43. Setelah Ditolong Malah ...

2.8K 50 0
                                    

Kalau Rasul penembus dada muncul dengan gerak gerik yang mencurigakan ini pasti ada tujuan yang tertentu. Mungkin disinilah markas atau sarang Jeng siong hwe itu berada atau mungkin juga...

Begitu membelok haluan dia juga mengikuti menerjang masuk kedalam hutan lebat itu.

Dengan kepandaiannya saat itu yang sangat sakti dan menakjupkan, meskipun gerak gerik Rasul penembus dada sangat cekatan dan gesit sekali selulup timbul diantara dahan2 pohon, tapi sebegitu jauh masih tak lepas dari pandangan matanya.

Dia sengaja mengendorkan langkahnya untuk mengintil terus dibelakangnya. Betapa tinggi kepandaian Rasul penembus dada toh sejauh itu belum mengetahui bahwa dirinya dikuntit orang.

Setelah melewati hutan lebat ini, didepan sana terlihat melintang sebuah anak sungai yang lima tombak lebarnya, diantara keremangan dan himpitan dahan dan daun pohon samar2 terlihat bangunan sebuah gubuk. Tanpa sangsi dan takut2 Rasul penembus dada langsung terbang melewati anak sungai itu terus melesat kearah gubuk bambu itu.

Bukan kepalang heran Suma Bing, buat apa Rasul penembus dada mendatangi sebuah gubuk reyot yang dibangun ditengah hutan belukar begini? Mungkinkah...

Tengah ia ber-pikir2, terdengar Rasul penembus dada sudah perdengarkan tawa dinginnya dan membuka suara kearah gubuk bambu itu: "Pek chio Lojin, apa kau minta tuanmu ini masuk kedalam gubuk untuk menyilahkan kau keluar?"

Begitu mendengar nama Pek chio Lojin, berdetak jantung Suma Bing. Teringat olehnya waktu dirinya mohon sebutir Hoan hun tan di Yo kong bio dulu, layon jenazah Pek chio Lojin terang terletak diruang tengah sembahyang. Apa mungkin seperti apa yang dikatakan oleh Rasul penembus dada dulu bahwa dia hanya pura2 mati untuk mengelabui?

Untuk apa dan kenapa Rasul penembus dada mati2an mengejar dan tidak melepaskan Pek chio Lojin? Terbawa oleh keinginan tahunya dengan gerak raga yang cepat luar biasa, seenteng daun ia melayang melewati anak sungai itu terus menyelinap dan sembunyi dirumpun bunga yang terletak disamping gubuk bambu.

Terdengar pintu gubuk bambu berkereyotan terbuka. Begitu pintu gubuk terpentang berjalan keluar seorang tua ubanan yang bertubuh tegap dan penuh semangat.

"Tua bangka!" maki Rasul penembus dada dengan sikap angkuh dan dingin, "waktu di Yok ong bio untung kau dapat lolos, tapi dapat menghindari yang pertama takkan dapat lolos untuk yang kedua. Semua orang yang terdaftar dalam buku catatan, siapapun takkan dapat menyelamatkan diri!"

Wajah Pek chio Lojin menampilkan rasa kaget dan ketakutan, katanya gemetar: "Lohu sudah lama tidak mencampuri urusan dunia, kenapa perkumpulan kalian tetap tidak melepas Lohu?"

"Enak benar kau berkata tiada turut campur urusan dunia. Ketahuilah, cundrik yang kemilau tajam ini selamanya belum pernah membunuh seorang tanpa berdosa!"

Pek chio Lojin tersurut selangkah, semprotnya bengis: "Ada permusuhan apa Lohu dengan perkumpulan kalian?"

Rasul penembus dada menjengek dingin: "Sudah tentu akan kubuatmu mati secara tulus ikhlas!" sambil berkata itu, sinar cundrik ditangannya berkelebat, tahu2 ia sudah mendesak tiba dihadapan Pek chio Lojin sejarak jamahan tangan.
Pek chio Lojin tertawa getir, katanya: "Rasul penembus dada, waktu cundrikmu menembus dadaku, juga saat ajalmu sudah tiba."
Rasul penembus dada tertawa gelak2, ejeknya tanpa mengacuhkan ancaman lawan: "Tua bangka, kau pintar meramu rumput obat2an, paham betul akan sifat2 pengobatan juga pandai menggunakan racun. Tapi ketahuilah, kau akan sia2, hanya racunmu yang tidak berarti itu, kau mampu mengapakan aku apa?"
Berobah pucat wajah Pek chio Lojin, tubuhnya gemetaran, keringat dingin membanjir keluar.
Tiba2 mulut Rasul penembus dada kemak kemik entah apa yang dikatakan.
Seketika rambut Pek chio Lojin berdiri tegak, airmukanya semakin pucat sampai raganya juga terhuyung limbung, serta serunya tergagap: "Kau... kau... kau ini..."
"Kau akan mati tanpa penasaran!" seru Rasul penembus dada sambil mengayun cundrik.
"Stop!" mendadak pada saat itu juga terdengar sebuah bentakan nyaring, diiringi suara bentakan ini, tampak seorang pemuda berwajah cakap ganteng dengan airmuka kaku dingin muncul dari rumpun bunga bagai bayangan setan saja.
Dia tak lain tak bukan adalah Sia sin kedua Suma Bing adanya.
Saking terkejut Rasul penembus dada mundur tiga tindak, serunya gemetar: "Lagi2 kau!"
"Benar, inilah cayhe adanya!" sahut Suma Bing tawar.
"Suma Bing, apa kehendakmu?"
Nama Suma Bing ini agaknya membuat Pek chio Lojin tergetar dan melongo.
Setelah melirik kearah Pek chio Lojin berkatalah Suma Bing: "Tidak apa2, hari ini aku tidak izinkan kau membunuh orang!"
"Suma Bing, berulangkali kau merintangi dan menentang sepak terjangku, apa kau tahu apa akibatnya nanti?"
"Bagaimana?"
"Cundrik ini akan menembus dadamu!"
"Hehehe, meski cundrikmu sangat tajam, mungkin tidak mempan menembusi dadaku!"
"Ya, nanti kita buktikan!"
"Selalu cayhe nantikan, tapi sekarang kusilahkan kau segera menggelinding pergi?"
"Suma Bing, kau sangka aku tidak kuasa membunuhmu?"
"Memang kenyataan kau tidak mampu!"
Rasul penembus dada menggerung gusar, sinar cundriknya berkelebat bagai kilat langsung menusuk keulu hati Suma Bing.
Tapi Suma Bing bergerak lebih cepat berkelit kesamping sambil bentaknya: "Kau sendiri yang cari mati?"
Begitu serangannya gagal, mendadak Rasul penembus dada membalik tubuh terus menusuk kearah Pek chio Lojin.
Perbuatan Rasul penembus dada ini benar diluar dugaan Suma Bing, dalam gugupnya mendadak ia lancarkan pukulan jarak jauh.
'Blang' disertai pekik kesakitan, tampak Rasul penembus dada sempoyongan dua tombak jauhnya.
Darah segar mengalir deras dari dada Pek chio Lojin, tubuhnya limbung hampir roboh. Agaknya pukulan Suma Bing tadi telah menolong jiwanya, sehingga tusukan Rasul penembus dada tidak menamatkan jiwanya.
Mata Suma Bing melotot ber-api2 menatap wajah dibalik kedok Rasul penembus dada, desisnya: "Kali ini kuampuni jiwamu, lekas menggelinding pergi!"
Insaf kalau bukan tandingan Suma Bing lagi, maka setelah membanting kaki dengan gemesnya, Rasul penembus dada mencelat jauh terus menghilang.
Saat mana Pek chio Lojin sudah menutup jalan darah seperlunya, lalu katanya gemetar: "Sudah dua kali Suma siau hiap mengulur tangan menolong jiwa Lohu, sungguh terima kasih Lohu tak terhingga."
Sebetulnya Suma Bing sendiri juga tidak tahu mengapa dia turun tangan menolong jiwa Pek chio Lojin. Mungkin karena rasa dendamnya kepada Rasul penembus dada belum lenyap. Dia tahu kalau Rasul penembus dada tengah menuntut balas, tapi akhirnya toh dia turun tangan juga.
Dulu walaupun dirinya pernah memperoleh sebutir Hoan hun tan, namun dirinya sudah membelanya mati2an dari renggutan elmaut ancaman Rasul penembus dada, sehingga layon Pek chio Lojin tidak sampai hancur berantakan.
Loh Siau ling itu murid perempuan Pek chio Lojin adalah putri musuh besarnya Loh Cu gi. Kalau Racun diracun tidak muncul tepat pada waktunya, terang dirinya sudah konyol dibawah penggantian syarat yang diajukan oleh Loh Siau ling. Kalau dikatakan budi dan dendam kedua belah pihak sudah sama hapus dan himpas, sudah tiada hutang piutang lagi.
Oleh karena pikirannya ini, maka dengan tawar ia menyahut: "Tidak perlu terima kasih apa segala, cayhe tidak sengaja hendak menolong jiwamu!"
Ujar Pek chio Lojin dengan perasaan haru: "Tapi kenyataan tetap kenyataan tak mungkin dihapus dan diakui!"
Segera Suma Bing angkat tangan serta ambil berpisah: "Cayhe minta diri!"
Se-konyong2 terdengar keluhan panjang lantas terlihat Pek chio Lojin roboh terkapar.
Terperanjat Suma Bing, pikirnya: 'agaknya lukanya itu tidak ringan kalau sudah mau menolong jangan kepalang tanggung, biar kupayang masuk kedalam gubuk, mati atau hidup terserah kepada nasibnya sendiri.'
Maka bergegas ia maju mendukung tubuh Pek chio Lojin terus dibawa masuk gubuk. Keadaan dalam gubuk sangat sederhana, hanya terdapat sebuah meja kursi dan sebuah lemari dan sebuah dipan. Keadaan ruang sebelah dalam sana tidak diketahui karena tertutup kain yang menjulai panjang diatas pintu. Sedikit ragu2 lantas Pek chio Lojin direbahkan diatas dipan itu.
Baru saja ia hendak meletakkan tubuh yang dibopongnya itu, tiba2 terasa jalan darah Bing bun hiat kesemutan. Hatinya tercekat dan sebelum suaranya keluar tubuhnya sudah terkapar jatuh lemas.
Pek chio Lojin melompat bangun sambil bergelak tawa ke-gila2an.
Mimpi juga Suma Bing tidak menyangka Pek chio Lojin bakal membalas kebaikannya dengan tipu muslihat keji ini. Karena tidak mengira dan ber-jaga2 waktu sadar namun sudah terlambat, karena jalan darah sendiri sudah tertutuk oleh lawan.
Meskipun Giok ci sin kang merupakan ilmu digdaya yang tiada taranya yang dapat melindungi jiwa raganya, tapi sebelum pikiran bekerja ilmu ini takkan dapat bergerak sendiri. Demikian juga keadaan sekali ini, belum pikiran siaganya timbul tahu2 sudah tertutuk maka bagaimanapun lihay dan ampuh ilmunya itu saat ini toh tidak berguna lagi, begitu kena tertutuk keadaannya tak ubahnya seperti manusia umumnya.
Kain panjang yang menjulai itu tersingkap, keluarlah seorang gadis cantik rupawan serba hitam dengan langkahnya yang ringan dan berlenggang. Dia bukan lain adalah Loh Siau ling. Putri musuh bebuyutannya.
Hampir meledak dada Suma Bing, ingin rasanya membeset dan mencincang kedua orang tua muda dihadapannya ini. Tapi karena jalan darah sudah tertutuk, memaki atau gembar-gembor juga tidak berguna. Dia insaf keadaannya ini sangat kritis, sudah terang kalau Pek chio Lojin ini adalah komplotan dari pihak Bwe hwa hwe, kebaikan hatinya tadi berarti mengantar badan sendiri kemulut harimau, keruan sangat kebetulan bagi mereka.
Maka diam2 ia kerahkan ilmu saktinya untuk coba2 membobol sendiri jalan darah yang tertutuk itu.
Sekilas Loh Siau ling melirik kearah Suma Bing serta jengeknya dingin: "Gwakong (kakek), sungguh membuat aku gugup setengah mati. Untung ada makanan empuk ini yang menyibakkan kesialanmu!"
Walaupun Suma Bing tertutuk tidak dapat bergerak, namun pendengarannya masih terang. Panggilan Gwakong itu membuktikan bahwa ibu Loh Siau ling yaitu Ang siu li Ting Yan pasti adalah anak perempuan Pek chio Lojin ini.
Pek chio Lojin bergelak tertawa, ujarnya: "Ini benar2 suatu kebetulan yang sangat kebetulan."
"Bagaimana keadaan luka Gwakong?"
"Hanya luka luar saja, dalam dua hari pasti sudah sembuh."
"Lantas bocah ini bagaimana?"
"Lenyapkan ilmu silatnya dan bawa kembali kemarkas besar!"
"Melenyapkan ilmu silatnya?"
"Sudah tentu, kalau tidak siapa berani membawa2 harimau galak ini!"
"Bukankah dibunuh saja lebih beres?"
"Eeee, jangan!"
"Kenapa?"
"Hehehehehe, ketahuilah kedudukan bocah ini sangat penting dia adalah Huma dari Te po itu salah satu tempat kramat yang paling disegani, harga dirinya tidak dibawah benda2 pusaka dunia persilatan..."
"Aku tidak mengerti!"
"Lingji," ujar Pek chio Lojin bergelak tertawa sambil mengurut janggutnya, "Apa kau tahu tokoh macam apakah mertua bocah ini atau majikan dari Te po itu?"
"Aku tidak tahu!"
Pikiran Suma Bing tetap terpusat dalam pengerahan tenaga untuk menjebol jalan darah yang tertutuk.
Terdengar Pek chio Lojin berkata riang gembira: "Anak Ling, dia bernama Pit Gi!"
"Pit Gi? Memangnya kenapa?"
"Tokoh silat nomor satu pada pertandingan silat dipuncak Hoa san yang pertama!"
"O! Jadi ayah adalah tokoh silat nomor satu pada aduan silat yang kedua, ini juga tidak..."
"Anak Ling, kau ini orang kecil tapi pambekmu besar. Apa kau kira gampang memperoleh julukan tokoh silat nomor satu diseluruh jagad ini. Berapa banyak orang yang mengimpikan mendapat julukan yang diagungkan ini."
"Apakah tokoh silat nomor satu diseluruh jagad lantas benar2 tiada tandingannya diseluruh dunia?"
"Ini juga belum tentu. Orang pandai masih ada yang lebih pandai, gunung tinggi ada yang lebih tinggi lagi. Begitu juga tokoh silat nomor satu diseluruh jagad, hanya diukur dari keadaan waktu itu pada tokoh2 silat yang ikut bertanding saja, lantas dari pertandingan itu keluarlah sang juara..."
"Hal ini ada sangkut paut apa dengan Suma Bing?"
"Sudah tentu ada hubungannya. Konon waktu Pit Gi dulu merebut kedudukan korsi pertama yang teragung dalam kalangan persilatan, itu adalah karena mengandalkan Kiu im sin kang. Kalau kita menggunakan Suma Bing sebagai sandera dan minta, dia mengeluarkan Kiu im sin kang sebagai imbalannya, lalu digabung dengan Kiu yang sinkang ayahmu. Begitu negatif dan positif bergabung dapat melatih sebuah ilmu yang dinamakan Bu khek sin kang. Seluruh jagad raya ini takkan ada orang yang berani menandingi!"
"Apa benar?"
"Masa kakekmu mau ngapusi kau?"
"Darimana kau bisa tahu bahwa majikan Te po itu adalah tokoh nomor satu yang terdahulu itu?"
"Julukan Pit Gi adalah Kiu im Suseng. Waktu dia menduduki tokoh pertama dulu semua orang jelas mengetahui, hanya mereka tidak tahu bahwa dia ternyata adalah majikan dari Te po. Kebetulan Gandarwa merah Ngo Tang, anak buah dari Menara setan mendapat tugas untuk pergi menantang kepada Pit Gi, maka berita ini baru tersebar diseluruh Kangouw, kalau tidak teka-teki ini takkan ada yang dapat memecahkan."
"O, kiranya begitu!"
"Urusan ini sangat penting jangan di-tunda2 lagi, lenyapkan dulu ilmu silatnya!" Habis ucapannya tangannya diulur hendak menutuk jalan darah dibawah perut Suma Bing.
"Eh, benda apakah ini?" tiba2 ia berseru heran.
Usaha Suma Bing sudah hampir mencapai hasil, begitu melihat Pek chio Lojin hendak melenyapkan ilmu silatnya lalu merogoh keluar buntalan merahnya, keruan kaget dan serasa semangatnya melayang keluar, karena tak dapat bergerak terpaksa dia diam saja.
"Apakah itu?" tanya Loh Siau ling cepat.
Pelan2 Pek chio Lojin membuka buntalan merah itu, lalu diambilnya sejilid buku kecil yang agak tipis. Begitu melihat judul diatas sampulnya, kontan dia tertawa gelak2 bagai mendapat lotre jutaan.
"Gwakong, apakah itu sebenarnya?"
"Bu siang po liok, hahahahaha... Ilmu gerak tubuh paling hebat diseluruh jagad ini entah bagaimana bisa terdapat ditubuh bocah ini?"
"Coba kulihat!" seru Loh Siau ling terus maju merebut...
Pada saat itulah kebetulan jalan darah Suma Bing sudah bobol semua terus mendadak mencelat bangun langsung mencengkram kearah Bu siang po liok itu.
Terdengar dua seruan kaget dan tertahan, Loh Siau ling dan Pek chio Lojin lari lintang pukang keluar gubuk.
Begitu cengkramannya luput, Suma Bing juga ikut melesat keluar. Sungguh bencinya kepada Pek chio Lojin luar biasa, tanpa banyak suara lagi dengan jurus Mayapada remang2 langsung ia menyerang Pek chio Lojin.
Dimana gelombang badai menerjang tiba menimbulkan angin ribut yang gegap gempita, tampak raga Pek chio Lojin terbang me-layang2 diselingi jeritannya yang menyayatkan hati, terus terbanting keras diatas tanah, kira2 sejauh sepuluh tombak sana.
Loh Siau ling sendiri juga terpental sempoyongan jungkir balik.
Mata Suma Bing menatap tajam kearah Loh Siau ling, pintanya: "Kembalikan!"
Wajah Loh Siau ling pucat pasi, jantungnya berdetak keras hampir melonjak keluar, mundur ketakutan tanyanya gemetar: "Kau bunuh Gwakongku?"
"Gwakongmu?" dengus Suma Bing penuh kebencian, "Hehehe, ketahuilah, dari ayahmu sampai seluruh anak buah dan keluarganya akan kutumpas habis se-akar2nya!"
"Suma Bing," seru Loh Siau ling bengis. "Ada dendam dan sakit hati apakah kau dengan ayahku?"
"Dendam sedalam lautan, kebencian setinggi gunung. Sekarang kau dulu yang harus kubunuh!"
"Jangan bergerak!"
Loh Siau ling berteriak tinggi sambil mengacungkan Bu siang po liok serta ancamnya lagi: "Suma Bing, berani kau bergerak, biar kuremas hancur bukumu ini!"
Suma Bing terkesiap, kalau lawan benar2 menghancurkan buku itu, bagaimana kelak dia memberi laporan kepada Giok li Lo Ci, dan bagaimana pula dia harus memberi pertanggungan jawab kepada pihak Siau lim? Inilah buku catatan ilmu warisan yang sangat berharga dari partai Siau lim!
Loh Siau ling melihat akan kekejutan Suma Bing, tahu dia bahwa tindakan dan ancamannya ternyata membawa hasil, maka katanya lagi sambil tersenyum ejek: "Suma Bing, sekarang kau boleh pergi. Kalau kau memang seorang jantan datanglah kemarkas besar Bwe hwa hwe untuk mengambilnya. Seumpama kau berani menggunakan kekerasan pasti kuhancurkan dulu Bu siang po liok ini!"
"Kau berani?"
"Kenapa tidak berani?"
"Berani kau merusak buku itu, akan kubuat tubuhmu hancur lebur menjadi abu!"
Pada saat itulah tiba2 melayang turun sebuah bayangan hitam, kiranya seorang pemuda ganteng.
"Kau..." tercetus seruan kejut dan heran dari mulut Suma Bing.
Pemuda ganteng yang tak diundang ini tidak lain adalah adik ipar Suma Bing yaitu Phoa Cu giok. Kedatangannya yang mendadak ini benar2 mengejutkan Suma Bing.
"Engkoh Giok!" terdengar Loh Siau ling memanggil dengan mesranya.
Keruan Suma Bing melengak heran, agaknya Loh Siau ling ini adalah kekasih Phoa Cu giok, ini benar diluar tahunya.
Sekilas Phoa Cu giok memandang Suma Bing, lalu berputar menghadapi Loh Siau ling dan berkata: "Adik Ling, ada kejadian apakah?"
"Dia hendak membunuh aku!"
"Bunuh kau, mengapa?"
"Katanya dia bermusuhan dengan ayahku, itu kakekku telah dibunuhnya!"
Suma Bing tidak tahan lagi, tanyanya: "Cu giok, dimana Suhu dan toacimu?"
"Aku tidak tahu?" sahut Cu giok tertegun.
"Apa kau tidak tahu?"
"Bukankah didalam lembah?"
"Hm, disana sekarang sudah menjadi tumpukan puing, itulah karya dari Bwe hwa hwe!"
Berobah hebat airmuka Phoa Cu giok.
"Engkoh Giok, kau, kenal dia?" tanya Loh Siau ling heran.
"Dia adalah cihuku (suami kakak)!"
"Apa Suma Bing adalah cihumu?"
Suma Bing menatap Phoa Cu giok dan berkata berat: "Suruh dia mengembalikan buku itu kepadaku!"
"Buku, buku apa?"
"Bu siang po liok. Kudapat titipan dari orang untuk dikembalikan ke Siau lim si!"
"Bu siang po liok, benda berharga dunia persilatan!"
Rona wajah Phoa Cu giok berobah tak menentu, akhirnya ia berpaling kearah Loh Siau ling dan serunya: "Kembalikan kepada dia!"
"Tidak mungkin!"
"Kau tidak dengar kataku?"
"Nanti dia akan membunuh aku!"
"Ada aku disini tidak nanti dia membunuh kau!"
Menggunakan kesempatan percakapan mereka inilah bagai bayangan iblis saja Suma Bing berkelebat maju lalu mencengkram secepat kilat, terus berkelebat lagi kembali ketempat asalnya. Bu siang po liok sekarang sudah kembali dalam genggamannya, betapa cepat dan sebat gerakannya benar2 sangat mengejutkan.
Untuk membunuh Loh Siau ling sekarang bagi Suma Bing segampang membalikkan tangan. Tapi dia menjadi ragu2 dan bimbang, karena dia adalah bakal atau calon istri Phoa Cu giok adik iparnya, tak mungkin dia turun tangan, seumpama tidak membunuhnya, kejengkelan hatinya ini rasanya sukar terlampias.
Dengan rasa kejut dan curiga bertanyalah Phoa Cu giok kepada Suma Bing: "Cihu, menurut katamu cici dan suhu telah hilang?"
Suma Bing mengiakan.
"Benarkah dalam lembah sana sudah terbumi hangus menjadi tumpukan puing?"
"Kau kira aku berdusta?"
"Perbuatan dari Bwe hwa hwe?"
"Benar, malah pernah kutempur Loh Cu gi didalam lembah itu, sayang dia dapat meloloskan diri."
Terlintas bayangan nafsu membunuh diwajah Phoa Cu giok, namun mimiknya ini tidak kentara dilahirnya. Katanya sambil mendekat kearah Loh Siau ling: "Adik Ling, cici dan Suhuku telah hilang, karena perbuatan ayahmu serta anak buahnya!"
Sahut Loh Siau ling lesu berduka: "Itu bukan urusanku, apalagi kau sendiri tidak pernah memperkenalkan asal-usulmu, siapa tahu..."
"Setiap orang yang menyakiti hati Phoa Cu giok harus kubalas?"
"Engkoh Giok, kau..."
"Adik Ling, tubuhmu sudah menjadi milikku, sudah tentu kau tak mungkin lari menikah dengan orang lain, hidup atau mati jadi setan juga kau sudah menjadi keluarga Phoa, coba katakan betul tidak?"
Loh Siau ling mundur ketakutan, tanyanya: "Engkoh Giok, untuk apa kau berkata demikian? Kau masih menyangsikan cintaku kepadamu?"
"Tidak, aku tahu kau sangat mencintai aku!"
"Lalu kau..."
"Mendadak aku sadar bahwa aku tidak mungkin mencintai kau lagi!"
Pucat wajah jelita Loh Siau ling, desisnya gemetar: "Kau tidak cinta aku lagi?"
"Benar, bukan tidak cinta, tapi tidak mungkin mencintai kau!"
"Engkoh Giok, aku..." dua butir airmata meleleh membasahi pipinya yang putih halus ke-merah2an, agaknya cintanya terhadap Phoa Cu giok memang sangat dalam.
Phoa Cu giok masih tetap tenang tanpa berobah nada ia berkata lagi: "Adik Ling, kau jangan salahkah aku?"
"Aku... engkoh Giok, aku cinta kepadamu! Perbuatan ayah yang durhaka itu jangan kau timpahkan kepadaku..."
"Siapa menyuruh kau menjadi putrinya?"
"Kau... apa yang hendak kau lakukan?"
Membesi raut muka Phoa Cu giok, geramnya: "Aku harus membunuhmu!"
Ucapan ini membuat Suma Bing melonjak kaget, terus teriaknya: "Cu giok, jangan sembrono..."
Tapi sudah terlambat, belum lenyap seruan Suma Bing, sudah terdengar jeritan panjang yang mengerikan memecah kesunyian udara.
Phoa Cu giok benar2 tega membunuh kekasihnya sendiri, ini benar2 kejadian yang susah dapat dipercaya.
Sedemian cakap dan ganteng pemuda ini, tidak nyana berhati kejam telengas dan buas melebihi binatang, sedemikian tega dia turun tangan jahat kepada kekasihnya.
Suma Bing sendiri sampai merinding dan berdiri bulu kuduknya, serunya gemetar: "Phoa Cu giok, kau betul2 membunuhnya?"
Phoa Cu giok tenang2 seperti tak terjadi apa2, sahutnya acuh tak acuh: "Aku Phoa Cu giok pasti membalas setiap perbuatan orang yang menyakiti hatiku. Kejadian ini harus kau salahkan ayahnya!"
"Tapi dia adalah kekasihmu?"
"Kekasih lantas terhitung apa, sedemikian besar dunia ini dimana2 aku dapat memetik bunga yang harum!"
Bergidik dan merinding seluruh tubuh Suma Bing. Baru pertama kali ini ditemuinya seorang yang kejam tidak mengenal kasihan ini, apalagi seorang pemuda yang cakap dan belum berusia dua puluh.
"Phoa Cu giok, kau terlalu kejam!"
"Suma Bing, terpaksa kau kuakui sebagai cihu, harap bicaralah sungkan sedikit!"
Keruan timbul kemurkaan Suma Bing, bukan karena menyayangi kematian Loh Siau ling, sebab Loh Siau ling adalah putri musuh besarnya, adalah karena sepak terjang dan perbuatan Phoa Cu giok yang keji tidak mengenal peri kemanusiaan itulah menimbulkan rasa tidak puasnya, maka sahutnya dingin: "Kau tidak mau mengakui bahwa perbuatanmu ini mendekati perbuatan yang sadis?"
"Hal itu memang belum pernah kupikirkan, aku hanya memikirkan keselamatan cici dan Suhu saja!"
"Tapi kan belum tentu mereka benar2 sudah meninggal bukan?"
"Tidak peduli bagaimana, pendeknya dia memang setimpal menerima kematiannya!"
"Phoa Cu giok, perbuatanmu inilah yang setimpal harus dibunuh!"
Phoa Cu giok menyeringai sinis, ujarnya: "Suma Bing jangan kau takabur akan kepandaianmu, jikalau tidak kupandang muka cici..."
"Kau mau apa?"
"Kau juga harus kubunuh!"
Hampir meledak dada Suma Bing, saking marah dia malah tertawa, serunya: "Cobalah kau turun tangan."
"Kau sangka aku tidak berani?" sambil menggerang langsung ia menggenjot kedada Suma Bing, baru sampai ditengah jalan pukulannya mendadak bergetar menjadi bayangan beberapa buah kepelan seakan bunga salju yang me-layang2 ditengah udara terus mengurung dua belas jalan darah penting bagian atas tubuh Suma Bing. Pukulan ini boleh dikata sangat aneh dan ganas sekali.
Sungguh gusar Suma Bing bukan kepalang, tanpa berayal iapun himpun kekuatan Kiu yang sin kang sampai sepuluh bagian untuk menyongsong pukulan musuh.
Maka terdengarlah gerungan tertahan, tampak Phoa Cu giok tergentak terbang dua tombak lebih, ujung bibirnya meleleh darah segar.
Suma Bing menjadi tertegun, pikirnya, agaknya pukulanku terlalu berat?
Wajah Phoa Cu giok penuh diliputi rasa kebencian yang ber-api2, sorot matanya buas, hardiknya bengis: "Suma Bing, jangan kau sesalkan aku turun tangan kejam..."
Pada waktu yang tepat itulah mendadak terdengar sebuah bentakan nyaring: "Cu giok, berani kau kurangajar kepada cihumu!"
Begitu lenyap suara itu, meluncurlah sebuah bayangan dihadapan mereka. Pendatang ini bukan lain adalah bibi Suma Bing Ong Fong jui adanya.
Dengan kejut dan rasa takut2 Phoa Cu giok mundur dua langkah terus bertekuk lutut, sapanya: "Suhu terimalah hormatku!"
Dingin2 saja Ong Fong jui melotot kearahnya, ujarnya: "Cu giok, lagi2 kau berani lari keluar. Inilah yang terakhir kuperingatkan kepadamu, jikalau kau berani berbuat jahat menyebar bencana dimana2, pasti kuhukum menurut peraturan perguruan nomor satu!"
"Ampun Suhu, anak Giok sudah insaf akan dosanya!"
Baru sekarang Suma Bing berkesempatan maju memberi hormat serta sapanya: "Bibi kau baik2 saja!"
"Bing tit, apakah yang telah terjadi?"
Segera Suma Bing menceritakan secara ringkas jelas. Sehingga Ong Fong jui gusar bukan kepalang, semprotnya kepada Phoa Cu giok: "Cu giok, memang kau setimpal untuk dibunuh. Mengingat pesan terakhir ayah ibumu maka cicimu sangat menyayang dan mengeloni kau. Akan datang suatu hari pasti cicimu akan celaka ditanganmu sendiri."
Phoa Cu giok tunduk diam saja tanpa berani bergerak.
Kata Suma Bing: "Bibi, apakah Kin sian selamat?"
"Dia baik2 saja, kenapakah kau tanyakan dia?"
"Ini... tidak apa2 hanya bertanya saja, dimanakah dia sekarang?"
"Ubek2an kemana2 mencari bocah durhaka ini, ai, dia sungguh kasihan... dia seorang yang welas asih!"
"Waktu Titji kembali kedalam lembah, kutemui..."
"Karena curiga kau sembunyi didalam lembah, maka Bwe hwa hwe melepas api membakar lembah untuk memaksa kau keluar!"
"O!" demikian seru Suma Bing, baru sekarang ia tahu duduk perkara sebenarnya.
"Bing tit, agaknya Lwekangmu..."
"Titji sudah mencapai hasil mempelajari ilmu yang tertera didalam Pedang darah dan Bunga iblis!"
"Ah, apa benar, sungguh menggirangkan dan kuberi selamat kepadamu. Bagaimana jejak ibumu dan musuh besarmu?"
"Ini... masih belum ketemu!"
"Kau harus berusaha sekuat tenaga untuk menyirapi keadaan ibumu, kalau tidak para musuh yang turut dalam pengeroyokan di puncak kepala harimau itu susah dapat kau selidiki!"
"Benar!"
"Aku juga akan membantu sekuat tenaga mencari."
"Terima kasih akan bantuan bibi!"
"Sekarang kemana kau hendak pergi?"
"Aku diutus seorang Cianpwe untuk menyelesaikan pertikaian ratusan tahun yang lalu digereja Siau lim!"
"Pertikaian apakah itu?"
"Untuk mengembalikan Bu siang po liok kepunyaan Siau lim yang hilang pada ratusan tahun yang lalu!"
"O, kalau begitu kau harus segera berangkat!"
Setelah berpisah dengan bibinya, Suma Bing menyusuri jalan raya terus melanjutkan perjalanan menuju ke Siau lim si.
Hari itu, pagi2 benar sebelum sang surya mengunjukkan diri dari peraduannya. Didepan pesanggrahan gereja Siau lim muncullah seorang pemuda yang bertubuh tegap garang dengan sikap kaku dingin dan angkuh. Dia bukan lain adalah Suma Bing.
Terbayang olehnya peristiwa yang terdahulu waktu dirinya teringkus dan dikurung didalam gereja agung ini. Maka tersimpullah dalam benaknya suatu tekad yang melebihi batas...
"Tuan darimanakah itu sepagi ini sudah berkunjung ke biara kita, silahkan berhenti."
Disusul muncul dua pendeta yang beralis tebal ditengah jalan yang menuju keatas gunung.
"Cayhe Suma Bing, berkunjung untuk kedua kalinya."
Setelah melihat tegas siapa yang datang ini, kedua pendeta itu mundur ketakutan, salah seorang pendeta memberanikan diri bertanya: "Ada keperluan apa Sicu berkunjung?"
"Laporkan kepada Ciangbun kalian bahwa aku Suma Bing ada urusan penting mohon bertemu!"
"Harap Sicu suka menanti sebentar!" kedua pendeta itu terus berlari bagai terbang. Tak lama kemudian seorang pendeta tua yang berwajah bersih dan angker melayang tiba diluar pintu pesanggrahan luar itu.
Sekali pandang tahulah Suma Bing, pendeta yang mendatangi ini bukan lain adalah Liau Ngo Hwesio, segera ia angkat tangan menyapa: "Selamat bertemu Taysu!"

Pedang Darah Bunga IblisOnde histórias criam vida. Descubra agora