3.🍓

242 29 4
                                    

Kelompok pertama berjalan meninggalkan tempat asal mereka. Sepuluh menit berlalu, kelompok ke dua pergi. Sepuluh menit kemudian, kelompok ke tiga pun pergi. Begitu pula dengan sepuluh menit berikutnya, kelompok empat pergi, dan disusul kelompok lima.

Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Dan sekarang giliran kelompok Satria dan kawan-kawannya. "Kelompok enam, silakan," Gugun memberikan perintah.

Juan berjalan lebih dulu, disusul Adi di belakangnya, tangan kanan Adi meremas bagian punggung jaket Hoodie hitam Juan. Bagas berada di belakang Adi, sedangkan Satria sedang sibuk mencoba merebut tempat Bagas. Karena dia tidak mau paling belakang.

"Ju, katanya angka enam itu angka sial loh, terus, angka setan juga," ucap Adi yang ada di belakang Juan, sambil celangak-celinguk dengan wajah pucat.

"Kata siapa?" tanya Juan, datar.

"Kata internet."

Juan tidak memedulikan kalimat yang keluar dari mulut sahabatnya itu. Di belakang mereka, dua laki-laki setinggi enam kaki masih sibuk berebut tempat. "Lo di belakang Gas, awas," ucap Satria yang mencoba menggeser posisi Bagas.

"Dih, malu sama badan lo yang gede, Sat," jawab Bagas.

"Gue takut, Gas. Kalo setan itu nyakar-nyakar gue kan gak lucu."

"Badan doang gede, nyali mah ciut. Mana ada setan cakar-cakaran. Lo kira kucing garong."

"Yaudah lo aja yang di belakang," Satria melihat ke arah belakang sambil mencoba menyerobot Bagas.

"Paan sih lo, ogah gue."

"Kucing!"

Karena sejak tadi Bagas dan Satria sibuk dengan kegiatan saling serobot menyerobot, mereka kaget saat mendengar suara Juan. Mereka langsung tersentak dan saling merapat.

"Kok enggak ada yang jawab sih, Ju?" tanya Adi, mereka sudah sampai di pos pertama. Ada sebuah lilin yang menyala di atas sebuah kursi kayu.

"Kucing!" ulang Juan.

"Iya, iya, bawel banget, tikus!" jawab seorang laki-laki yang muncul dari kegelapan.

Satria, Bagas, dan Adi menghembuskan napas lega bersamaan. Ternyata bukan 'sesuatu' yang disebutkan oleh Gugun. Kemudian laki-laki itu menunjukkan jalan ke pos berikutnya. Di pos-pos berikutnya, mereka tidak mendapatkan hal-hal yang aneh dan tidak mendapatkan pertanyaan. Padahal Juan ingin sekali mendapatkan sebuah pertanyaan. Dia penasaran, pertanyaan apa yang akan diajukan pengurus OSIS, dan kostum apa yang akan mereka gunakan untuk menakut-nakuti mereka.

Sampai di pos ke lima, mereka tidak mendapatkan sesuatu yang aneh. Tapi di pos ke enam, lilin itu berbeda. Lilinnya berwarna merah, dan berada di atas batu, bukan di atas meja, kursi, atau tong sampah seperti sebelum-sebelumnya. Kenapa berubah menjadi cerita horor?

"Kucing!" ucap Juan.

Hening, tidak ada yang menjawab.

"Kucing!" ulang Juan setelah hampir dua menit tidak ada jawaban.

Untuk ke tiga kalinya, Juan mengulang sapaannya setelah dua menit berikutnya masih tidak ada jawaban. "Kucing!"

Adi yang ada di belakang Juan semakin meremas jaket Hoodie hitam milik Juan. "Ju, kok enggak ada yang jawab, sih?" tanya Adi. Karena sejak tadi, Juan tidak pernah sampai menyapa tiga kali, setelah dua kali menyapa: 'kucing', pasti selalu ada jawaban: 'tikus'.

Keheningan malam membuat mereka bisa mendengar suara-suara. Di mulai dari suara jangkrik, burung hantu, dan suara-suara malam lainnya.

"Kok gue merinding, sih," ucap Satria sambil memegang tengkuknya.

"Gue juga," aku Bagas. "Kok tiba-tiba merinding, ya?"

Satria menyerobot Bagas, dia merapat ke adik sepupunya. "Ju, gue takut."

"Tuh kan, Ju, kata gue juga apa, angka enam itu angka sial...." Adi menggantung kalimatnya. "Angka setan."

"Ju, baca ayat kursi kek," suruh Satria kepada Juan.

Sedangkan mata hitam Juan yang terhalang kacamata besar dan tebal, sedang menyipit, menerawang ke arah depan yang hanya tersorot oleh cahaya lilin. Seperti mata elang, dia sibuk mencari sesuatu, dan mencoba mengenali tempat mereka saat ini. Ada pohon jambu batu di sebelah kirinya, dan ada pohon bambu di ujung sana. Ada pohon markisa di sebelah kanannya dan semak belukar.

"Kita di belakang sekolah," gumam Juan.

"Aduh, Ju, kok gue makin merinding sih," aku Satria, matanya menangkap sesuatu yang sedang berjalan di belakang pohon markisa. "Ju, itu apaan, Ju," tangan kanannya menunjukkan ke arah sesuatu yang sedang berjalan mendekat, tetapi wajahnya dia tenggelamkan ke pundak Juan.

Juan mengikuti arah tangan Satria yang menunjuk sambil gemetaran. Tak disangka, Bagas dan Adi pun mengikuti tangan Satria. "Astagfirullah, apaan tuh, Ju, kok putih sih, Ju?" Tanya Adi.

"Buruan baca ayat kursi, Ju," suruh Bagas. Ketiga laki-laki muda itu menenggelamkan wajah mereka ke punggung Juan.

Mata Juan terbelalak setelah melihat juntrungan 'yang putih' itu sampai di hadapannya.

StrawberryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang