19.🍓

121 14 8
                                    

Di luar rumah, mereka berpapasan dengan Apih-pria paruh baya kekar dan menyeramkan. "Ada Bagas sama Adi," ucap Apih.

Bagas dan Adi tersenyum meringis, mereka mencium punggung tangan kanan Apih bergantian. "Udah mau pulang, Apih," ucap Adi. "Udah sore soalnya."

"Pamit pulang dulu, Apih. Assalamualaikum," lanjut Bagas.

Dua laki-laki itu langsung pergi menuju motor Adi. Adi menyalakan motornya, dan langsung tancap gas.

"Wa'alaikumusalam," jawab Apih sembari melihat kepergian dua lelaki muda aneh yang meninggalkannya dengan terburu-buru. Hei, tunggu dulu, kenapa wajah Bagas? Pikir Apih.

Apih melanjutkan perjalanan menuju teras rumah, dia membuka sepatunya di depan pintu rumah yang terbuka. "Assalamualaikum," ucap Apih.

"Wa'alaikumusalam," jawab seseorang dari dalam rumah.

Apih melongok ke dalam rumah untuk melihat siapa gerangan yang menjawab salamnya. Jarang-jarang suara bariton itu terdengar di rumah, apalagi di jam seperti ini, biasanya dia pulang sesudah azan magrib. Mata Apih melihat Satria yang sedang duduk di kursi ruang tamu dengan tangan kanan yang sedang mengompres pipi bagian kanannya.

Apih berjalan mendekati Satria. "Kenapa kamu?"

"Enggak kenapa-kenapa," jawab Satria acuh tak acuh.

"Itu, kenapa wajah kamu bonyok-bonyok?" tanya Apih. "Emangnya wajah kamu bisa bonyok sendiri?"

Satria memalingkan wajahnya ke samping kiri, menatap jendela rumah yang menghadap langsung ke kebun teh.

"Liat wajah Apih, kalo Apih lagi ngomong sama kamu," ujar Apih. Suaranya tegas dan mengintimidasi.

Satria menatap Apihnya.

"Kamu berantem, ya?" tuduh Apih, dia masih berdiri kokoh di hadapan Satria.

Sebelum Satria menjawab, Apih sudah lebih dulu membuka mulutnya. "Mau jadi apa kamu?!" mata tajam Apih melotot ke arah Satria, nada suaranya naik satu oktaf.

"Ngerokok, berantem. Mau jadi preman pasar?! Atau mau jadi jagoan?!" suara Apih semakin meninggi. Di kamar, Amih masih belum selesai salat asar. Sedangkan di kamar lain, Juan langsung berbalik ke arah belakang saat mendengar suara bariton Apih semakin meninggi.

"Mau sekarang Satria ngerokok, atau pun berantem, atau mabok sekalipun, enggak ada hubungannya sama masa depan Satria. Emang Apih bisa liat masa depan? Nyampe Apih ngomong kayak gitu?" jawab Satria.

"Keterlaluan kamu!" tangan Apih sudah terangkat, dia akan kembali menampar cucunya. Dan, Satria sudah siap menerimanya.

"Apih."

Apih berhenti saat mendengar suara itu. Satria yang sedang duduk, berbalik ke arah belakang untuk melihat siapa yang menghentikan Apih.

"Apih enggak bisa nyamain Juan sama dia. Dia ya, dia, Juan ya, Juan," ucap Juan yang berdiri dua meter di belakang kursi yang di duduki Satria.

Apih menurunkan tangannya, kemudian dia berjalan menjauh dari dua cucu laki-lakinya. Amih yang masih mengenakan mukena datang dan langsung memeluk Satria. "Maafin Apih kamu ya, Kasep," ucap Amih, dia mengira bahwa Apih kembali menampar Satria.

"Satria enggak marah kok, Amih," aku Satria.

Sedangkan Juan kembali ke kamarnya, meninggalkan Satria dan Amih. Namun, kata-kata yang diucapkan oleh Juan membuat Satria bertanya-tanya.

*🍓🍓🍓*

Dua hari berlalu. Sekarang Bella sedang berdiri di depan rumahnya, menunggu seseorang datang. Bella memang selalu bilang kepada laki-laki itu bahwa dia bisa berangkat sendiri, dia tidak perlu repot-repot mengantar dan menjemputnya. Tapi itu hanya sebatas di bibir saja, sebenarnya hatinya selalu menunggunya. Bella selalu menyangkal memiliki perasaan kepada laki-laki itu. Bella membohongi dirinya sendiri. Tapi hatinya tidak bisa berbohong.

Motor Kawasaki Ninja ZX10-R berwarna merah berhenti di depan rumah Bella. Senyuman terukir di bibir Bella. Bella mendekat ke arah Satria, tangannya memegang helm catok berwarna putih.

Satria membuka kaca helm full face miliknya. "Naik, nanti kesiangan upacaranya," ucapnya sambil tersenyum, bisa terlihat dari matanya yang agak menyipit.

Bella memakai helm catok yang ada di genggaman tangannya. "Baru juga jam setelah tujuh lebih lima menit, Sat." Kemudian Bella naik ke motor Satria.

Sesampainya di tempat parkir sekolah, Bella turun dan menyerahkan helm catok kepada Satria. Satria membuka helm full face miliknya, Bella melihat ada sesuatu yang berbeda dari wajah laki-laki itu. "Muka kamu kenapa, Sat?"

Satria memegang-megang mukanya. "Emang muka saya kenapa?"

"Kok memar-memar?" tanya Bella, dahinya agak berkerut. Walaupun sudah dua hari berlalu, luka di wajah Satria masih bisa sedikit terlihat.

"Oh, ini. Pas hari Sabtu WARBAH diserang," jawab Satria santai.

"Diserang?" Bella mengernyit.

"Iya. Salah paham gitu," ucap Satria. Dia pun menjelaskan apa yang terjadi, seperti Bagas yang waktu itu menjelaskan kepada Adi, tentang ke-salah-pahaman yang berimbas kepada mereka.

"Kenapa kamu harus ikut nongkrong di tempat itu, sih?" tanya Bella.

"Di sana seru, orang-orangnya baik."

"Tapi kamu jadi kena imbasnya, kan? Gimana kalau ada apa-apa sama kamu," ucap Bella, dia mengatur nada suaranya agar tidak terdengar terlalu khawatir.

"Enggak papa lah, Bel. Saya kan, enggak papa."

Bella diam.

Satria malah menatap Bella heran. "Kamu enggak suka, ya, cowok yang suka berantem?"

Bella agak terkejut mendengar pertanyaan Satria barusan. "Enggak. Maksudnya bukan gitu, hm... lebih baik cari aman aja, kan," jelas Bella.

"Di mana pun kita berada, sebenarnya kita enggak pernah bener-bener aman, Bel," ucap Satria. "Tapi saya akan berusaha buat kamu aman kalo bareng saya," lanjutnya sambil tersenyum.

Bella tidak bisa menahan semburat merah jambu yang keluar perlahan di pipinya. Dan lagi, tiba-tiba pagi itu terasa sangat panas.

"Saya pamit ke kelas dulu," pamit Bella, kemudian dia pergi meninggalkan Satria yang masih duduk di atas motornya. Dia tidak mau terlihat merona di depan laki-laki itu. Malu dong.

*🍓🍓🍓*

StrawberryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang