45.🍓

33 6 0
                                    

Sebelum Satria akan menanggapi ucapannya, Euis memotong. "Aku enggak ngarepin kamu buat suka atau cinta balik sama aku. Itu terserah kamu, aku enggak mau maksa, aku cuman mau ngutarain ini aja. Karena aku tau, cinta enggak selalu memiliki, cinta enggak selalu terbalaskan. Aku pun enggak mau ngerusak hubungan baik kamu sama gadis itu."

Satria mengatupkan bibirnya. Bagaimana Euis tahu tentang Bella? Satria hanya menatap Euis yang kini menundukkan kepalanya sambil terisak. Satria menggaruk kepalanya dengan kasar, dia kesal sendiri karena tidak tahu apa yang harus dia lakukan.

"Udah, gitu aja, Sat, aku pamit pulang, ya, makasih udah mau ketemu aku," pamit Euis sambil berdiri dan melangkahkan kakinya pergi menjauh dari Satria.

"Is," panggil Satria, dia berdiri dari tempat duduknya. Euis berbalik menatap Satria. "Makasih, karena, lo udah mau jujur. Walaupun gue enggak bales perasaan lo. Tapi lo perempuan yang berani, mau ngungkapin ini."

Euis mengangguk sambil tersenyum tipis. Lalu dia kembali berjalan menjauhi Satria, lengannya sesekali menghapus air mata yang selalu ingin keluar. Kemudian dia menutup mulut dan hidungnya agar tidak terisak terlalu hebat.

Satria menatap Euis dari tempatnya berdiri. Dia merasa sangat tidak karuan, tapi mau bagaimana lagi, Satria memang tidak pernah mencintai Euis sedikit pun. Rasa suka mungkin ada, tapi itu hanya sebatas suka saja, tidak lebih.

Euis melihat cinta sama seperti melihat buah stroberi. Mungkin buah itu terlihat enak, merah merona dan menggugah selera. Tapi saat memakannya, barangkali buah itu tidak manis, tidak enak, bahkan sangat asam. Ini bukan tentang kita yang harus selalu merasakan hal manis, tapi juga hal-hal lainnya. Karena hidup tak selalu sesuai dengan apa yang kita lihat dan inginkan saja.

*🍓🍓🍓*


Satria sedang duduk di atas kasurnya seraya menatap layar ponselnya. Alisnya menukik tajam. Jam menunjukkan pukul delapan malam. Sudah puluhan pesan dia kirim, tapi tak kunjung ada balasan. Belasan kali dia meneleponnya, tapi tak pernah ada jawaban. Ada apa dengannya? Apa di jam seperti ini dia sudah tertidur?

Di sisi lain, seorang gadis dengan mata penuh dengan air sedang menatap buket bunga yang sudah layu dan kering di atas meja belajarnya. Dia merasa aneh dengan hatinya sendiri, karena lagi, dia merasa sakit hati walau belum memiliki status. Nalarnya berkata jika dia tidak perlu cemburu, tapi hatinya merasakan sesak saat melihat laki-laki yang dia cintai sedang berjalan berdampingan sambil tertawa dengan gadis lain. Itu sangat menyakitkan.

Ponsel yang ada di dekatnya menampilkan pesan dan panggilan yang tidak terjawab. Bella merasa tak perlu ada lagi yang harus dibahas. Emosi menyelimutinya, sakit hati menguasai dirinya. Dia hanya ingin menangis. Menangis sepuas yang dia mau. Mungkin wajar saja jika dia ingin sendiri dulu, ingin menghabiskan waktu dengan menangis. Selama dalam dosis yang wajar. Bukankah setiap orang punya waktunya masing-masing untuk meluapkan emosinya?

*🍓🍓🍓*


Seminggu berlalu. Satria tak lagi bisa menghubungi Bella. Dia ingin ke rumahnya, tapi, dia tidak punya alasan untuk datang. Bella jarang pergi ke sekolah, karena dia sudah dinyatakan lulus. Jadi di sinilah dia sekarang, di tengah acara Pensi yang sedang berlangsung. Banyak sekali siswa-siswi yang memenuhi depan panggung acara yang menampilkan performance dari salah satu band terkenal yang ada di Bandung.

"Sat, ke depan kuy." Adi mengajak Satria seraya menepuk pundaknya.

"Lo ngelamun mulu, Nyet. Bella mana?" timpal Bagas.

"Gue nyari dia dulu deh," jawab Satria sambil berjalan menjauh dari dua sahabatnya. Adi dan Bagas menatap punggung sahabatnya dengan heran.

"Dia kayak manusia gua aja, ya, Gas, kan bisa ditelpon," ucap Adi saat tak lagi melihat Satria.

"Biar lebih romantis kali, Nyet," balas Bagas.

Di saat semua orang berada di hadapan panggung, di sinilah gadis mungil berkacamata berdiri. Belasan meter jauhnya dari hiruk pikuk manusia yang berjoget ria. Dua tangannya dia lipat di depan dada. Matanya menatap ke arah depan, tapi pandangannya kosong.

"Saya cariin dari tadi," kata-kata seseorang itu membuat Bella tersentak dan melihat ke kiri dan ke kanan. Lalu matanya menemukan seseorang ber-Hoodie merah tua itu. "Kok chat sama telpon dari saya enggak pernah dibales?"

Bella memalingkan wajahnya ke arah depan.

Satria menukikkan alisnya, dia bingung, apa yang terjadi pada gadis itu? "Kamu kenapa? Sakit?" tanyanya sambil berjalan mendekat.

"Enggak usah deket-deket," ujar Bella. Entah apa yang terjadi, tapi dia merasa jijik, juga rasa sesak di hati tiba-tiba hadir saat menatap laki-laki di hadapannya.

Satria semakin heran, dia baru melihat Bella sejutek ini. "Kamu kenapa sih, Bel?"

"Enggak kenapa-napa."

"Kamu bisa cerita, saya pasti dengerin."

Bella memutar matanya. Bagaimana Bella mau cerita jika masalahnya berhubungan dengan cowok di hadapannya.

Hening hampir tiga menit menyelimuti keduanya, sampai Bella angkat bicara. "Mending kita enggak usah berhubungan lagi."

Satria mengernyit. "Maksud kamu?"

"Apa kurang jelas omongan saya?" tanya Bella, suaranya sedikit bergetar dan matanya sedikit berair.

"Tapi kenapa?"

Bella menatap sekitar untuk menahan air matanya. "Sekarang, kamu harus nepatin janji kamu." Bella mengatakan itu dengan susah payah. Dia tidak ingin mengucapkannya, tapi emosi terlalu menguasai dirinya. Matanya sudah semakin penuh dengan air. "Kamu udah buat saya nangis, Sat. Dan sekarang, kamu harus pergi dari hidup saya," lanjutnya seraya menatap Satria tajam dan meneteskan air mata.

Satria kebingungan. "Saya enggak ngerti maksud kamu apa, Bel."

"Kamu pergi dari hidup saya," jelas Bella, kemudian dia akan pergi meninggalkan Satria.

Tapi laki-laki itu memegang lengan kirinya. "Tunggu, Bel, jelasin dulu."

"Enggak ada yang perlu dijelasin." Bella menatap Satria, tetes demi tetes air mata menyusuri pipinya.

Satria tidak mengerti kenapa Bella sampai menangis. "Tapi saya butuh alasan, kenapa saya harus pergi dari hidup kamu?"

Bella mengembuskan napas, dia mulai lelah, ditambah hatinya sangat sakit mengatakan semua kata-kata yang sebenarnya tidak ingin dia katakan. Apalagi dia sudah berjanji kepada dirinya sendiri, bahwa ia harus menunjukkan apa yang sebenarnya ada di dalam dirinya. Tapi apalah daya, emosi terlalu pekat, menutup nuraninya. "Mungkin karena kamu bukan cowok yang baik buat saya."

StrawberryOnde histórias criam vida. Descubra agora