13. Tuduh

6.9K 246 57
                                    

Dea baru selesai membersihkan lapangan tepat pukul 11.15 dilihatnya jalanan begitu sepi. Dea terduduk dihalte depan sekolah. Rasa cemas terus melanda Dea apalagi rasa takut. Dea sengaja mematikan ponselnya agar kakaknya berhenti menelpon. Entah apa yang akan terjadi saat Dea sampai dirumah. Mungkin kakaknya akan mengamuk. Berharap untuk dijemput? Hahahah perang dunia ketiga dulu baru kakaknya akan menjemputnya.

Mata Dea menangkap beberapa preman yang berjalan ke arahnya, tubuh Dea bergetar seketika. Apalagi Dea sendiri disitu. Dea bangkit dan memilih berjalan capat. Menjauh dari para preman. Sayangnya preman itu sudah menandainya, Dea kalah cepat preman itu menarik tangannya dari balakang.

"Mau kemana cantik?" tanya salah satu preman yang tangannya dipenuhi tato.

Tubuh Dea bergetar hebat, " Lepas gak?! Saya teriak kalau kalian macem-macem!" ancamnya dengan wajah dibuat seberani mungkin.

Ketiga preman itu tertawa, "Siapa yang mau nolongin? Emang disini ada orang?" tanya preman lainnya dengan nada meledek.

Kepala Dea berdenyut, kejadian ini bagai De javu banginya. Dea tidak tau apa itu, Dea tidak ingat.

"Lepasin!" teriak Dea mulai menangis saat tubuhnya diseret menuju gang buntu yang biasanya dipakai untuk anak-anak merokok. Dea semakin takut, hatinya tak henti-hentinya merapalkan doa.

"Lepasin!!" teriaknya. Tapi ketiga preman itu bagai tak peduli dengan teriakan Dea. Dengan sekali gerakan tubuh Dea sudah didorong sampai menghantam dinding.

Dea berulang kali berteriak meminta tolong tapi tidak ada yang menolongnya juga, mata Dea menatap ketiga preman yang berdiri didepannya. Dea masih terduduk lemas. Pasrah sudah dirinya. Ya, tapi kepasrahannya itu menemukan titik cerah saat melihat seseorang melewati gang itu. Dea langsung berteriak meminta tolong.

Orang itu menoleh, dan mendapati Dea disana. Mata Dea meredup saat melihat cowo yang memakai jaket bomber merah dan wajah yang tertutup helm itu menoleh.

"Mau apa lo? Mau nolongin?" tanya salah satu preman.

Cowo itu menatap Dea dengan acuh tak acuh berniat pergi dari sana, sampai Dea kembali memanggilnya.

"Jangan! Please hiks jangan tinggalin gue!" Dea mengangkat tangannya berniat meminta tolong. Orang itu melirik malas kearah Dea. Hembusan kasar keluar dari mulutnya.

Cowo itu melepas tasnya dan membiarkannya terjatuh ditanah. "Maju lo!" ucap cowo itu kepada para preman. Cowo itu maju dan menyerang duluan preman itu, dengan santai cowo itu menghabisi preman itu. Satu-persatu preman itu tumbang. Begitu preman itu pergi dari sana cowo tinggi itu melirik malas Dea yang masih terduduk lemas.

Dirinya meringis saat berpikir ulang ngapain juga buang-bunag tenaga kaya gini demi nolongin cewe itu. Seharusnya dia biarkanya saja, tapi sayangnya hatinya tidak sebrengsek itu.

Dea berusaha berdiri dengan kakinya yang lemas, "Makasih," ucapnya pada cowo didepannya yang tidak ia kenal.

"Nyusahin!" ketus cowo itu.

"Kalau idup biasain jangan nyusahin orang!! Gak usah nangis, basi!!" sinis cowo itu lalu pergi dari sana meninggal Dea yang masih sesegukan.

"Ma-maaf," lirihnya kecil.

Dea berdiri menunggu taksi 10 menit berlalu tapi taksi belum ada satu pun yang lewat, tangannya menyentuh kepalanya. Kebiasaan, abis nangis pasti langsung migren. Ayolah please taksi lewat dong, batinnya meringis.

"Mbak Dea kan? Mau naik taksi kan?"

Samar-samar Dea melihat taksi berhenti didepannya. "Iya pak, " tanpa bertanya lebih lanjut Dea memilih menaiki taksi tersebut karena jujur kepalanya sangat pusing.

"Mau kemana mbak?"

"Ke jalan xxx, tapi sebelum itu keliling kota Jakarta dulu ya pak," jawab Dea tersenyum, dirinya harus menenangkan diri dulu sebelum sampai dirumah jangan sampai kakak dan adiknya melihatnya habis menangis. Dirinya harus terlihat baik-baik saja didepan keluarganya, ya. Bersikap baik-baik saja sudah menjadi kebiasaan Dea.

"Pak kok tau nama saya?" Dea memasang wajah bingung.

"Saya dapet orderan buat jemput mbak, saya kurang tau mbak."

"Yang mesen cewe atau cowo pak?"

"Saya gak tau mbak,"

Setelah itu Dea berhenti bertanya karena kepalanya semakin pening, kepalanya bersender di jok. Jujur Dea enggan pulang
Sampai dirumah juga paling kena omel, kena nyinyir.

Dari kejauhan orang yang terduduk diatas motor sejak sepuluh menit itu menghembuskan nafas kasar melihat taksi yang ditumpangi Dea berjalan pergi.

"Ck, nyusahin!"

~•o•~

Dea sampai didepan rumah, Dea bersyukur gerbang besinya tidak dikunci. Dea juga bersyukur pintu belum dikunci. Dea segera masuk. Begitu sampai diruang tengah dirinya dikagetkan dengan adik dan kakaknya yang sedang duduk disofa sambil menatap horor kearahnya.

"Gak tau waktu!"

Dea berdiri kearah dua orang itu.

"Maaf kak tadi itu Dea har-"

"Kamu tau gak sekarang jam berapa?! Kamu kira rumah ini apaan? Pulang tengah malem kaya gini! Lebih baik gak usah pulang! Saya gak rugi kalau kamu gak pulang!" nada suara Tiyo bergitu dingin.

"Gak gitu kak tad-"

"Lo nembak cowo, padahal udah tunagan gak tau diri lo! Lo gak mikirin perasaan tunangan lo apa?" kali ini adiknya yang besuara.

"Gue bisa jelas-"

"Kanapa hidup lo banyak alasan banget sih?! Lo jelas-jelas salah, sesusah itukah ngaku salah?! Lo kegatelan banget tau gak! Gak tau diri! Lo kira pertunangan itu mainan?! Lo ki-"

Brakk

Dea melempar tasnya ke lantai, dadanya naik turun. Membuat dua orang disofa itu terdiam. Tubuh Dea kembali bergetar. Bisa gak sih dengerin penjelasannya? Sesusah itu apa jadi pendengar?

"TERUS GUE HARUS GIMANAAAA!! " teriaknya frustasi. "Lo bilang gue banyak alasan? Emang pernah gue berasalan?! Kalian dengerin penjelasan gue aja gak pernah! Pantes gitu bilang kaya gitu! Please~ Ngertiin sedikit aja. Dea lelah kaya gini terus." teriak Dea frustasi. Dea berlari keluar rumah. Terserah lah, ia cape begini terus. Dea ingin pergi. Kemana? Kemana saja yang penting gak kena omel dan gak kena nyinyir kakak beradik dirumahnya itu.

Dea baru saja melangkah sampai pintu, kepalanya pusing luar biasa. Tangannya mencoba memegang pintu berniat berpegangan. Tangannya nyaris memegang pintu, tapi penglihatannya sudah memburam. Tubuh Dea ambruk.

~•o•~

Motor ninja berwarna merah, kuning dan hijau itu memasuki area rumah Feri, Fargan turun dari motor. Kakinya melangkah menuju pintu, baru saja pintu akan dia ketuk, Feri sudah membukanya terlebih dahulu.

"Lama banget sih! Katanya beli nasi goreng tapi balik-balik gak bawa apa-apa," cerocos Feri.

Fargan langsung nyosor masuk kedalam rumah Feri. "Makasih motornya, gue mau nginep disini lo dilantai gua dikasur,"

Feri melongo, "No!No!No! Enak aja gue dikasur pokoknya."

Kasurnya memang single bad, jadi hanya muat satu orang dan Feri Maupun Fargan tidak sudi kalau harus tidur mepet.

Fargan berdiri lalu berjalan menaiki tangga, meninggalkan Feri yang masih diam dilantai bawah, "SIAPA CEPAT DIA DAPAT!" ucap Fargan lalu terbirit birit menaiki tangga sambil tertawa.

Feri melotot, "Dasar kampret!! Heh! Licik lo!!" teriaknya tidak terima sambil berusaha mengerjar Fargan.

TBC....

Say You Love Me Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang