36.🍓

45 6 0
                                    

Amih melihat perubahan suasana hati dari cucunya. "Ya, udah. Enggak usah dibahas kalo kamu enggak mau ngebahasnya. Amin ke dapur dulu, ya," pamit Amih sambil mengusap-usap pipi Satria. Kemudian wanita paruh baya itu berjalan ke dapur.

Satria menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Sampai kepalanya bisa melihat seseorang yang sedang berdiri di belakangnya. Satria mengerutkan dahinya.

"Lo mau ke mana, Dek?" tanya Satria saat melihat Juan berpakaian aneh, tanpa mengubah posisinya.

"Mau latihan," jawab Juan singkat, kemudian pergi ke luar rumah.

"Latihan apaan?" Satria mengernyit dan mengikuti langkah Juan.

"Lo enggak liat baju gue, Bang?" tanya Juan sambil berbalik ke arah Satria.

"Enggak," jawab Satria polos.

Laki-laki yang memakai pakaian hitam-hitam khas pencak silat itu menghembuskan napas panjang. Lalu pergi ke motor Vespanya.

"Dek, gue ikut!" seru Satria, dia langsung memakai sepatunya, kemudian berlari ke arah Juan. Dia sudah berada diboncengan Juan.

"Lo enggak mau ganti baju dulu? Amih nanti marah," saran Juan.

"Oh, oke, oke, lo tunggu di sini. Jangan tinggalin gue," ujar Satria, lalu laki-laki itu berlari ke dalam rumah.

Juan kembali menghembuskan napas.
Tiga menit kemudian, Satria kembali keluar dengan masih mengenakan Hoodie merah tua, dan bawahan celana drawsting berwarna abu-abu. "Yuk."

Mereka berdua pun sampai di tempat itu. Banyak sekali anak-anak yang sedang berlatih di sana. Ada yang sedang belajar membuat kuda-kuda yang benar. Ada yang sedang belajar menyerang, dan ada juga yang belajar cara bertahan. Ya, mereka semua sedang belajar pencak silat. Lihat saja pakaian mereka semua, hitam-hitam.

"Lo belajar pencak silat di sini, Dek?"

Juan mengangguk.

"Gue mau belajar juga dong," pinta Satria.

Juan menatap Satria. Satria pun menatap Juan. Mereka saling bertatapan. Kemudian Juan tersenyum tipis dan mengangguk. Mereka berdua pun berjalan lebih dekat ke tempat tersebut.

*🍓🍓🍓*

Seminggu kemudian. Fitria sedang menatap sahabatnya yang sedang membaca sebuah buku biologi. Embusan demi embusan napas selalu terlihat setiap lima menit sekali. Wajahnya terlihat lesu. Karena Fitria kurang kerjaan, dia menghitung embusan napas Bella. "Bel, lo kenapa sih?"

Bella menatap Fitria dengan wajah penuh kebingungan. "Hah? Kenapa?"

"Lo yang kenapa?"

"Gue enggak kenapa-napa." Sambil menggelengkan kepalanya.

Fitria mengatupkan bibirnya kemudian mengembuskan napas. "Gue udah liat lo mengembuskan napas dua belas kali, Tinkerbell. Jujur, lo kenapa?"

Bella hanya mengangkat kedua bahunya. Lalu kembali fokus dengan buku yang sedang dia baca.

"Satria?" tanya Fitria.

Sontak Bella langsung menatap wajah Fitria.

"Lo masih mikirin dia, kan? Lo enggak mau apa, jujur dulu sama perasaan lo ke dia? Biar semuanya selesai, Bel," cecar Fitria.

"Enggak tahu ah, Fit. Gue mau fokus belajar aja, biar nilai UN gue bagus, jaga-jaga kalo enggak ke terima SNMPTN," ucap Bella.

"Lo mau fokus, tapi pikiran lo melayang terus ke dia. Lo pikir gue enggak punya mata apa? Gue sahabatan sama lo tuh udah lama, Bel. Lo enggak pernah kayak gini sebelumnya. Lo enggak pernah banyak ngelamun, lesu, keliatan lelah tiap hari, kenapa sih lo?" Fitria kembali berbicara panjang lebar.

"Ssstttt, sssttt, gue mungkin kecapean aja. Udah, ya, enggak usah bawel," pungkas Bella.

"Oke, oke, terserah lo," balas Fitria. Baiklah, jika Bella tidak mau berusaha, Fitria yang akan berusaha untuknya.

*🍓🍓🍓*


Jam menunjukkan pukul empat sore. Kelompok orang yang mengenal Hoodie merah tua sedang berhadapan dengan sekelompok orang berjaket hitam biru. Mereka berada di tengah-tengah jalanan sepi yang tidak terpakai. Setelah berbulan-bulan lalu mereka dikalahkan di WARBAH, mereka kembali membuat perhitungan. Dan di sinilah waktunya, mereka akan saling berhadapan. Membuktikan, kelompok mana yang paling kuat.

Tapi Satria sudah membuat strategi, dia tidak mungkin ingin lagi bertarung demi sesuatu yang semu. Apalagi setelah dia belajar pencak silat bersama adiknya. Guru mereka selalu mengajarkan, bahwa bela diri bukan untuk menunjukkan diri kita kuat. Bukan untuk ditakuti dan dihormati. Bukan untuk pamer dan sebagainya. Tindakan keras tidak harus dibalas tindakan keras. Emosi adalah sesuatu yang memiliki lebih banyak hal negatif ketimbang hal positif. Pemenang menjadi arang, dan yang kalah menjadi abu. Keduanya sama-sama terbakar. Terbakar oleh emosi. Satria sekarang tahu, dari mana Juan mendapatkan kata-kata itu.

Seseorang berkacamata yang mengenakan t-shirt hitam lengan pendek, menyibak kerumunan orang ber-Hoodie merah tua. Kemudian seseorang itu memasukkan ke dua lengannya ke dalam saku celana SMA, lalu berdiri di sebelah kanan Satria.

"Gue kira lo enggak bakalan dateng, Dek."

"Lo udah janji, enggak bakalan ada yang terluka. Walaupun gue udah enggak nyaman ikut gini-ginian. Tapi lo juga udah janji, Bang, enggak bakalan ada bentrok lagi," balas Juan.

"Iya, gue janji. Tunggu aja beberapa detik lagi."

Kerumunan yang mengenakan jaket hitam biru bergemuruh. Sebut saja anak-anak WARDE. Seakan sudah diserang aura menakutkan, pendirian mereka untuk menyerang mulai goyah. Apa lagi setelah melihat wujud seseorang pemilik mata elang itu. Mereka serasa dibawa kembali ke memori satu sampai dua tahun yang lalu, saat mereka habis-habisan dipukul oleh anak berkacamata kotak besar yang sekarang berdiri berdampingan bersama Satria.

"Gimana, kalian masih mau berurusan dengan kita?" tanya Satria.

Lengang.

Pemimpin mereka menelan ludah. Lalu dia berkata, "Oke, sekarang kita damai." Dia bernama Andi. Dia pun adalah orang yang memimpin anak-anak WARDE saat menyerang WARBAH beberapa bulan yang lalu.

"Harus selamanya damai," tambah Bagas.

"Kita enggak mau berurusan lagi sama kalian," jelas salah satu anak laki-laki bertubuh kecil tapi bersuara berat yang ada di pihak Satria.

"Oke," balas Andi.

"Kita pegang kata-kata lo," pungkas Satria.

Kemudian Andi mengajak teman-temannya pergi dari tempat itu. Mereka pergi menggunakan motor-motor mereka. Setelah motor mereka tidak lagi terlihat, sorak-sorai tidak bisa mereka tahan lagi. Jujur, mereka semua lelah selalu berurusan dengan anak-anak WARDE. Mereka juga ingin hidup tenang, mereka hanya ingin nongkrong bersama di WARBAH. Menghabiskan waktu dengan canda tawa, saling bertukar pikiran, dan saling menguatkan satu sama lain. Tidak ingin selalu diributkan dengan masalah yang berujung dengan emosi dan urat-urat yang menegang.

*🍓🍓🍓*


Bel pulang sekolah berbunyi. Sudah seminggu sejak kejadian di jalanan sepi itu. Satria, Juan, Bagas, dan Adi berjalan menyusuri koridor sekolah yang penuh dengan siswa-siswa yang baru keluar dari dalam kelas. Mata Satria menatap seseorang yang sedang menatapnya dari kejauhan. Gadis itu sedang melipat lengannya di depan dada.

Satria terus berjalan. Tidak tahu apa maksud gadis itu, sampai dia mendekatinya dan berkata, "Satria? Bisa bicara?"

StrawberryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang