34.🍓

47 7 0
                                    

Satria sampai di mobil Toyota Alphard hitam milik papanya. Saat Satria akan membuka pintu kemudi mobil tersebut, seseorang menariknya.

"Si Penghianat kembali, nih," tukas laki-laki bersuara berat yang sedang merokok.

"Mau apa kalian?" tanya Satria, ia menyadari bahwa dirinya dikelilingi oleh delapan orang laki-laki.

"Mau apa? Cih." Salah satu laki-laki di antara mereka berdecih.

"Kebetulan banget gue ketemu lo di sini, Sat," ucap laki-laki yang merokok.

"Gue udah enggak punya urusan lagi sama lo, Hendra," balas Satria.

Laki-laki yang dipanggil Hendra oleh Satria tersenyum menyeringai. "Songong banget lo, Bocah. Udah untung lo diterima di geng gue dulu." Sambil melemparkan rokok yang dia pegang ke atas aspal, kemudian menginjaknya.

"Dia udah kurang ajar, Her. Masa dia keluar masuk geng kita seenaknya aja," ucap laki-laki yang lain.

"Mana dia nge-reject telpon dari lo lagi, parah sih." Laki-laki lainnya angkat bicara.

Rahang Satria mengeras. Ini tidak akan berujung baik. Ternyata perbuatannya yang mematikan telepon dari seseorang beberapa bulan yang lalu akan berimbas buruk pada hari ini.

"Jangan harap hidup lo jadi tenang, ya, Sat," ancam Hendra, wajahnya sangat dekat dengan Satria. Sampai Satria bisa mencium bau alkohol. "Lo tuh berbakat, Sat. Paling muda diantara kita, tapi lo malah milih tinggal di kampung sama ayam." Sambil mengusap-usap pipi Satria.

Satria menepis lengan Hendra dengan kasar.

"Berani, ya, lo sekarang sama gue?" tanya Hendra.

"Dari dulu pun, gue enggak pernah takut sama lo," jawab Satria. Saat seperti ini, dia tidak boleh terlihat lemah.

Rahang Hendra mengeras, begitu pula dengan otot lengan kanannya. "Kurang ajar!" umpatnya seraya meninju rahang kiri Satria.

Buk.

Suara Guntur menggelegar terdengar. Kepala Satria sampai menghadap ke arah kanan saat menerima tinju dari Hendra. Dia kembali menatap Hendra seraya mengusap ujung bibir sebelah kirinya yang agak berdarah dengan tangan kanan. Kemudian Satria menendang perut Hendra sekuat tenaga dengan menggunakan telapak kakinya.

Hendra terjatuh ke arah belakang sampai terduduk, napasnya memburu, dia menatap Satria tajam. Satria memang salah satu dari delapan petarung terbaiknya, tapi tujuh di antaranya ada di pihaknya saat ini. "Serang!!" seru Hendra.

Tujuh laki-laki yang ada di sekitar Satria langsung melancarkan serangan mereka. Diiringi rintik hujan yang mulai turun.

*🍓🍓🍓*


"Kok, Abang kalian lama, ya?" tanya Amih. "Udah ujan loh," lanjutnya sambil menatap ke arah langit mendung yang sudah menurunkan tetes-tetes airnya.

"Paling susah keluarnya, Amih. Parkirannya penuh," sanggah Apih.

Jihan mengigit bibir bagian bawahnya. "Kak, perasaan aku enggak enak," bisik Jihan kepada Juan.

Juan menatap Jihan sekilas. Lalu dia menatap ke arah depan, melihat hujan yang mulai deras. Tak dipungkiri jika perasaan Juan pun merasakan sesuatu yang janggal. "Apih, biar Juan aja yang nyusul Abang," pinta Juan.

"Ujan, Kasep. Nanti kamu masuk angin," larang Amih.

"Enggak papa, Amih."

"Coba telpon dulu," Apih memberikan saran.

Juan mengangguk. Kemudian dia mengeluarkan ponselnya dan menelepon Satria, lalu menempelkan benda hitam itu ke telinga kanannya. Jihan menggigit bibir bagian bawahnya, berharap jika Satria menjawab telepon kakaknya. Juan menurunkan ponselnya dari dekat telinga. "Enggak diangkat. Mending Juan ke sana aja, takutnya ada apa-apa, terus Abang enggak pegang hp," pinta Juan.

StrawberryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang