46.🍓

35 6 0
                                    

Satria mengernyit semakin heran.

"Kamu ngerokok, kamu suka berantem, kamu ikut geng-geng enggak jelas, bahkan beberapa bulan lalu kamu mau tawuran lagi, dan ternyata saya bukan satu-satunya cewek yang kamu deketin. Kamu enggak pantes buat saya," tajam Bella.

Seolah ada ribuan peluru yang menembus tubuh Satria. Dadanya terasa sakit mendengar kalimat yang terucap dari bibir gadis yang dia cintai. "Saya enggak tau, kenapa kata-kata itu bisa keluar dari mulut kamu."

Satria menggeleng-gelengkan kepalanya dan mengusap wajahnya kasar. "Saya kira kamu beda ,Bel. Ternyata kamu sama aja, kamu nilai seseorang dari apa yang ingin kamu nilai. Sebenarnya saya enggak pantes ngomong ini... tapi saya kecewa sama kamu. Permisi."

Satria berjalan pergi menjauh dari Bella. Hatinya terasa sangat sakit. Dia benar-benar tidak menyangka jika Bella akan berkata seperti itu padanya. Jadi selama ini dia hanya berpura-pura menyukainya? Sekali lagi, perjuangannya sia-sia.

Bella menatap punggung laki-laki itu untuk ke dua kalinya. Juga untuk ke dua kalinya, laki-laki itu meninggalkannya. Bella tak bisa menahannya lagi, dia menangis sambil berjongkok. Semua orang bertepuk tangan dan riuh di depan panggung, tapi dia memilih menangis sendirian dengan jarak belasan meter dari kerumunan itu. Bella tidak tahu betapa sakitnya Satria saat mendengar ucapannya barusan. Tapi Bella bingung, apa yang harus dia lakukan lagi. Di sisi lain dia mencintainya, dan di sisi lain, Bella sangat sakit hati karenanya. Dan emosi memaksanya untuk berkata seperti itu, agar Satria menjauhinya.

Semuanya tidak akan sama lagi. Setelah ini Bella akan pergi ke Bogor, dan menetap di sana sampai beberapa tahun ke depan. Menurutnya, cinta tidak akan mengusik kehidupannya selama itu. Dia memiliki waktu untuk melupakan Satria. Dan menyembuhkan hatinya, agar siap saat bertemu seseorang yang tepat suatu hari nanti.

Satria berjalan kasar menuju tempat parkir. Juan dan Mara yang melihat pemandangan itu langsung mendekatinya. "Bang, lo mau ke mana?"

"Diem lo," jawab Satria sinis.

Juan dan Mara saling melempar tatapan. "Bang?" Juan menarik Hoodie Satria dari belakang.

Satria berbalik menatap Juan tajam. "Apaan sih, gue mau balik."

Juan memandangi Satria dengan tatapan herannya sambil mengangkat sebelah alisnya. Satria menatap adiknya sambil menggaruk ujung alisnya. "Sorry, Dek, gue mau balik, udah, ya, lo enggak usah kepo."

Lalu Satria naik ke atas motornya, memakai helm dan langsung tancap gas. Dia bingung harus ke mana, dia tidak memiliki tujuan. Dia melajukan motornya dengan kecepatan tinggi di jalanan lengang yang dikelilingi kebun teh. Ingatan demi ingatan hadir silih berganti, seperti sebuah rekaman yang tiba-tiba di putar secara acak. Senyumannya, tatapan matanya, kata-katanya, suaranya, semuanya mengacaukan pikiran Satria.

Satria baru sadar, di depannya ada gerombolan domba sedang menyeberang di jalanan bersama dengan penggembalanya. Satria buru-buru menginjak rem belakang dan menarik rem depan motornya. Motor pun berhenti dengan mendadak. Dada Satria turun naik untuk mengatur napasnya. Dia mengatupkan kedua tangannya untuk permintaan maaf kepada penggembala domba tersebut. Lalu Satria kembali melajukan motornya, kali ini menuju rumah.

*🍓🍓🍓*


Detik berganti menit, menit berganti jam. Mentari dan rembulan silih berganti menghiasi langit. Dua bulan sudah berlalu, gadis berkacamata sedang membereskan barang-barangnya di kamar. Dia hanya membawa barang-barang penting saja ke Bogor. Tiba-tiba mamanya datang. "Neng?"

"Iya, Ma."

"Kamu yakin mau tinggal di Bogor sendirian?"

"Aku mau belajar mandiri, Ma. Lagian aku juga bakalan pulang tiap kali ada libur."

"Tapi Mama khawatir," aku mamanya yang memajang wajah sendunya. Dia membelai rambut Bella, lalu mengaitkannya ke belakang telinganya.

"Enggak papa, Ma. Aku bisa jaga diri kok. Mama sehat-sehat terus di rumah, nanti juga Papa pulang."

Wanita paruh baya berambut pendek itu memeluk Bella erat. "Enggak kerasa kamu udah kuliah lagi, padahal baru kemarin rasanya kamu teh di gendong Mama gara-gara sakit gigi."

"Mama," desah Bella.

"Mama pasti kangen kamu."

"Mama jangan bilang gitu dong. Aku, kan, belum pergi, masa udah kangen." Bella mengerucutkan bibirnya.

Mamanya melepaskan pelukannya, lalu tersenyum dan mengusap-usap rambut Bella. "Kita makan dulu, yuk. Sebelum kamu pergi."

Bella mengangguk.

Setelah makan, Bella berangkat diantar mamanya ke terminal. Bella menaiki bus ber-AC, dia duduk di kursi dekat jendela. Bella melambaikan tangannya. Wanita paruh baya yang berdiri di luar bus pun membalas lambaian tangan Bella. Tak lama, bus pun melaju meninggalkan terminal. Meninggalkan mamanya yang masih berdiri, meninggalkan kenangan masa sekolahnya, meninggalkan seseorang yang pernah dia sukai, meninggalkan kenangan yang di buat oleh laki-laki itu-laki-laki yang belum menyatakan cintanya dan yang membuatnya sakit hati.

Bella memilih menjauh. Menjaga jarak untuk menyembuhkan hati. Mencoba melupakan walaupun sulit. Mencoba memulai hidup baru tanpa mengharapkan cinta dari seseorang di atas lembaran kertas putih yang kosong.

*🍓🍓🍓*


Taun ajaran baru. Banyak sekali senior, junior, bahkan teman satu angkatan yang mengagumi laki-laki bule setinggi enam kaki. Tapi tak ada satu pun gadis yang menarik perhatiannya, karena di hatinya hanya ada dia. Dia yang memutuskan untuk menjauh dan membentengi dirinya dengan jarak. Dia yang Satria cintai sekaligus yang membuat hatinya retak.

Sekarang gadis-gadis yang menyukainya semakin agresif. Ada yang memberinya hadiah, ada yang langsung menyatakan cintanya, apa lagi surat cinta, menggunung di tempat sampah. Satria membuang seluruh surat cinta itu ke tempat sampah.

"Resiko jadi orang ganteng," ucap Adi saat melihat sahabatnya sedang membuah semua surat cinta pemberian dari gadis-gadis yang menyukainya. Satria hanya meringis dan memutar matanya.

Bulan demi bulan berlalu. Satria masih sibuk menyibukkan dirinya sendiri. Dia pernah ikut bersama Juan ke Yogyakarta untuk berlibur di sana. Iya, dia kadang melupakan gadis itu. Tapi selalu, di saat dia sedang sendirian, bayangan, ingatan, memori, dan kenangan itu kembali hadir. Sangat sulit untuk melupakannya. Apalagi kenangan bersamanya begitu indah.

Setahun berlalu. Sekarang Jihan tinggal bersama Satria dan Juan di rumah Amih dan Apih mereka. Jihan selalu berangkat dan pulang bersama Satria. Itu yang menyebabkannya tak lagi didekati oleh gadis-gadis. Karena mereka pikir, gadis cantik berambut sebahu itu adalah pacarnya Satria. Dan Satria bersyukur atas itu.

Di sisi lain, gadis berkacamata pun sibuk dengan kegiatannya di kampus. Kerja kelompok, tugas, belajar, memenuhi pikirannya. Tapi selalu, di satu ruangan kosong hatinya, terukir nama itu. Di waktu-waktu tertentu, kadang dia menangis karena masih belum bisa melupakan seseorang yang tidak bisa disebut mantan. Dia menatap sebuah buku yang ditempeli oleh bunga-bunga kering di salah satu halamannya. Bunga yang dulunya indah. Bella meraba bunga-bunga kering tersebut. Tapi rindunya masih tak terobati. Sesak menyelimuti tubuhnya.

Apa ini wajar? Batin Bella seraya menatap langit yang cerah dipenuhi awan yang menggumpal. Setidaknya mereka masih menatap langit yang sama.

*🍓🍓🍓*

StrawberryWhere stories live. Discover now