19. Alden & Alaya

61K 6.7K 235
                                    

"Alden kita pulang saja," tangan Alaya memegang bahu majikannya dari belakang. Prihatin saat melihat laki-laki yang biasa memasang wajah tak santai itu kini menjadi sendu.

Kepala Alden menggeleng. "Tunggu bentar lagi. Gue, masih mau liat kebahagiaan mereka."

"Tapi dengan kamu liat tanpa bergabung bersama keluarga kamu. Akan membuat luka hati kamu semakin lebar!" sengit Alaya kesal.

"Gue juga pengen ada di sana Alaya," gumam Alden. Membalikkan badan kearah Alaya yang sedang mengendong Haidar.

Tubuh remaja laki-laki itu terduduk diaspal dengan punggung yang menempel di pintu samping mobil. "Tapi gue anak yang terbuang."

Alaya terdiam. Matanya menatap halaman mansion yang penuh dengan mobil terparkir rapih dan berjejer di sana. Bahkan Alaya sampai bisa mendengar obrolan penuh tawa itu dari semua orang yang berada di mansion.

Kata majikannya itu adalah acara rutin satu kali dalam setahun yang memang sudah menjadi kebiasaan sejak dulu. Dimana acara itu berisi perkumpulan seluruh anggota keluarga untuk menjalin silaturahmi. Mengingat mereka semua jarang bertemu dan mengobrol.

"Jangan buat hati kamu sakit sendiri," ucap Alaya ikut berjongkok didepan majikannya. Dengan Haidar yang dia titah berdiri.
"Peluk Pamannya biar ga sedih," alaya pun melingkarkan tangan mungil batita laki-laki itu leher Alden membuat tawa Haidar terdengar sangat manis di telinga keduanya.

Dengan sigap Alden langsung memberikan kecupan ringan dikedua pipi bulat batita laki-laki yang masih tertawa itu.

"Hi," sapa Raffasya tersenyum menawan. Berdiri menjulang bagai tiang listrik.

"Hi Kak Raffasya," balas Alaya tersenyum tipis. Sedangkan Alden tidak peduli dan asik menggoda ponakan kecilnya hingga tertawa semakin kencang.

Raffasya ikut berjongkok. Telapak tangannya mengelus pelan belakang kepala putranya. "Terima kasih sudah membantu merawat Haidar, Alaya."

"Aku dipekerjakan. Dan aku suka merawat bayi sepintar Haidar," balas Alaya cepat.

"Ngapain lo ke sini?"

Kalimat itu membuat mata Raffasya menatap ke arah adiknya. "Hanya memastikan kalian semua aman dan tidak terjangkau dari anak buah Ayah."

Tangan Alden terkepal kuat. Langsung memberikan Haidar pada Alaya kembali. "Bahkan memandang keluarga dari jauh pun tidak diperbolehkan. Sebegitu hinanya gue di mata Ayah," kekehnya miris.

Raffasya diam tidak bisa berkata apa-apa. Bibirnya mendarat di pucuk kepala putranya sebentar. "Apa lo mau masuk ke dalam?"

Seketika Alden langsung menatap penuh minat. Namun dengan cepat kepalanya kembali menggeleng. "Ga."

"Gue bakal jagain lo di sana."

"Ga perlu. Gue mau pulang aja," tandas Alden tegas. Membuka pintu bagian depan lalu mendorong paksa agar Alaya bersama Haidar cepat masuk.

"Makasih buat tawaran lo. Gue pulang dulu," ketus Alden langsung masuk ke kursi pengemudi. Lalu melajukan mobilnya pergi dari sana.

*

"Aku ngerti ko perasaan kamu sekarang," celetuk Alaya tiba-tiba. Membuat Alden yang fokus menyetir mengalihkan pandangan ke arah gadis di sampingnya sebentar. Lalu kembali melengos tanpa mau mengeluarkan suara.

"Kata almarhum Ibu. Kalo kita diabaikan jangan bersedih dan merasa putus asa. Cukup tinggal kita sukses dimasa depan, nanti orang-orang yang udah anggap kita ga penting bakal dateng sendiri ke kita."

"Emang bisa kaya gitu?"

"Bisa dong. Kan kalo kita sukses. Orang-orang juga bakal dateng karena butuh."

ALDEN & ALAYA || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang