31.🍓

56 7 0
                                    


Keesokan harinya, Satria baru saja sampai di rumah pukul empat sore. Karena sejak tadi siang, dia berada di WARBAH. Nongkrong bersama teman-temannya. Pemuda itu mengerutkan dahinya saat mendengar ada suara bariton berbeda di ruang tamu rumah Amihnya. Apa ada tamu?

Satria membuka sepatunya, kemudian mengucapkan salam. "Assalamualaikum."

"Wa'alaikumusalam," jawab dua orang yang berada di dalam rumah.

Satria masuk ke dalam rumah dan melihat sepasang suami istri yang ia kenali. "Om Fajar? Tante Farah?" tanya Satria.

"Wey, ponakan gue udah gede," ucap pria tinggi besar dengan rambut cepak yang berpakaian PDL hijau khas TNI AD. Pria bersuara bariton itu memiting Satria dengan lengan kanannya yang kekar, menekuknya ke dekat dada bidangnya, sampai Satria sulit bernapas.

"Om, ini Satria kecekik," pekik Satria.

Fajar melepaskan pelukannya. "Lebay lo." Seraya menepuk pundaknya Satria.

Satria menggoyang-goyangkan pundaknya untuk menghilangkan rasa sakit akibat tepukan Om-nya-ya, tepukkannya mungkin terlihat biasa saja, tapi sebenarnya itu sangat keras. Lalu ia mendekati wanita berjilbab khas yang berdiri tak jauh dari tempatnya. "Tante Farah apa kabar?" tanyanya sambil mencium punggung tangan Bidan tersebut.

"Alhamdulilah, Sayang," ucap Farah seraya mencium kedua pipi Satria. "Kamu makin ganteng, deh." Lalu dia tersenyum, memperlihatkan lesung pipinya.

"Gantengan mana sama aku?" tanya Fajar kepada istrinya.

"Gantengan dia lah, bule," ucap Farah sambil mengusap-usap pipi Satria. "Masih perjaka, brondong lagi."

Fajar menyipitkan matanya, lalu menatap istrinya tajam. Farah tersenyum geli, dia buru-buru mendekati suaminya. Lalu mengelus belakang kepala suaminya yang memiliki rambut tipis. "Tapi suami aku, yaz Perwira ini, kan?" Sambil tersenyum jahil, lalu berjinjit dan mencium pipi suaminya.

Fajar menukikkan alisnya, lalu dengan cepat, dia menciumi pipi istrinya yang berkerudung itu.

Satria berekspresi seperti sedang mual dan akan muntah. Sejak dulu om dan tantenya selalu seperti itu. "Om ngapain sih ke sini?" tanya Satria tiba-tiba.

Fajar langsung menatap Satria dengan mata hitamnya. "Anda tidak suka saya berada di sini? Ini rumah orang tua saya, siapa Anda mengatur-atur hidup saya, hah?" cecar Fajar dengan suara baritonnya seraya berjalan mendekati Satria. Dan berhenti tepat dua jengkal di hadapan Satria.

Satria menelan ludahnya. Keringat dingin mulai bermunculan. Omnya selalu menyeramkan saat berbicara seperti itu. Kenapa juga tadi dia harus bertanya pertanyaan bodoh?

"Push up lima puluh kali, di tambah squat thrust lima puluh kali. Laksanakan!" suruh Fajar dengan agak sedikit meninggikan suaranya.

"Siap, Pak!" Satria berteriak seraya menghormat kepada Fajar, kemudian dengan cepat dia melakukan push up 50 kali dan squat thrust 50 kali. Ia seperti flashback ke masa lalu, Satria memang sering dihukum seperti ini oleh omnya saat kecil-jika ia nakal.

Fajar menahan tawanya. Satria tidak berubah. Sejak kecil Fajar selalu menakut-nakuti anak blasteran itu.

"Siap, selesai, Pak!" ucap Satria sambil menghormat setelah sepuluh menit melakukan apa yang diperintahkan oleh omnya. Bajunya penuh dengan keringat dan dadanya naik turun untuk mengatur nafasnya yang agak cepat.

"Hahaha," Fajar tertawa puas. Lalu memeluk Satria sebentar sambil menepuk-nepuk punggung laki-laki itu. "Lo enggak berubah ya, Sat." Sekarang kedua tangannya memegangi bahu Satria. "Lo masih mau jadi tentara?"

Satria menggeleng-gelengkan kepalanya cepat. "Satria enggak pernah mau jadi tentara."

"Hahaha, untung lo inget," Fajar kembali tertawa, dia melepaskan lengannya dari pundak Satria.

Satria mengusap wajahnya yang penuh dengan keringat. "Kenapa Om harus ngomongnya pake kata 'lo gue' sih?"

Fajar berbalik menatap Satria. "Jadi Anda ingin saya berbicara seperti apa? Anda berani mengatur cara bicara saya?" tanyanya seraya berkacak pinggang.

"Siap, tidak jadi, Pak!" jawab Satria. Fajar kembali tertawa puas. Satria selalu takut kepadanya, apalagi setelah dia menakut-nakuti laki-laki blasteran itu saat akan disunat. Sampai-sampai Mama, Papanya, dan Amih harus masuk ke ruang sunat, agar dia mau disunat.

Kini Satria duduk bersama om dan tantenya. Berbicara santai, melepas rindu, layaknya keluarga yang sudah lama tak bertemu. "Om tadi belum jawab pertanyaan Satria, kenapa Om ngomongnya pake kata 'lo gue'?"

"Emang kenapa sih, Sat?" Omnya malah bertanya balik.

"Ya, enggak pantes. Om, kan, udah tua, sama kayak Papanya Satria."

"Om kamu ini menolak untuk tua, Sat," jelas Farah sambil mengusap-usap rambut cepak suaminya. "Tante ke dapur dulu, ya
Mau bantuin Amih masak. Katanya tadi dia mau masak banyak," pamit Farah, kemudian dia berjalan ke dapur.

Tak selang berapa lama, suara motor berhenti di depan rumah. Satria melihat dari jendela. Baru saja dia ingin menanyakan gadis itu kepada omnya, sekarang dia datang bersama kakaknya. "Itu Jihan, Om?" tanya Satria tidak percaya.

"Emang siapa lagi? Lo lupa Adek lo sendiri?" Fajar tersenyum.

Satria beranjak dari tempat duduknya, kemudian berjalan keluar rumah. "Honey!!" teriak Satria sambil tersenyum bahagia dengan tangan terbuka lebar.

Gadis cantik itu berlari ke arah Satria. "Abang!!" teriaknya.

Satria memeluk gadis cantik berambut sebahu itu. "Kamu cantik banget, Honey. Tambah tinggi lagi," jujur Satria.

"Aku kangen Abang, Abang ke mana aja sih?" rengek Jihan Ananda, adik kandung Juan dan adik sepupu Satria. Walaupun adik sepupu, Satria menganggapnya sebagai adiknya sendiri. Terhitung tiga tahun dia tidak melihat adik perempuannya ini. Juan hanya menatap mereka dari motornya. Senyum tipis terukir di bibir laki-laki berkacamata itu.

"Maafin Abang, ya," pinta Satria, dia menciumi puncak kepala gadis yang berada di dekapannya itu, kemudian memeluknya erat.

"Aku maafin." Gadis yang hanya setinggi dagu Satria itu pun membalas pelukan erat Satria. Satu menit kemudian, Jihan melepaskan pelukannya. Dia mendongak menatap Satria. "Abang ganteng banget."

"Gantengan Ayah kamu," jawab Satria.

Terdengar suara tawa keras dari dalam rumah. "Hahaha." Ya, suara siapa lagi jika bukan suara Perwira TNI AD itu.

"Aku punya hadiah buat Abang." Jihan tersenyum. Senyuman gadis yang lima tahun lebih muda darinya itu selalu sulit untuk di tebak oleh Satria.

"Apa?" Satria mengernyit, tapi bibirnya masih tersenyum.

"Merem," pinta Jihan.

Satria memejamkan matanya.

"Tangannya." Jihan meminta Satria mengulurkan tangannya, lalu menyimpan makhluk itu di tangan Satria. "Udah."

Satria membuka matanya. Matanya terbelalak melihat makhluk kecil itu. Sebenarnya tidak kecil, itu makhluk paling besar di jenisnya. "Aaa!" Satria melemparkan makhluk itu ke sembarang arah, kemudian dia bergidik seperti orang yang sedang merinding. "Kenapa harus caricangkas sih, Honey. Abang, kan, takut." (semacam belalang hijau yang memiliki ukuran tubuh lebih besar, kaki belakangnya lebih panjang dan lebih ramping dibandingkan dengan belalang kebanyakan -red).

Jihan tertawa puas, dia selalu suka menjahili Satria, bahkan sejak mereka kecil. Begitu pula dengan Fajar, dia tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi wajah Satria yang ketakutan. Sedangkan Juan hanya tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya.

*🍓🍓🍓*

StrawberryWhere stories live. Discover now