12. Acara

6.6K 258 29
                                    

Setelah hari dimana Dea bertengkar dengan Dimas, sejak itulah Dea menjauh dari teman-temannya. Bahkan latihan tidak pernah berlangsung lagi dengan temannya karena Dea harus berlatih band dengan Fargan dan hari ini adalah hari H acara pentas itu akan berlangsung. Panggung sudah berdiri ditengah-tengah lapangan dengan megahnya. Beberapa tenda bajar juga sudah berdiri berjejeran dari gerbang masuk sekolah.

Dea berdiri terdiam di ruang rias, disana berkumpulah beberapa anak Osis yang akan satu band dengan Fargan. Dea hanya berdiri diujung sudut.

"Tepuk tangan untuk pertunjukkan selanjutnya, acara selanjutnya adalah band dari para Osis. Ok dipersilahkan untuk menaiki panggung." semua orang heboh, ketika satu persatu anak Osis menaiki panggung mereka semua bersemangat, kecuali Dea tentunya.

Setelah berdiri diatas panggung Dea bisa melihat teman-temannya yang menatapnya tidak percaya.

"Jadi ini yang bikin Dea melanggar janji dia? Dia ikut band lain? Dan itu band Fargan?" tanya Acep tak percaya.

"Bener-bener kecewa gue sama Dea, bisa-bisanya sih dia milih mereka dari pada kita. Apa kita udah dilupain sama Dea? Semudah itu ya? Padahal kita sahabatan dari zigot." ucap Riska diangguki yang lain.

Mereka kembali dibuat kaget dan semakin kecewa saat lagu yang akan mereka mainkan hari ini malah sudah dimainkan oleh band Fargan. Mau nyanyi apa mereka? Riska sangat kecewa, terlebih saat melihat Dea menjadi vokalisnya. Dea keterluan!! Itu yang mereka pikirkan.

"Jahat banget si Dea, setidaknya dia bilang kek gak kaya gini juga! Dia mau bikin kita malu apa ya? " tanya Siska.

"Udah lah ya cape gue ngomongin penghianat!" Ucap Daren yang tersenyum sinis lalu pergi dari sana. Mungkin dibanding yang lain Daren lah yang paling antusias untuk nge-band. Tapi penghinatan Dea membuat Daren sangat kecewa.

Akhirnya yang lain ikut pergi dari sana mengikuti Daren.

"Gimana ini? Kita udah siap kaya gini, bahkan kita udah nge daftarin diri. Ya kali batal, bisa kena semprot panitia. Belom guru yang lain juga pasti marah-marah." ucap Acep kebingungan didalam kelas. Yang lain hanya menggeleng lemas. Tak lama dari itu panitia acara datang.

"Ck! kalian dicari kemana-mana malah duduk disini! Cepet keluar naik ke panggung!" ucap panitia yang merupakan anak Osis kelas dua belas.

Acep bingung harus bagaimana, dirinya akan maju tapi Siska sudah maju duluan.
"Anu—kak itu mmm kami gak jadi tampil," ucapnya.

"Kalian bercanda?! Kami udah nyusun waktu acara. Kalian mau main-main ya?!"

"Gak gitu kak, kami minta maaf sebelumnya,"

"Kamu kira ini candaan? Kalau emang gak niat tampil bilang dari awal!"

"Heh kenapa ribut?" tanya bu Nina yang berjalan mendekat.

"Ini bu, masa mereka mau batalin tampil. Waktunya kan udah panitia atur bu, jadi kacau kan."

"Kalian kalau mau main-main jangan begini dong! Hargai dong usaha para panitia! Mereka udah atur waktunya. Sikap kalian ini gak bertanggung jawa! Besok kalian yang beresin sampah dari acara ini ibu gamau tau!" setelah itu bu Nina pergi diikuti panitia itu.

Siska terduduk disalah satu bangku, tangisnya pecah. Bukan karena takut. Tapi dirinya kecewa sekaligus kesal dengan Dea. Gara-gara Dea semuanya berantakan.

Tangan Siska mengapal kuat, kukunya menancap dalam ke kulitnya membuat kukunya memutih."Dea keterlaluan!!" teriak Siska.

~•o•~

Dea merasa sangat-sangat bersalah, dirinya juga sadar ini sudah terlambat. Dea memasuki kelas XI mipa 2 dan benar saja teman-temannya itu ada disana. Baru saja Dea melangkah masuk suara bariton sudah menyambutnya.

"Ngapain lo?" ketus Daren.

Ada nada tidak suka disitu, bahkan Dea bisa merasakan teman-temannya tidak senang Dea ada sini.

"Gue mau minta maaf," jawab Dea menatap semua temannya.

"Maaf?" tanya Siska yang terlihat habis menangis, Dea kembali merasa bersalah. Siska menghampiri Dea. "Sadar gak sih lo De! Lo bikin kami kecewa! Lo harusnya tau diri lo bisa punya mental kaya sekarang gara-gara kami, lo bukan apa-apa dulu lo bahkan hampir dimasukin ke rumah sakit jiwa gara-gara gangguan mental. Tapi kami nolong lo dan inilah lo yang sekarang! SEMUA ATAS JASA KITA!!" sinis Siska sambil menunjuk nunjuk bahu Dea. "Dikasih apa lo sama mereka, hah? Sampai lo menghianati kita! Jangan pernah berharap gue bakal maafin lo! Gue terlalu kecewa tau gak!" Siska melewati Dea dengan menabrak kencang bahu Dea. Dada Dea sesak apalagi saat Siska membawa-bawa masa lalunya. Dea ingin sekali menjelaskan, tapi tidak bisa.

"Lo ngapain masih disini? Pergi sana! Kami gak terima penghianat!" air mata Dea turun mendengar ucapan Daren. Untuk pertama kalinya Daren berbicara setajam itu kepada dirinya. Dari sekian banyaknya orang mungkin Daren itu sudah bagaikan sosok kakak bagi Dea, walau umurnya hanya beda beberapa bulan. Dea masih mematung menatap sahabat-sahabatnya yang lain. Mereka hanya diam.

"Sesusah itu lo nolak Fargan De? Lo cinta sama dia? Jadi lo mau ngelupain sahabat demi cinta gitu? Lo hebat banget sih!" Dimas bertepuk tangan. "Udah gak butuh terus kami dibuang aja gitu, kalau tau kaya gini dari awal gue gak sudi kenal sama lo!"

"Lo budeg atau tuli si De? PERGI!!" teriak Daren, tapi Dea tetap berdiri ditempatnya. "Lo gak mau cabut? Yaudah kita yang cabut!" Daren dan yang lain pergi dari sana meninggal Dea yang menangis sesegukan didalam kelas.

Kaki Dea lemas, Tangan Dea berpegangan ketembok.

~•o•~

Feri berjalan capat mencari Dea, pasalnya hp Dea tertinggal di meja rias dan kakaknya menelponnya berulang kali. Sudah satu jam yang lalu acara selesai tapi Dea tak kunjung kembali ke ruang rias. Feri sedikit khawatir jadi ia mempercepat langkahnya mencari Dea.

Feri menatap keadaan disekitarnya, lalu matanya menyorot ke arah siswi yang menangis sambil jongkok.

"Dea!" Feri menghampiri Dea, dan ikut berjongkok."Heh, kok malah nangis? Lo gapapa? Gue anter balik ya?" Dea menggeleng, "Lo sakit? " Dea kembali menggeleng.

"Nih kakak lo nelpon dari tadi," Feri memberikan ponsel Dea. "Ma-ma kas-sih," ucap Dea terbata-bata disela-sela tangisnya.

"Udah jam Setengah sebelas malam, gue anter pulang ya?" Dea menggeleng. Dea tidak bisa pulang sekarang, dia akan membersihkan sampah dilapangan dulu agar teman-temannya tidak cape besok. Feri mengangguk lalu meninggalkan Dea sendiri disana. Walau sebetulnya Feri tidak tega meninggalkan Dea sendiri.

Tangan Dea sibuk mengumpulkan sampah plastik dan kertas dilapangan. Walau sekarang sudah jam sebelas malam dan sekolah sudah sangat sepi. Tapi Dea tidak gentar. Dengan kaki yang masih diperban dan sedikit pincang Dea berjalan mundar mandir memunguti sampah.

Feri yang melihat Dea dari kejauhan merasa iba, ingin sekali dirinya membantu tapi Fargan sedang mengawasinya. Feri mendongak ke lantai dua, disana Fargan sedang memerhatikan Dea.

Ternyata Fargan memang tidak memakai cara Rendi tapi ternyata dia memakai cara yang lebih jahat dan licik untuk melukai Dea. Yaitu membuat teman-temannya menjauh. Sampai kapan lo nyakitin dia gan?

TBC...






Say You Love Me Where stories live. Discover now