🍓Prolog🍓

616 50 20
                                    

Mobil sedan hitam mengkilap melintas membelah jalanan ibukota yang masih lengang. Di bangku penumpang duduk seorang pria muda ber-Hoodie merah tua sedang melihat ke arah luar jendela yang memperlihatkan pemandangan gedung-gedung dan langit yang masih terlihat gelap. Jam menunjukkan pukul lima lebih dua puluh lima menit. Sudah setengah jam mereka melakukan perjalanan.

Pria muda itu beranjak dari posisi duduknya--yang awalnya bersandar menjadi mendekat ke celah yang ada di antara kursi pengemudi dan penumpang di depannya. "Kenapa aku harus pindah ke rumah Amih sama Apih sih?"

Sepasang suami istri melihat ke wajah pria muda yang mengutarakan unek-uneknya itu.

"Memangnya kenapa kalau ke rumah Amih sama Apih? Mereka kan Nenek sama Kakek kamu?" tanya wanita yang duduk di sebelah pengemudi dengan senyuman manis.

Mereka memang memanggil Ibu dari Papanya dengan sebutan: Amih. Dan Ayah dari Papanya dengan sebutan: Apih.

Pria muda yang memakai Hoodie merah tua mengembuskan napasnya. "Emang Mama sama Papa enggak kangen sama aku?"

Sepasang suami istri yang di panggil "Papa" dan "Mama" oleh pria muda itu saling melempar tatapan.

Wajar saja jika anak semata wayang mereka bertanya seperti itu. Ia tidak bertemu dengan kedua orang tuanya selama tiga tahun karena tuntutan pekerjaan mereka berdua di Belanda. Mereka bertiga baru bertemu tiga hari yang lalu, dan sekarang kedua orang tuanya sudah mau mengirimkannya ke rumah Kakek Neneknya di kampung?

Di mana letak hati mereka?

"Papa sama Mama kangen sama kamu, kangeeennn.... Banget. Tapi mau bagaimana lagi, hidup kamu di Jakarta itu udah kayak anak jalanan," ucap Pria tampan berkacamata yang sedang duduk di balik setir mobil.

"Itu karena Mama sama Papa sibuk kerja terus," rengek pria muda yang wajahnya tidak jauh beda dengan laki-laki berkacamata yang ada di balik setir.

"Karena itu, Mama sama Papa mau nitipin kamu ke Amih sama Apih," jelas Mamanya, bibirnya masih memamerkan bulan sabit yang indah di wajahnya yang cantik.

"Kenapa harus ke Amih sama Apih?"

"Karena Kakek dan Nenek kamu dari Mama udah meninggal, mau ke mana lagi Mama nitipin kamu?"

Pria muda pemilik rambut dark coklat kembali menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Mengembangkan napas lalu melipat kedua tangannya di depan dada. Wajahnya terlihat agak sedikit marah.

"Lagian di sana juga ada Adik sepupu kamu kan? Kalian pasti temenan baik, dulu juga kalian akrab banget," ucap sang Papa.

Pria muda ber-Hoodie merah tua memutar matanya.

Mamanya terkekeh geli melihat ekspresi wajah pria muda kesayangannya. "Yaudah, kamu tidur aja, perjalanannya masih jauh, empat jam lagi."

Pria muda bergeming, dan hanya hitungan menit, ia langsung tertidur pulas dengan posisi duduknya yang seperti itu.

"Mas, kamu yakin mau nitipin anak kamu ke Amih sama Apih? Mereka udah tua loh, kasihan kalo di titipin anak kamu," ucap istrinya yang memecah keheningan setelah pria muda mereka tertidur pulas.

"Et, anak kamu juga loh," suaminya menjawab dengan senyuman memukau.

Istrinya memutar mata lalu tersenyum. "Iya, anak kita."

Suaminya terkekeh. "Lagian Fajar juga nitipin anaknya ke Amih sama Apih, kan?"

"Kenapa kita enggak bawa dia aja sama kita?"

"Kita udah bahas ini berkali-kali sayang," ucap si suami sambil sesekali melihat ke arah sang istri.

Istrinya kembali memutar matanya.
"Aku enggak mau dia ke bawa sama pergaulan di sana yang..." Sang suami menggantung kalimatnya.

"Aku ngerti. Tapi kita harus percaya sama anak kita, kalau dia enggak bakalan kebawa arus. 'Sama seperti ikan di laut, walau pun mereka hidup di air asin, tapi daging ikan yang hidup di dalamnya tidak sampai asin'."

"Kita pasti akan bawa dia kalau kita udah berhasil pindah ke Sidney."

"Aku enggak bisa bantah kamu Mas."

Suaminya tersenyum. "Makasih, Sayang."

Sang istri menyandarkan kepalanya di pundak kiri suaminya. Perjalanan mereka masih sekitar tiga jam lagi untuk sampai di kediaman Amih dan Apih yang berada di ujung Bandung Raya.

*🍓🍓🍓*

StrawberryWhere stories live. Discover now