17.🍓

127 14 0
                                    

"Bagus banget karya kamu. Cerita fantasinya bagus. Gambarnya enggak terlalu rame. Aku suka, pasti kamu jago gambar, plus, jago buat cerita," puji perempuan itu dengan antusias, senyuman manis terpatri di bibirnya.

"Thanks," jawab Juan, senyuman setipis tisu terpampang di bibirnya.

"Damn (sial -red)," gumam Bagas.

"Juju mulai jatuh cinta," bisik Adi sambil tersenyum. Mereka berdua berada beberapa langkah di belakang Juan dan Satria.

Satria kembali merangkul Juan dengan tangan kirinya. "Gimana gambaran Ade gue, Ra. Bagus, kan?" tanya Satria kepada Mara sambil cengengesan.

Juan menatap tajam Satria.

"Kalian, Adik Kakak?" tanya Mara.

Satria mengangguk. Dengan cepat, tangan kanannya melepaskan kacamata kotak besar nan tebal milik Juan. "Tuh, mirip, kan?"

Mara terbelalak melihat mereka berdua. Benar-benar mirip. Bentuk hidung, bentuk wajah, bentuk bibir, bentuk mata, dan bentuk alis mereka sama, seperti anak kembar. Yang membedakan mereka berdua hanyalah tinggi badan, Satria lebih tinggi dari Juan. Warna bola mata, mata Satria berwarna coklat terang sedangkan mata Juan berwarna gelap. Lalu warna dan gaya rambut mereka berdua, rambut Satria berwarna dark coklat dengan gaya Messy Quiff, sedangkan rambut Juan berwarna hitam dengan potongan high fade.

"Kalian, kembar?" tanya Mara.

"Lo mikir gitu?" tanya Satria sambil masih tersenyum.

Ttiiiinnnnnggggg....

Suara bel masuk berbunyi.

"Aku ke kelas dulu, ya," pamit Mara. "Dah Juan." Dia mengangkat tangan kanannya ke arah Juan, kemudian berbalik dan berjalan menjauh.

"Dah...." yang membalas malah Satria, dengan senyumannya yang terkesan seperti playboy.

Juan memutar matanya, dia mengambil kaca matanya yang diambil oleh Satria, lalu dia berjalan meninggalkan tiga laki-laki yang ada di sekitarnya.

"Jadi lo yang nyuri gambar Juju, Nyet?" tanya Bagas.

"Jahat banget lo, Sat," ucap Adi dengan wajah tanpa dosanya. "Pasti bakal terjadi badai petir, Sat."

Satria mengernyit ke arah Adi, dia meminta penjelasan dari kalimat yang terlontar dari mulut temannya itu. Bukan hanya Satria saja yang mengernyit, tapi juga Bagas.

"Iya, soalnya si Juju sekarang udah kenal cewek. Bentar lagi pasti jadian, hahahaha," jelas Adi, kemudian dia tertawa terbahak-bahak.

"Tai." Bagas menarik topi bagian depan Adi.

Sedangkan Satria tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Ke tiga laki-laki itu pun mengikuti Juan yang sudah jauh, karena sebentar lagi mereka akan berbaris di lapangan untuk upacara bendera.

*🍓🍓🍓*

Hari Sabtu di WARBAH. Kali ini ke tiga laki-laki itu bisa kembali berkumpul di hari Sabtu. Adi sudah selesai berlatih di ekstrakurikuler sepak bolanya, sedangkan Bagas berniat untuk keluar dari ekstrakurikuler voli, tapi belum tentu. Karena dia merasa kurang nyaman berada di ekstrakurikuler itu, dia ingin fokus di bidang fotografi saja. Dan yang terakhir, Satria, dia bersantai karena masih memiliki stok gambar Juan untuk bahan mading.

"Di, lo jarang ketemu sama cewek lo, ya?" tanya Satria di sela-sela kegiatannya yang sedang memakan kuaci.

Adi berdeham-seolah ia akan berbicara sangat panjang. "Menurut gue, pacaran itu kayak dengerin lagu atau makan makanan favorit. Kalo keseringan diputer atau dimakan, pasti bakalan cepet bosen. Tapi kalo diputer atau dimakannya jarang-jarang, kita bakalan sering ngerasa kangen. Dan sekalinya diputer atau dimakan, pasti bakal terasa spesial," jelas Adi. Laki-laki bertopi itu pun memakan kuaci.

"Sama kayak hubungan juga. Kalo kita cuman terus-terusan bareng cewek kita-ke mana-mana bareng, apa-apa selalu barengan, nyampe kita enggak punya ruang buat diri kita sendiri, kita pasti bakal ngerasa bosen dan enggak nyaman. Orang-orang yang udah nikah aja pasti punya me time-waktu berkualitas untuk diri mereka sendiri. Terbebas dari pasangan dan rutinitas," lanjutnya.

"Gila omongannya," ucap Satria sambil bertepuk tangan.

"Ngomong aja si Riri enggak mau ketemu sama lo sering-sering, Nyet," timpal Bagas.

Kemudian diikuti gelak tawa dari Satria. "Dia enek liat muka lo." Dia tertawa semakin terbahak-bahak, begitu pula dengan Bagas.

"Ya enggak lah, Riri sayang sama gue," sangkal Adi.

Satu menit kemudian, keadaan berubah. Suara deru mesin motor matic yang sudah dimodifikasi terdengar bising dari luar WARBAH. Mereka semua yang sedang nongkrong di tempat tersebut bergegas keluar untuk melihat apa yang terjadi di sana. Ada Bagong juga-maksudnya Rahmat.

"Mereka siapa?" tanya Satria saat mereka sudah berjejer rapi menghadap gerombolan motor yang bisa ditaksir berjumlah dua puluh motor. Mereka memakai jaket yang sama, berwarna hitam biru. Rata-rata dari mereka berboncengan. Mereka berjarak lima meter dari tempat Satria dan teman-temannya berdiri-ada Heru di sana.

"Anak WARDE," jawab Bagas.

Satria melihat ke arah kanan, kemudian ke arah kiri. Mereka hanya berjumlah delapan orang, sangat kontras jika dibandingkan dengan gerombolan di hadapan mereka yang kira-kira lebih dari tiga puluh orang. Satria menggigit bibir bagian bawahnya. Tunggu dulu, di mana Adi?

"Mau apa lo semua ke sini!" teriak anak laki-laki paling kecil di antara teman-teman tongkrongan Satria yang lain, tapi suaranya bergema dengan sentuhan bariton.

"Hei, Anjing! Jangan sok-sokan bego deh, anak WARBAH ada yang ngeroyok anak-anak WARDE!" teriak salah seorang di antara gerombolan WARDE. "Lo semua emang munafik! Sok suci di depan orang-orang!"

Rahang Satria mengeras. Begitu pula dengan kepalan tangannya yang memperhatikan urat-urat dan otot tangannya yang menegang. Satria tidak terima jika anak-anak WARBAH disebut munafik. Menurut Satria, anak-anak WARBAH memang baik-baik, walau pun tidak sepenuhnya baik. Tapi kebersamaan dan kekeluargaan yang mereka jalin sangat kental. Apa lagi kebijakan yang Abah berikan kepada mereka semua.

Satria memang belum pernah bertemu dengan Abah. Tapi menurutnya, Abah adalah orang yang sangat dihormati oleh anak-anak WARBAH. Membenci perkelahian, menentang permusuhan, dan menjaga anak-anak WARBAH agar tidak melenceng. Tapi tetap saja, pasti selalu ada segelintir orang yang membuat nama WARBAH tercoreng.

"Siapa?" tanya Bagas ke anak laki-laki kecil bersuara berat di samping kanannya.

"Gue enggak tau, setau gue enggak pernah ada yang ngeroyok-ngeroyokan sejak kejadian di kebun teh," jawabnya. "Mana? Ada buktinya enggak?!" pinta laki-laki bertubuh kecil itu dengan setengah berteriak kepada anak-anak WARDE.

"Halah, mana ada maling ngaku. Enggak perlu bukti-bukti segala. Hajar!!" ucap laki-laki dari anak-anak WARDE, dia adalah pemimpin mereka.

StrawberryWhere stories live. Discover now