12.🍓

151 14 9
                                    

Hening menyelimuti kedua pemuda yang sedang menghisap asap dan sesekali menyedot susu kotak berukuran 250ml rasa stroberi di genggaman tangan mereka masing-masing. Satria tidak nyaman dengan suasana canggung yang membentengi mereka berdua, jadi dia memberanikan diri untuk bertanya, "Gas?"

Bagas malah langsung menghardik Satria dengan sebuah pertanyaan, "Lo mau nanya, kan, ada hubungan apa gue sama Guru fisika itu?" Matanya mengerling ke arah Satria.

Satria sedikit kikuk, dia meminum susu kotaknya agar tenggorokannya tidak kering. "Kalo lo enggak mau cerita, gue enggak masalah kok."

Bagas tersenyum ke arah Satria, lalu menghadapkan wajahnya ke arah depan. Melihat ke arah dinding sekolah. Hening beberapa saat sampai akhirnya Bagas membuka suara, "Dia ibu tiri gue."

Satria tidak bersuara, ia memberikan ruang agar Bagas bisa kembali berbicara-walaupun sebenarnya ia terkejut. Ia menghembuskan asap dari mulutnya lalu kembali meminum susu rasa stroberi yang ada di tangannya.

"Pas umur gue sepuluh taun, gue ngeliat nyokap sama bokap gue lagi ribut. Piring pecah, gelas pecah, pokoknya chaos banget waktu itu. Dulu gue enggak ngerti, nyampe mereka berdua cerai, bokap ninggalin nyokap, barulah gue tau kalo bokap gue selingkuh. Dia udah nikah siri sama perempuan yang lebih muda, tanpa sepengetahuan nyokap gue, dan perempuan itu udah hamil," jelas Bagas, lalu meminum susu stroberinya.

Satria diam, ia tidak lagi mengisap rokok yang berada di antara jari telunjuk dan jari tengah tangan kirinya. Ia hanya menatap laki-laki yang berada di samping kirinya dengan lekat. Kepala pemuda di hadapannya itu menunduk ke arah bawah. Satria mulai mengerti perasaan Bagas.

Bagas menghisap rokoknya. "Gue ngerasa hidup gue ancur waktu itu. Keluarga kecil bahagia dan hangat enggak lagi gue rasain. Nyampe gue mengenal rokok di umur gue yang masih sebelas taun. Gue ngerasain kedamaian sesaat pas gue ngerokok. Tapi gue juga tau, ini tuh salah." Bagas melihat rokok yang ada di jari tangannya.

Satria pun mengikuti arah pandangan Bagas.

"Gue dulu bisa ngabisin sebungkus sehari. Padahal umur gue masih sebelas. Gila enggak, tuh?" Bagas tersenyum miring. "Gue cuman ngehibur diri gue sendiri. Nyampe gue ketemu Juju sama si Adi pas SMP. Mereka berdua ngasih pengaruh yang baik sih buat gue. Mereka berdua nyadarin gue kalo semua orang punya masalah dan drama kehidupan mereka masing-masing. Mereka enggak mempermasalahkan gue yang ngerokok. Padahal di luar sana, orang-orang ngejauihin gue gara-gara kebiasaan gue ini. Dan gue yang terkesan sebagai anak nakal."

Satria masih setia menatapnya lekat. Ia tidak mau berbicara sampai Bagas selesai mengeluarkan apa yang ingin dia keluarkan.

"Juju sama si Adi ngajarin gue dari masalah mereka, kalo yang perlu hiburan itu bukan cuman gue doang, yang sakit hati itu bukan gue aja, tapi nyokap gue pun butuh dihibur, nyokap gue pun sakit hati. Gue mulai deketin nyokap gue yang selalu berusaha tegar di depan gue, padahal gue juga tau, dia nangis tiap malem. Gue enggak tau cara ngehibur dia kayak gimana, makanya gue cuman meluk dia pas dia lagi nangis."

Lengang sejenak. "Gue mungkin belum bisa berhenti ngerokok, karena gue masih tetep butuh ketenangan yang dia kasih. Tapi, gue udah bisa ngurangin intensitasnya, dengan nyibukin diri gue sendiri. Gue juga pengen, suatu saat, bisa berhenti. Mungkin kalo gue udah nemuin sesuatu yang lebih memberi gue kedamaian dibandingin rokok. "

Keheningan kembali menyelimuti kedua pemuda itu. Mereka berdua sibuk dengan pikirannya masing-masing. Satria hanya menatap rokok miliknya yang sudah setengah habis terbakar tanpa kembali dia hisap. Satria mengingat beberapa kalimat yang diucapkan Bagas.

"Semua orang punya masalah dan drama kehidupan mereka masing-masing."

Ya, Satria mengerti betul hal itu. Tapi alasan Bagas merokok itu lebih masuk akal dibandingkan dengan alasannya merokok. Kalimat ke dua yang ditangkap oleh Satria dari omongan Bagas adalah.

StrawberryМесто, где живут истории. Откройте их для себя