58. Ketika Rasa Sayang Itu Terkikis -1-

7.8K 668 45
                                    

Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata

Mutiara lavendernya memandang hampa pada pintu cokelat yang berada tepat di hadapannya. Bibir mungil itu berwarna peach itu membentuk kurva tipis, tangan putihnya meraih gagang pintu yang terbuat dari platinum, rasa ragu melingkupi batinnya. Hinata menarik kebali tangannya dan meletakkan di dada kirinya, nafasnya terasa sesak, wajah putihnya memerah, bersamaan dengan pelupuk matanya yang mulai dipenuhi bulir-bulir air mata.

"Kalau kau tak mau tak usah di paksakan."

Hinata menoleh sekilas pada seseorang yang berdiri disampingnya. Nara Shikamaru, penyidik yang kini bertanggung jawab atas kasusnya itu sedikit memicingkan matanya melihat Hinata yang nampak enggan membuka pintu.

Kepala indigo gadis itu menggeleng pelan seraya kembali tersenyum tipis, "tak apa, setidaknya ini untuk yang terakhir kalinya..."

"Aku akan menunggu di luar agar kalian bebas berbicara."

...

Sepasang kaki jenjang yang di lapisi flat soes abu-abu dengan merek Miu-Miu itu melangkah pelan menapaki lantai marmer putih, sepelan mungkin agar tak menimbulkan suara berisik yang mungkin bisa membangunkan seseorang yang tengah berbaring di ranjang pasien.

Mutiara ungu muda itu mulai meneliti tiap jengkal ruangan berukuran empat kali empat meter itu, cukup luas untuk kamar rawat seorang penjahat. 'Mungkin karena dia penjahat kelas International, jadi kamarnya seperti ini...' Hinata membatin seraya menggidikkan bahunya.

"Kau datang?"

Hinata sedikit tersadar dari pikirannya sendiri ketika suasana hening itu terusik, ia menoleh ke asal suara yang memenuhi gendang telinganya beberapa detik lalu.

"Tentu saja, bagaimana keadaanmu...?" Tanya Hinata sopan seraya berjalan mendekat pada pria yang terbaring tak berdaya di ranjang pasien itu.

"Kau tidak marah padaku?"

Mendengus geli, wajah cantik Hinata lalu berpaling pada jendela besar di seberang ranjang rawat Toneri. "Aku yang bodoh, jadi itu bukan salahmu, Toneri..." Jawab Hinata datar.

Pria dengan surai perak itu terseyum tipis, lalu menunduk. Hanya Toneri, namanya disebut Hinata dengan begitu datar, 'kenapa terasa sakit?' Menunduk dan tersenyum geli, Toneri merasakan sesak di dadanya. Bukan karena luka tembak yang di deritanya melainkan karena panggilan Hinata terhadap dirinya begitu dingin.

'Lucu... bukankah dulu kau hanya ku anggap sebagai bonekaku....? Lalu sekarang kenapa rasanya sedih sekali ketika kau berlaku dingin padaku, bukankah aku pantas mendapatkannya?'

"Sebenarnya ada apa?" Tanya Hinata tanpa basa-basi segera memecahkan keheningan antara mereka.  Jujur saja Hinata ingin segera meninggalkan ruangan itu, berada bersama Toneri dalam satu situasi seperti ini membuatnya mual.

"Apa aku masih punya kesempatan? Kau tahu, saat tak sadarkan diri karena tembakan itu, aku...." Toneri tercekat, manik biru mudanya ia arahkan pada Hinata, tapi gadis itu malah membuang padangannya. "Aku tahu mungkin ini terdengar tak tahu diri..." Hinata mendengus muak mendengar ucapan Toneri.

"Tapi saat berada dalam keadaan hampir mati, aku sadar, bahwa hanya kau yang berada di sampingku di saat apapun. Bahkan kau tetap ikut bersamaku saat di pengadilan. Mungkin ini terlambat, tapi aku tak suka menyimpan ini. Kurasa aku mulai mencintaimu kali ini, tanpa alasan apapun."

Sweet DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang