susah!"
"Ini... coba kau pergi menemui Si gwa sianjin dan minta petunjuk padanya mungkin dia bisa membantu kau!"
Terbangun semangat Suma Bing, katanya: "Si gwa sianjin juga mahir tentang ilmu barisan yang aneh2 itu?"
"Diantara tokoh2 Bulim sekarang ini termasuk dia yang paling kuat dan pandai!"
"Apa selain dia tiada lain orang lagi?"
"Ada, tapi..."
"Mengapa?"
"Mungkin dia sudah meninggal dunia. Jikalau ada dia persoalan ini pasti dapat dipecahkan seumpama membalik tangan gampangnya."
"Siapakah dia?"
"Ih lwe siu ki khek Li It sim!"
"Li It sim?"
"Benar, apa, kau..."
"Aku pernah dengar Kang Kun Lojin menyinggung tentang namanya."
"Apakah orang tua itu masih dalam dunia fana ini?"
"Entahlah"
"Lebih baik kau khusus mencari dan menemui Si gwa sianjin saja."
"Baiklah."
"Aku hendak pergi, jagalah dirimu baik2!" setelah menghela napas panjang Ong Fong jui melayang pergi dan menghilang.
Berdamping batu nisan Suma Bing duduk terpekur tenggelam dalam kenangan lama yang menyedihkan.
Begitulah tanpa terasa sang surya muncul dari peraduannya, dan tahu2 sang surya sudah tenggelam lagi kearah barat, hari berganti hari dengan cepatnya tanpa terasa.
Pada suatu tengah hari kira2 satu bulan kemudian. Suma Bing baru saja kembali dari kota yang berdekatan untuk membeli ransum kering. Waktu mendekati kuburan dari hembusan angin yang sepoi2 tercium olehnya bau harum wangi dari terpasangnya dupa dan terbakarnya kertas sembahyang.
Siapa yang datang dipusara Phoa Kin sian untuk sembahyang dan membakar kertas.
Tergerak hati Suma Bing mengempos semangat mengerahkan tenaga maka dengan enteng sekali tanpa bersuara ia berputar memasuki hutan.
Tampak didepan kuburan seorang tengah berlutut dan menyembah dia bukan lain adalah Phoa Cu giok manusia berhati serigala.
Seketika timbul amarah Suma Bing, saking menahan gusar napasnya sampai memburu. Setindak demi setindak ia menghampiri maju, matanya melotot merah buas...
Phoa Cu giok tetap berlutut dan tubuhnya tampak gemetar kiranya dia tengah menangis menghadapi kuburan cicinya.
Kira2 sejauh satu tombak Suma Bing hentikan langkahnya. "Phoa Cu giok!" hardiknya lantang dan dingin.
Phoa Cu giok bangun berdiri terus memutar menghadap Suma Bing sinar matanya redup dan semangatnya layu, sekian lama baru keluar suaranya: "Cihu!"
"Phoa Cu giok, kau tahu kenapa cicimu sampai mati?"
"Karena perbuatanku yang durjanalah sebabnya?"
"Kau sudah tahu, baik sekali. Sekarang gunakanlah racun atau jurus2 keji apapun juga terserah kau, mari kau serang aku, jikalau tidak kau tidak akan mempunyai kesempatan. Lekas turun tangan, seranglah aku...!"
"Cihu..."
"Phoa Cu giok hendak kuhancur leburkan tubuhmu yang kotor itu!"
Sikap Phoa Cu giok tetap lesu dan menelaah saja kekasaran sikap Suma Bing, kedua matanya tampak membengkak merah, berkatalah ia dengan tenang: "Cihu, aku insaf bahwa dosaku besar dan harus dihukum mati, silahkan kau saja yang turun tangan, tiada apa2 yang perlu kukatakan lagi"
Suma Bing malah tertegun dibuatnya menghadapi sikap orang yang aneh dan pasrah nasib ini, tapi hawa amarahnya masih merangsang dengan hebatnya, desisnya, mengertak gigi: "Phoa Cu giok, dengan Racun tanpa bayangan kau meracuni Siang Siau moay dan Li Bun siang, sebaliknya kakakmulah yang menjadi kambing hitamnya. Kau ngapusi dan memperkosa Thong Ping gadis suci yang tak berdosa malah setelah kedokmu terbongkar kau meracun dan membunuh ibunya juga. Sekarang dia sudah melahirkan seorang anak perempuan, tapi dia mohon kepadaku untuk membunuh kau..."
Wajah Phoa Cu giok berkerut2 gemetar, agaknya tengah menahan gejolak hatinya.
Sejenak berhenti lalu Suma Bing melanjutkan lagi: "Kau juga memperkosa dan membunuh murid Pek hoat Sian nio Ting Hoan, dia adalah sahabat karibku..."
"Cihu..."
"Kau manusia berhati binatang, cicimulah yang menjadi kambing hitamnya untuk menebus semua kejahatan dan dosa2mu!"
"Cihu, biarlah aku mati ditanganmu sendiri, gunakanlah cara kejam yang paling telengas..."
Habis berkata dia, menundukkan kepala, sekarang dia, benar2 sudah insaf dan bertobat namun semua ini sudah terlambat.
"Pandanglah aku!" hardik Suma Bing keras, kedua matanya melotot besar hampir meneteskan air darah.
Terpaksa Phoa Cu giok angkat kepalanya pula, wajahnya penuh diliputi kekesalan sedikitpun tak terbayang rasa takut akan bayangan kematian, airmata mengalir tanpa hentinya membasahi kedua pipinya. Ini bukan sikap atau tingkah laku yang dibuat2, inilah jiwa tersesat yang hidup kembali kejalan terang dan lurus.
Dengan beringas Suma Bing ayun kepalannya terus menghantam mengarah batok kepala Phoa Cu giok. Pada saat kepalannya terpaut setengah kaki diatas kepala Phoa Cu giok, tiba2 Suma Bing menghentikan gerakannya, dia tak bisa turun tangan terhadapnya. Teringat dia akan pesan Phoa Kin sian sebelum ajal.
"...Ampuni dia... tuntunlah kejalan benar menjadi manusia kembali..."
Apakah tindakannya ini tidak membuat istrinya putus harapan dan kecewa di alam baka? Memang ingin dan rasanya harus dia membunuh manusia laknat ini menjadi hancur lebur, tapi pesan istrinya sebelum ajal membuat dia tak kuasa turun tangan.
Akhirnya sambil mendengus keras2 dia tarik kembali tangannya.
Phoa Cu giok tetap bersikap tak acuh, katanya agak diluar dugaan: "Kenapa cihu tidak jadi turun tangan?"
"Aku sudah melulusi cicimu untuk tidak membunuh kau." ujar Suma Bing gegetun, "Phoa Cu giok, dia menjadi korban demi menebus dosa2 mu, sebelum ajal dia masih selalu ingat pada kau, dia mintakan ampun bagi kau, kau... inikah manusia?"
Mendadak Phoa Cu giok menubruk kedepan batu nisan dan berlutut sambil menangis meng-gerung2, kepalanya diadu dengan tanah, serunya sesambatan: "Cici, memang dosaku besar, aku tidak memohon pengampunanmu, hanya kuminta kau tahu bahwa adikmu yang jahat dan rendah melebihi binatang ini sekarang sudah insaf, aku bertobat... cici... apa kau dengar?... Oh, semua ini sudah terlambat!"
Jari tangannya yang gemetar mendadak menusuk mengarah jalan darah Thay yang hiat dipelipis sebelah kanannya.
"Berhenti!" Suma Bing menggertak keras, secepat kilat jarinya menutuk dari kejauhan, sejalur angin kencang tepat sekali menutuk jalan darah Ji ti, seketika tangan Phoa Cu giok itu lemas semampai.
"Kau ingin mati juga sudah terlambat, seharusnya kau mati sebelum cicimu menemui ajalnya. Sekarang dia sudah mati, dia ingin kau tetap hidup untuk menyambung keturunan keluargamu."
Pelan2 Phoa Cu giok berdiri, pelipisnya merembes air darah karena tusukan jarinya tadi, keadaannya sungguh sangat mengerikan, mulutnya mendesis seperti orang menggumam: "Yang harus mati tidak mati, yang tidak seharusnya mati malah mati. Masih adakah derajatku untuk tetap hidup?"
Amarah Suma Bing yang membara mulai mereda dan hampir padam, dia sudah mau kembali kejalan yang benar dan lurus, apalagi yang dapat dikatakan?
"Phoa Cu giok, untuk kau Thong Ping sudah melahirkan seorang orok mungil, itulah keturunan keluarga Phoa kalian. Dan lagi terhadap Thong Ping kau harus memberikan ketertiban hidup selanjutnya!"
Phoa Cu giok manggut2 tanpa bersuara.
Katanya kepada Phoa Cu giok lagi: "Kau boleh pergi, kuharap kau jangan membuat cicimu mengandung penasaran dialam baka, baik2lah menelaah nasihat2 baik untuk petunjuk hidup yang benar dan lapang!"
"Cihu, aku pasti menurut segala nasehatmu!"
"Baiklah kau boleh pergi!"
Sekali lagi Phoa Cu giok berlutut dan menyembah didepan pusara cicinya, sekian lama dia mengheningkan cipta lalu berdiri dan tinggal pergi sambil berlenggot.
Memandang bayangan punggung orang, Suma Bing menghela napas panjang, entah bagaimana perasaan hatinya.
Tanpa terasa ia mengulangi kata2 yang diucapkan oleh Phoa Cu giok tadi 'Yang harus mati tidak mati, yang tidak seharusnya mati, malah mati.'
Sekonyong-konyong sebuah suara yang bernada dingin sebagai ejekan menyambung perkataannya: "Ya, memang kau seharusnya mampus!"
Suma Bing terkejut sigap sekali ia memutar tubuh memandang kearah datangnya suara, tampak seorang buntak tua berjenggot panjang sebatas dada dan beruban tahu2 sudah mendatangi didepannya sejauh tiga tombak. Dia bukan lain adalah si maling bintang Si Ban cwan.
Cepat2 Suma Bing angkat tangan memberi hormat, serta sapanya: "Cianpwe baik2 saja selama berpisah ini!"
Mulut si maling bintang Si Ban cwan ber-kecek2 dingin, dengusnya: "Buyung, sungguh tidak kira ternyata begitulah pribadimu, hm, aku si maling tua agaknya sudah picak..."
Suma Bing melengak heran, tanyanya: "Apa maksud ucapan Cianpwe ini?"
Mata si maling bintang memancarkan sorot ber-api2, semprotnya beringas: "Buyung, ternyata setelah dapat mempelajari ilmu sakti, kau gunakan untuk kejahatan diluar perikemanusiaan."
Tahu2 dimaki, dicercah dan dituduh sebagai manusia durjana, keruan Suma Bing berjingkrak kaget dan terheran2, tanyanya pula: "Tuduhan Cianpwe ini mengenai hal apa?"
"Buyung, diseluruh jagad ini tiada kepandaian yang tiada tandingannya, se-tinggi2 gunung ada yang lebih tinggi, se-pandai2 orang ada orang lain yang lebih pandai, bukan karena mempunyai sebuah kepandaian sakti lantas tiada lawan diseluruh penjuru angin. Berbuat jahat dan malang melintang menyebar elmaut, memang manusia punya bisa tapi Tuhanlah yang berkuasa, kelak kau pasti akan menerima pembalasan yang setimpal."
"Cianpwe, kenapa kau bicara ngelantur, aku kurang jelas?"
"Aku si maling tua inginkan jiwamu, apa ini belum jelas?"
Saking kaget Suma Bing tersurut dua langkah, hampir2 dia tidak percaya akan pendengaran kupingnya, suaranya gelagapan: "Cianpwe hendak membunuh aku?"
"Ya, aku tahu si maling tua ini bukan lawanmu, tapi untuk membalas sakit hati kawan tuaku, terpaksa aku harus jual jiwaku ini." habis berkata langkahnya berat beranjak maju, rambut dan jenggotnya yang memutih berdiri tegak dan beterbangan dihembus angin, wajah tuanya merah padam diselubungi hawa membunuh.
"Apa ini bukan kelakar belaka?"
"Hm, kelakar..."
"Sedikitnya Cianpwe harus mengemukakan alasanmu bukan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pedang Darah Bunga Iblis
ActionBayi yang masih berumur 3 bulan ditusuk ulu hatinya dengan pisau/cundrik oleh ibunya, dan buka cuma itu saja ia kemudian dilemparkan ke jurang yang dalam oleh seseorang yang dikenal sebagai pendekar ternama. Tapi sungguh beruntung seorang tokoh sakt...