29.🍓

57 6 0
                                    

Amih mengernyit. "Kenapa kamu ngomong kayak gitu?"

"Karena mereka sibuk terus. Enggak pernah pulang. Enggak pernah marahin Satria kalo Satria nakal." Satria mendongak menatap wajah Amih. "Katanya marah itu tandanya sayang. Tapi kok mereka kayak gitu?"

Amih memegang kedua pipi Satria. "Kamu cucunya Amih sama Apih. Itu artinya kamu anak Papa sama Mama kamu. Kamu enggak liat wajah kamu itu mirip Papa kamu? Kamu enggak liat, wajah kamu itu mirip Adek kamu?"

Satria hanya menatap wajah Amih yang sudah penuh dengan kerutan itu.

"Untuk masalah mereka enggak pernah marahin kamu, mending kamu tanya mereka. Apa sebabnya Papa sama Mama kamu enggak pernah marahin kamu."

Satria memeluk Amihnya. Amih membalas pelukannya seraya mengusap-usap rambut dan menciumi pipinya Satria. Satria memejamkan matanya. Pelukan hangat dari wanita paruh baya tempat Surga Papanya ini sangat nyaman.

"Itu baju lo gosong," kata Juan tiba-tiba.

Satria mencium bau gosong. Lantas dia melepaskan pelukannya, kemudian berlari ke arah tempat menyetrika. Dia mengangkat baju seragam sekolahnya. "Amih, baju Satria bolong."

Amih terkekeh. "Enggak papa, sekarang Amih beli yang baru," ucapnya seraya berdiri dari tempat duduknya.

"Emang jam segini masih buka?" Satria melihat jam dinding yang menunjukkan pukul empat sore.

"Masih. Kan, langganan Amih."

"Satria ikut, ya," pintanya.

"Ayo atuh, kalo mau ikut mah."

Satria beranjak dari tempatnya duduk. "Bentar, Satria ambil kunci motor dulu."

"Amih enggak mau naik motor kamu ah, nanti paha Amih teh sakit."

Satria melirik ke arah Juan. "Dek, pinjem motor lo."

Juan memutar matanya, kemudian laki-laki berkacamata itu berjalan ke arah kamarnya untuk mengambil kunci motor.

*🍓🍓🍓*


Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Satria duduk di kasur dan bersandar di sandarannya. Ia menggigit bibir bagian bawahnya karena kebingungan, akan menelepon mereka atau tidak. Ponselnya masih ada di tangan kanannya, layar benda berwarna hitam itu sedang memperlihatkan kontak seseorang. Jika benar mereka masih di Belanda, di sana pasti masih sore. Mengingat waktu di Indonesia lima jam lebih cepat dibandingkan dengan Amsterdam Belanda.

Satria menatap layar ponselnya. Ibu jarinya akan menekan icon berlambang gagang telepon. Tapi dia sedikit ragu, apa mereka masih menggunakan nomor ini? Satria bahkan lupa, kapan terakhir kali dia menghubungi mereka? Oh iya, saat ia meminta plat nomor motornya cepat turun.

Satria menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya. Dia menekan icon tersebut dengan mantap, dan langsung menempelkan layar ponselnya ke telinga bagian kanan. Terdengar suara jika nomornya sudah tersambung, hanya saja belum diterima oleh seseorang di ujung sana. Satria masih menggigit bibirnya--ini akan sulit. Jantungnya berdegup kencang.

"Assalamualaikum, Sayang." Terdengar suara riang nan lembut di ujung sana.

Satria mengerjapkan matanya beberapa kali. Kenapa hatinya sesenang ini kala mendengar wanita pemilik surganya itu berbicara?

"Sayang? Ini kamu, kan?" tanyanya.

"Wa'alaikumusalam, Ma. Iya, ini Satria. Mama apa kabar?"

"Alhamdulilah sayang, Mama sehat, Papa juga sehat. Kamu apa kabar? Betah di Bandung? Sering masuk angin enggak? Udaranya enggak dingin-dingin banget, kan, buat kamu? Kamu ,kan, enggak suka dingin. Pasti sering ujan, ya? Kamu udah punya teman baru? Juan gimana? Kenapa kamu jarang nelpon Mama? Mama kangen kamu."

StrawberryWhere stories live. Discover now