47

435 44 8
                                    

Seminggu berlalu..

Kedua tangan berwarna putih bersih itu masih saling menggengam erat, walau keduanya tak sadar karena dalam keadaan tidur.

DRRTT..

Pintu terbuka, Tiyo menghampiri sosok lelaki yang duduk diatas kursi dengan kepala dikasur dan tangannya yang menggenggam tangan adiknya.
Tiyo menggeleng, saat sadar akan perasaan lelaki tersebut kepada adiknya.

Tiyo duduk disofa yang mengarah ke kasur Dea, matanya masih fokus menatap dua sosok didepannya yang masih tertidur pulas. Senyum kecut menghias wajah Tiyo.

"Kasian Fargan harus gue pisahin dari Dea,"

Mata Fargan terbuka, hal pertama yang ia lihat adalah tangannya masih menggenggam tangan kecil Dea, ujung bibirnya tertarik bersamaan.

Kepala Fargan menoleh kekanan dan mendapati Tiyo sedang terbegong, saat Tiyo tersadar dari lamunanya matanya menatap Fargan mata mereka bertemu dan saling melempar senyum kecil.

"Udah lama disini?" tanya Fargan.

"Belom, baru beberapa menit sih. Mau bangunin tapi lo pules banget." Kata lo-gue itu mereka gunakan untuk menunjukan kedekatan mereka, walau awalnya tentu bahasa formal yang mereka gunakan karena bagaiamana umur Tiyo jauh diatas umur Fargan.

Fargan menghampiri Tiyo, lalu duduk disamping Tiyo. Tangannya mengusap halus lehernya yang agak sakit karena salah posisi tidur.

Tiyo tersenyum kecil, "kenapa gak balik pas malem? Betah banget deket adik gue."

"Maaf sebelumnya, karena kesannya gue jadi orang ketiga antara adik lo sama Gani." ucap Fargan tanpa menoleh kearah Tiyo.

"Selama lo tau batasan gue kasih ijin, tapi... Gue mau setelah Dea sadar lo harus jauhin Dea, karena bagaimanapun adik gue udah jadi tunangan orang,"

Fargan tersenyum sinis, "Baru juga tunangan, apa harus segitunya." Batin Fargan. " Tenang aja, bentar lagi juga gue keluar kota, gue mau kuliah."

Tiyo melirik wajah lesu Fargan saat mengatakan dia akan keluar kota, secara tidak langsung dirinya ingin menjauhi Fargan dari Dea. Dibalik lubuk hati Tiyo jujur dia menyesal.

"Gue balik dulu malem ini gue balik lagi kesini," ujar Fargan lalu pergi dari ruangan itu.

~•~

Fargan memasuki rumah sakit dengan pakaian santai yang melekat ditubuhnya niatnya malam ini Fargan akan menginap di rumah sakit.

Kaki Fargan terhenti saat melihat banyak orang berkumpul didepan pintu ruang Dea dirawat.

"Kak Fargan!" Panggil Defan yang berdiri sambil bersender didinding putih rumah sakit.

Fargan melangkah kearah Defan, "Kenapa ngumpul semua?" tanya bingung Fargan.

"Kak Dea baru aja sadar dan sekarang lagi ditangani sama dokter, kak Tiyo juga ada didalem," jawab Defan sambil tersenyum.

"Ter..-us," ucapan Defan terpotong ketika melihat Fargan yang terdiam sambil melihat jendela di pintu penghubung ke kamar Dea.

"Kak Fargan kalo mau masuk aja," ucap Defan, Defan pikir itu yang Fargan mau tapi nyatanya Fargan malah menggeleng.

"Gue gak bisa, Gue ngerasa gak pantes buat nemenin Dea apa lagi dia udah punya tunangan." Jelas Fargan membuat Defan paham.

Kecewa memang, karena dirinya sudah cepat-cepat mengerjakan tugas kantor agar bisa lebih cepat bertemu Dea tapi ternyata wanita itu sudah sadar  dan itu artinya Fargan sudah tidak bisa bertemu Dea lagi, seperti yang diucapkan Tiyo tadi pagi.

Fargan takut genggaman tadi pagi adalah terakhir kalinya untuk Fargan.

" Dulu lo selalu ada disamping gue , tapi gue gak peduli, sekarang saat lo gak ada disamping gue, kenapa gue malah peduli?"


Dea terbangun, hal pertama yang ingin ia lakukan adalah membuka matanya. Kening Dea berkerut," Kak kok gelap ya? Lampunya mati? Kenapa gak diidupin?" suara Dea mulai gusar ," Kak, Dea takut gelap." lanjutnya sambil meremas tangan Tiyo.

"Kak Tiyo?" panggilnya tapi tak ada yang menyahut, padahal jelas-jelas ia memegang tangan kakaknya. Nafas Dea tercekat, tangan kirinya memegang telingangya, teliganya mendengung, suara teriakan itu kembali mengiang ditelinganya. Membuatnya kalang kabut.

"De—a tolongin....."
"Tolongin, kakak..."

Suara itu semakin menjadi-jadi, Dea semakin gusar. Kepalanya sakit, jantungnya berpacu cepat.

"Kak Ratih," nama itu lolos dari mulut Dea begitu saja diikuti suara tangis. Tubuh Tiyo melemas saat nama almarhum pacarnya kembali disebut.

Kenangan buruk itu kembali masuk kememorinya, kenangan yang hancur itu kembali tersusun rapih. Kepanikan semakin menjalar, menusuk sampai kekulit Dea. Kegelapan ini membuatnya sesak. Dadanya sakit. Ia tidak bisa bernafas. Dea kemabli mendengar suara itu.

"Kak Ratih bosen kan? Mending kita ke pasar malem aja," ajak Dea sumringah, wanita berambut panjang dengan mata bulat itu tak bisa langsung  menolak permintaan adik pacarnya.

"Apa gak terlalu malem ya? Tiyo nyuruh kita tetap dirumah sampai dia jemput kamu." Ratih mengelus rambut Dea saat Dea cemberut. Umur mereka berbeda 5 tahun, tentu Ratih sangat Dewasa jika dibandingkan dengan Dea yang masih duduk dikelas 6 SD.

"Kali ini aja kak," Dea melirik jam dinding yang menunjukkan jam 9 malam, "Kalo nunggu kak Tiyo bisa sampai jam 11 malem, nanti kalo pasar malemnya bubar gimana?" memang sedikit memaksa, tapi ratih menyetujuinya.

Mereka keluar rumah, menuju pasar malem yang ada dialun alun kota. Kawasan tempat Ratih tinggal sebenarnya kurang memadai, dikawasan ini banyak preman yang sering nongkrong dipos depan. Ratih seringkali diganggu oleh preman itu tapi ratih tidak peduli demi mendapatkan harga kos murah.

Ratih melirik tangannya, jam menunjukkan pukul 11 malam harusnya Tiyo sudah tiba ditempat kosnya. Entah apa yang akan Ratih katakan pada Tiyo nanti ,karena tidak mungkin ia bilang bahwa Dea ingin bermain sampai lupa waktu. Tiyo mungkin akan menyentak Dea jika Ratih bilang kebenarannya.

Ratih memilih melewati gang kecil, sebab jalan jaraknya lebih pendek untuk sampai ke kosannya.

"Kak gelap banget? Dea takut," Dea memeluk tangan kanan Ratih.

"Ada kak Ratih disini, kamu aman." Dea mengangguk. Mereka terus berjalan hingga dipertengahan jalan terdengar suara langkah kaki dibelakang mereka. Firasat Dea mulai memburuk, Dea melirik kebelakang nihil tidak ada orang yang ada hanya lampu jalan yang mati hidup.

Dea kembali menatap kedepan, dan betapa kagetnya saat melihat preman yang biasanya nongkrong di pos depan itu kini menghadangnya.

Say You Love Me Where stories live. Discover now