27.🍓

60 7 0
                                    

Satria beranjak dari tempatnya, menatap kepergian adiknya dari ambang pintu ruangan menjijikkan ini. Ia memutuskan untuk mengikuti langkah Juan. Juan berhenti di bawah pohon Angsana yang tidak terlalu besar, berjarak belasan meter dari rumah. Laki-laki berkacamata itu duduk di bangku panjang nan lebar yang terbuat dari bambu. Satria pun duduk di sisi kirinya.

Dari dalam rumah, Apih yang baru akan tertidur menatap keluar jendela. Melihat dua cucu laki-lakinya sedang duduk berdampingan di bawah pohon Angsana. Apih baru pulang beberapa jam yang lalu dari rumah sakit. Karena setelah ia mengurung Satria, jantungnya terasa sangat sakit dan sesak. Ternyata Apih memiliki penyakit jantung.

"Apa yang mau Apih lakukan sekarang?" tanya Amih yang juga sedang melihat ke dua cucunya.

Apih mengembuskan napasnya. "Biarkan mereka, udah lama Apih enggak liat mereka ngobrol bareng, apa lagi main bareng."

Amih dan Apih menatap dua lelaki muda tersebut.

"Kenapa lo bebasin gue?" tanya Satria tanpa basa-basi. Dia tidak menatap Juan.

"Enggak kenapa-kenapa," jawab Juan datar. Juan pun tidak menatap Satria.

"Lo enggak benci gue?" Seraya menatap Juan.

Juan membalas tatapan Satria dengan sinis. "Ngapain gue benci lo?" Dia kembali mengarahkan pandangannya ke arah depan. "Buang-buang waktu."

Satria berdecih sambil memalingkan wajahnya. Kenapa kata-kata adiknya sangat tajam? Kemudian ia tersenyum miring. "Kenapa gue selalu dimarahi Apihz ya? Sedangkan lo enggak pernah dia marahi. Lo kayaknya penurut banget. Gue ragu dia pernah nampar lo."

Juan membelakangi Satria. Mendadak laki-laki berkacamata itu membuka pakaian. Satria terkejut melihat reaksi Juan. "Lo ngapain?"

Mata Satria terbelalak saat melihat punggung Juan yang... dipenuhi oleh bekas luka. Jari tangannya akan menyentuh punggung Juan yang dipenuhi oleh cap yang sangat mirip dengan bekas cambukkan. Tapi tak sempat karena Juan kembali memakai pakaiannya.

"Punggung lo kenapa?" tanya Satria.

"Lo cuman ditampar, kan? Jadi enggak usah lebay," jawab Juan.

Rahang Satria mengeras. Sejak kapan pula adiknya belajar kalimat-kalimat yang menusuk seperti itu? Seingatnya, Juan adalah anak yang pemalu. Lengang hampir lima menit menyelimuti mereka berdua, sampai Satria kembali bertanya. "Siapa yang udah lakuin semua itu ke lo? Jawab."

"Lo mau apa?" tanya Juan, matanya mengerling ke arah Satria.

"Gue enggak terima ada yang ngelakuin itu ke lo."

Juan menghadapkan wajahnya ke arah depan. "Apih."

Mata Satria terbelalak. "A... A... Apih?" Dia sedikit tergagap. "Apih, mukul lo pake apaan nyampe bisa kayak gitu?"

"Rotan."

"Kenapa lo diem aja?"

"Karena gue bukan lo." Juan menatap Satria lagi dengan intens.

Satria mengatupkan bibirnya.

"Gue emang harus dikerasin supaya gue sadar. Dan cara Apih mengajari anak-anaknya emang gitu. Keras. Tapi semua anak itu beda. Ada yang kayak gue, mikir kalo udah kena pukul. Ada juga yang kayak lo, malah berontak kalo dikasarin."

Satria memalingkan pandangannya. Juan kembali menatap ke arah depan. Hampir lima menit kembali lengang. Mereka berdua sibuk dengan pikiran dan perasaannya masing-masing.

"Kenapa lo enggak nerima Bella?" akhirnya Satria kembali bersuara.

"Apa gue harus nerima cinta seseorang yang enggak gue cintai?" Juan kembali menatap Satria sesaat. "Jelas-jelas lo yang suka sama dia, bukan gue."

StrawberryWo Geschichten leben. Entdecke jetzt