16.🍓

126 13 0
                                    


*🍓 Seminggu yang lalu ....🍓*


Satria sedang berdiri berdampingan bersama perempuan cantik. Mereka berdua semang memandangi karya indah Sang Pencipta yang ada di hadapan mereka berdua. Cuaca hari itu sedang mendung dan lembap. Pepohonan cantigi di pinggiran kawah terlihat tertutup oleh kabut putih. Sangat bertolak belakang dengan suasana saat Satria pergi ke tempat indah itu bersama Bella seminggu kemudian. Satria mengenakan kaos hitam yang dipadukan dengan jaket bomber berwarna merah tua. Sedangkan Euis menggunakan sweatshirt berwarna putih, ada gambar bunga mawar merah di bagian depannya.

"Kamu tau, Sat. Dulunya tempat ini angker," ucap Euis sambil tersenyum.

"Oh, ya?" Satria terdengar antusias merespons.

Euis mengangguk. "Dulu warga menganggap tempat ini angker, gara-gara burung yang melintas selalu mati. Terus hewan-hewan enggak mau mendekat. Karena dulu warga kurang berwawasan luas, mereka menyanding-nyandingkannya sama hal-hal berbau mistis."

Satria terlihat begitu memperhatikan Euis yang sedang bercerita. Dan Euis merasa senang, karena dia diperhatikan oleh seorang Satria-teman dari masa kecilnya yang jahil. "Tapi pas taun 1837, Dr. Franz Wilhelm Junghuhn, berhasil mengungkap hal mistis itu. Burung-burung itu mati karena aroma belerang dari kawah ini. Sebuah tempat yang sangat indah menurutnya."

Euis tersenyum seraya melihat ke arah Satria. Satria membalas senyuman Euis. Euis menunduk, tapi matanya menatap Satria dari balik bulu matanya yang lentik. "Kamu tau, Sat. Kita bisa belajar sesuatu loh dari Kawah Putih ini," ucap Euis.

"Belajar apa?"

"Bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini." Euis menatap Satria sambil memajang senyuman, Satria pun membalas pandangan mata Euis. "Kawah Putih ini saja begitu. Indah untuk dipandang, tapi enggak enak untuk dicium. Karena sesuatu hal selalu memiliki sesuatu yang negatif dan positif, agar terlihat seimbang. Itu sebabnya mengapa banyak orang-orang yang jauh-jauh datang ke tempat ini, walaupun harus menghirup aroma yang enggak enak. Tapi harga yang mereka bayar sepadan untuk melihat karya indah Sang Pencipta ini.

Senyuman Satria melebar. "Wow, kata-kata lo bagus banget, Is," puji Satria sambil bertepuk tangan-tapi bukan tepuk tangan khas anak-anak.

Euis tersenyum. Wajahnya memerah, dia membelai rambutnya sendiri dan mengaitkannya ke belakang telinga.

Pemandangan alam yang indah membingkai senyuman dari dua insan muda tersebut. Potret yang begitu menakjubkan. Tapi sayang, hati tidak bisa berbohong. Apa yang dirasakan mereka berdua bersimpangan.

*🍓🍓🍓*


Motor Kawasaki Ninja ZX10-R berwarna merah berhenti di depan sebuah rumah minimalis berwarna putih. Bella turun dari motor Satria. "Makasih ya, Sat, udah ajak saya ke Kawah Putih."

Satria mengangguk sambil tersenyum. Helm full face miliknya sudah dia lepaskan. Mereka hanya berdiri saling berhadapan tanpa mengeluarkan suara. Satria masih memajang senyumannya.

"Sat?" tanya Bella.

"Hm," jawab Satria, masih dengan senyuman andalannya.

"Kamu enggak pulang?"

"Ini mau, nunggu kamu masuk ke rumah dulu. Takutnya ada Wewe gombel yang bawa kamu terbang," kelakar Satria.

"Apaan sih, Sat." Bella menyengir. "Enggak lucu."

Satria malah tertawa sambil memamerkan giginya yang putih. Anehnya, jantung Bella berdegup kencang saat melihat senyuman yang menampilkan deretan gigi itu.

"Yaudah, sana," suruh Satria.

"Saya ke masuk rumah dulu. Kamu hati-hati ya, jangan ngebut," ujar Bella. Tidak ada salahnya, kan, Bella berkata seperti itu?

"Iya, ngebutnya dikit aja."

Bella memutar matanya, tapi bibirnya sedang menahan sebuah senyuman. Dia tidak mau rasanya terus tumbuh dengan menyiraminya dengan perasaan nyaman dan merona. Kemudian Bella berjalan menuju pintu rumahnya. Di saat Bella sudah memegang pintunya, dia mendengar seruan dari arah belakang.

"Bell?!" seru Satria.

Bella berbalik ke arah Satria.

"Bener, kan, apa kata saya, 'sebelum magrib pasti udah sampai di pintu rumah kamu'," kata Satria dengan memajang senyumannya yang menampilkan gigi putihnya.

Bella tersenyum ke arah Satria. Dia membuka pintu rumahnya. Sebelum Bella menutup pintu, dia sempat melihat Satria melambaikan tangan, Bella membalasnya dengan senyuman. Setelah pintu tertutup, Bella masih tersenyum-senyum sendiri. Artinya Satria adalah tipikal laki-laki yang menepati perkataan. Dia tidak banyak membual, tapi langsung ke perbuatan. Contohnya hari ini, dia sampai di depan pintu rumah sebelum azan magrib berkumandang.

Bella buru-buru mengenyahkan pikirannya itu. Dia berjalan menuju kamarnya sambil menatap helm catok berwarna putih di genggaman tangannya.

"Neng, udah pulang? Kok enggak ngucapin salam?"

"Astagfirullahalazim," Bella terperanjat mendengar suara mamanya yang tiba-tiba terdengar.

*🍓🍓🍓*


Hari Senin pagi. Juan baru turun dari motor Vespa hitamnya. Jaket jeans biowash berwarna biru yang di bagian lengannya dilinting melekat pada tubuhnya. Juan selalu datang sendirian semenjak Satria mengantar jemput Bella.

Tiba-tiba laki-laki bertopi merah lusuh yang mengenakan jaket Harrington berwarna merah tua mendekatinya, dia setengah berlari. "Ju," serunya dengan napas memburu.

"Hm," respons Juan.

"Lo ngirim komik lo ke anak mading?" tanya Adi.

Juan menggeleng. Mereka berdua berjalan bersama.

"Tapi kok dipajang di mading?"

Juan menghentikan langkahnya, dia menatap Adi dengan sebelah alis terangkat.

"Ju, gambar lo banyak yang muji," seru laki-laki berkulit sawo matang dengan jaket training khas atlet berwarna abu-abu dan navy di bagian lengannya. "Kapan lo ngasih ke anak mading?" lanjutnya setelah sampai di hadapan Juan dan Adi.

Juan berjalan agak cepat menuju mading, Adi dan Bagas mengekornya dari belakang.

"Juju kenapa sih, Nyet?" tanya Bagas.

Adi mengangkat bahunya sekilas. "Enggak tau, doi baru dateng."

Beberapa siswa-siswi sedang sibuk mengerumuni mading. Seperti semut yang sedang mengerumuni gula pasir. Mereka sibuk bergerombol sambil mengomentari sesuatu, kebanyakan dari mereka memuji. Juan menyibak kerumunan itu. Siswa dan siswi yang ada di sana tidak berani memuji langsung kepada Juan. Pasalnya, Juan pendiam, tidak pernah berbicara, dan terkesan dingin. Satu persatu dari mereka pergi meninggalkan area mading.

Mata Juan terbelalak melihat komik buatannya dipajang di mading. Di tambah ada namanya pula di bagian bawah empat kertas HVS ukuran F4 itu. Dan, nama itu di tulis bukan oleh tangan Juan. Lihat saja tulisannya, jelek.

"Hei, Ade gue udah dateng," ucap seseorang setinggi enam kaki sambil merangkul Juan. Dia cengengesan tidak jelas.

"Lo yang nyuri gambar gue?" tanya Juan dengan suara kecil. Sepertinya Juan tidak mau orang-orang mendengarnya.

"Gue enggak nyuri, cuman ngambil." Satria memamerkan giginya, tersenyum.

"Sama aja," Juan melepaskan rangkulan Satria.

Senyuman Satria seketika memudar.

"Hai, kamu yang namanya Juan, ya?"

Juan menatap perempuan tinggi dengan rambut yang diikat ekor kuda. Lihat saja tingginya, mungkin hanya beberapa sentimeter di bawah Juan. Perempuan tinggi itu tersenyum ke arahnya, dan waktu menjadi terasa begitu lambat bagi Juan. Perempuan tinggi ini cantik, kulit kuning langsatnya yang mulus, bulu matanya yang lentik, dan senyumannya yang menawan.

"Iya," untuk pertama kalinya, Juan menjawab pertanyaan dari seseorang yang bukan sahabatnya.

StrawberryWhere stories live. Discover now