35.🍓

51 6 0
                                    

Gadis berkacamata sedang duduk di meja belajarnya. Lampu belajar menyala, menyinari lembar buku yang sedang ia baca. Selama liburan ini, Bella disibukkan dengan bimbel di tiga tempat berbeda. Bella mencoba menikmati hari-harinya, setidaknya dia sedikit melupakan laki-laki itu.

Malam ini hujan cukup deras. Sesekali Bella menatap jendela kamarnya yang tertutup gorden. Bella memutuskan untuk beristirahat sejenak. Dia menutup buku yang sedang dibacanya, kemudian berjalan mendekati jendela. Membuka gorden tersebut dan menatap langit malam yang kelam. Suara hujan deras seperti melodi indah yang diberikan alam semesta untuk menemaninya malam ini.

Bella menghembuskan napas panjang. Kemudian dia kembali menutup gorden tersebut dan berbalik melihat meja belajarnya. Matanya menatap sesuatu yang ada di sana. Bella jadi teringat laki-laki itu. Bella mendekati meja belajarnya, kemudian duduk di kursi dan mengambil barang tersebut. Matanya menatap barang tersebut lekat.

"Kamu lagi apa, ya, Sat?" gumamnya seraya melihat barang tersebut. Barang pemberian Satria saat hari ulang tahun Bella beberapa bulan yang lalu. Sebuah stoples kecil yang awalnya berisi dua belas buah stroberi besar. Tapi kini di dalamnya hanya ada sepuluh buah yang sudah membusuk berwarna cokelat tua pekat.

Entah apa yang terjadi pada Bella, genggaman tangannya goyah sampai menjatuhkan stoples kecil yang ada di tangannya. "Astagfirullahalazim," ucap Bella.

Stoples tersebut jatuh ke lantai. Untung saja tidak pecah, hanya tergores dan sedikit retak saja. Bella mengambil stoples tersebut, kemudian kembali menyimpannya di tempat semula. Perempuan itu menopang dagu dengan tangan kanannya, matanya sibuk menatap stoples kecil itu. Bella jadi mengingat sebuah memori indah yang diberikan seseorang kepadanya.

Saat kali pertama dia bertemu dan berkenalan di tengah lapangan-ya, perkenalan yang aneh. Saat tiba-tiba seseorang ingin masuk ekstrakurikuler mading-benar-benar mencurigakan. Saat seseorang ingin mengantar jemputnya ke sekolah-sudah pasti ada maksud. Saat seseorang mengajak Bella pergi ke tempat wisata-perasaan nyaman mulai muncul. Saat seseorang itu mengajak Bella mengunjungi tempat wisata dan menceritakan legenda yang sudah Bella tahu-benar-benar kesederhanaan yang romantis. Saat seseorang itu mengenalkannya kepada wanita paruh baya yang baik hati dan lembut. Saat seseorang itu selalu menepati janjinya. Dan saat seseorang itu pergi meninggalkannya.

Bella tersenyum, tapi matanya meneteskan satu air mata. "Gue yang bodoh," gumamnya. Kemudian Bella menenggelamkan kepalanya di lipatan tangan yang ada di atas meja. Merasakan sesak yang kembali hadir di dadanya.

*🍓🍓🍓*


Gadis lain berada di kamarnya. Beberapa bulan terakhir dia tidak pernah pulang, dia memutuskan untuk tinggal di asrama saja. Tapi sekarang sedang ada liburan akhir tahun, jadi dia kembali pulang. Dia ingin sekali menemui laki-laki itu. Dia tidak pernah menghubunginya lagi. Mungkin benar, dari sejak awal, laki-laki itu memang tidak pernah menyukainya.

Euis menghembuskan napas. Dia menatap jendela kamarnya. Beberapa puluh meter dari rumahnya, terlihat rumah tua yang terlihat sepi. Lampu depannya menyala, tertutup hujan bulan Desember yang dingin. Sejak Euis pulang kemarin, dia tidak pernah melihat penghuni rumah tersebut keluar. Apa dia harus menghubunginya lebih dulu? Tapi untuk apa? Hanya untuk sekedar basa-basi, lalu berharap, dan sakit lagi? Tidak, tidak, itu bukan ide bagus.

Mungkin Euis memang harusnya menjauh sejenak. Mengobati rasa sakit yang dia rasa. Membiarkan diri menerima sebuah kenyataan yang tidak pernah sesuai harapan. Menyembuhkan luka yang tidak terlihat memang membutuhkan waktu cukup lama. Sepuluh kali lipat lebih lama dari luka yang terlihat. Mungkin.

*🍓🍓🍓*


Matanya perlahan terbuka. Mengerjap beberapa kali. Pandangannya masih sedikit kabur, tapi dia bisa melihat sebuah cahaya. Kepalanya sakit. Perlahan pandangannya kembali terlihat dengan jelas. Lampu putih bulat menempel di langit-langit. Dia memiringkan kepalanya ke arah kanan. Menghadap jam weker digital yang menampilkan jam pukul 04:09 pagi. Dilihat dari tanggalnya, dia hanya tidak sadarkan diri selama semalam saja.

Saat dia akan bangun, dia merasakan sakit di seluruh tubuhnya. "Aw," ringisnya. Tangan kanannya memegangi kepala. Dia baru sadar, ada seseorang yang melingkarkan lengan di perutnya.

Satria tersenyum menatap gadis cantik yang memeluknya itu. Dia sedang tertidur pulas. Satria mengusap-usap rambutnya. Kemudian matanya menatap seseorang yang duduk di kursi dan menenggelamkan kepalanya di kasur bagian kirinya. Satria mengusap-usap rambut keriting laki-laki tersebut.

Satria mencoba mengingat kejadian kemarin. Dia melihat sekilas pertarungan adiknya dengan teman-teman satu gengnya. Padahal mereka bertujuh adalah petarung terbaik di gengnya, dan Juan bisa mengalahkan mereka semua tanpa terluka. Benar-benar menyeramkan, sekaligus keren. Pikirnya.

"Abang udah bangun?" tanya Jihan tiba-tiba.

Satria tersenyum. Jihan langsung memeluk Satria. Kedua lengannya melingkar di leher Satria. "Aku khawatir sama Abang. Abang enggak bangun-bangun dari kemarin. Padahal aku beru senang-senang sama Abang," lirihnya.

Walaupun tubuh Satria sakit, tapi dia membalas pelukan Jihan, lalu mengusap-usap punggung dan kepalanya sambil menciumnya. "Honey enggak usah khawatir. Abang, kan, sekarang udah bangun."

Laki-laki yang menenggelamkan kepalanya terbangun. Dia mendongak sambil mengucek-ucek matanya. Kemudian mengambil kacamata yang ada di dekatnya.

"Makasih, ya, Dek, udah nolongin gue kemaren." Satria melempar senyumnya.

Wajah Juan memerah, dia memalingkan wajahnya ke arah kanan.

"Kakak sini," ajak Jihan yang sedang memeluk Satria.

Juan buru-buru menggelengkan kepalanya.

"Cepet, ayo sini," Jihan menarik Juan ke dekapan Satria.

Juan tidak bisa berbuat apa-apa, dan lagi, sebenarnya dia pun merindukan Satria yang dulu.

Sekarang keduanya sudah ada dalam dekapan Satria. Satria memeluk dua adiknya erat, sambil menciumi kepala mereka. "Makasih kalian udah mau jadi Adek-adek Abang," kata Satria.

Mamanya mungkin tidak bisa memberikannya adik, tapi Tuhan tetap mengabulkan permintaannya untuk mendapatkan adik. Langsung dua. Walaupun bukan adik kandung, tapi status mereka berdua tetaplah adik bagi Satria.

Jihan tersenyum lebar, kemudian memeluk Satria erat. "Aw," ringis Satria.

Sedangkan Juan tidak melakukan apa-apa. Dia bingung harus merespons seperti apa. Tapi yang jelas, hatinya merasa senang.

*🍓🍓🍓*


Dua Minggu berlalu. Satria sudah kembali ke Bandung sejak seminggu terakhir. Jihan pun sudah dijemput pulang oleh ayahnya ke Yogyakarta tiga hari yang lalu. Ayahnya agak terkejut saat melihat Jihan memiliki boneka besar. Pasalnya, Jihan tidak pernah menyukai boneka.

Sekarang hari pertama masuk sekolah di semester genap. Satria pulang pukul sepuluh pagi, memang tidak ada KBM hari ini. Satria sengaja tidak pergi ke warung Abah, karena Bagas dan Adi pun tidak ke sana. Ke dua temannya itu sedang sibuk berpacaran. Satria asyik dengan ponselnya, sepertinya sedang memainkan game online.

"Kasep, ganti baju dulu atuh," suruh Amih saat melihat cucu pertamanya sedang tidur terlentang di kursi dengan masih mengenakan seragam. Bahkan dia masih mengenakan Hoodie merah tua kesayangannya dan masih mengenakan ransel hitam.

"Tar, Amih. Tanggung," jawab Satria.

"Nanti seragamnya teh kusut."

"Iya," jawab Satria. Tapi dia masih tak kunjung menuruti perintah Amih.

Sampai akhirnya Amih menanyakan seseorang kepadanya. "Kasep, ari gadis yang waktu itu ke mana? Kok enggak kamu ajak lagi ke sini lagi? Siapa, ya, namanya, Amih teh lupa," cecar Amih.

Satria terkejut kala Amih menyinggung seseorang itu. Terlihat dari matanya yang tiba-tiba tidak fokus dan gerakan ibu jarinya yang tiba-tiba terhenti. Amih hanya terdiam menatap Satria, menunggu sebuah jawaban. Satria menghentikan kegiatannya bermain game online. Kemudian mengubah posisinya menjadi duduk di kursi. Wajahnya terlihat lesu. Satria jadi kembali teringat gadis itu.

StrawberryWhere stories live. Discover now