Elorraine Zigfrids - Markas tersembunyi

118 20 1
                                    

[ Elorra ]
Markas Tersembunyi

[ Elorra ]Markas Tersembunyi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

•••

Seperti angin malam yang membentang luas, terkadang wanita itu menyisakan kehampaan di balik senyuman. Sorot mendalamnya menerawang, memancarkan cahaya redup seraya menundukkan kepala-menjauhi kontak mata.

Andai hujan berdatangan, atap-atap kabin mungkin turut menyerukan namanya. Jika saja, Zigfrids merupakan sosok ayah yang teduh seperti hujan mungkin dirinya akan lebih bahagia. Meskipun begitu, Elorra sungguh menghormatinya. Setiap malam nama itu selalu berada di doa tidurnya—mendoakan kejayaan abadi—walaupun dia tahu, Tuhan bahkan tidak akan mendengarkannya. Siapa yang mau mengabulkan doa semacam itu?

Namun, apakah dia diperbolehkan untuk berharap? Jika iya, bisakah ia hidup tanpa intrik sesaat? Bisakah Elorra terbebas dari dunia yang pelik? Sekali saja, biarkan Bumi berputar tanpa dosa.

Ah, betapa bodohnya. Mengapa berharap sesuatu yang tidak mungkin? Takdir Elorra memanglah segelap ini.

"Tegapkan tubuhmu dan tataplah ayah! Pernahkan diriku mengajarimu memalingkan wajah di saat seseorang bertanya?" Mr. Zigfrids meninggikan suaranya. Sorot violet yang serupa dengan milik sang putri memandang tajam ke arahnya.

Elorra menegakkan kepala, senyuman tenang tak luput menghilang. Dengan tegar ia menjawab, "Sudah saya katakan ... dia Tuan Denzel, ayah."

Mr. Ijekiel Zigfrids terdiam memandangi putrinya. Sisi kiri alisnya terangkat, menyiratkan ketidakpercayaan terhadap sesuatu. "Oh, putra konglomerat rendah. Jadi, dia kekasihmu?"

"Tentu saja tidak," jawab Elorra cepat. "Bagaimana bisa saya memadu kasih selain kepada Tuan Illya seorang."

Zigfrids mengulas senyum singkat. "Kau berbohong."

Elorra terdiam. Kali ini wajah cantik itu kembali menegang. Iris violetnya membulat sempurna ketika tangan agung sang ayah menyiratkan sesuatu kepada anak buahnya. Ijekiel tersenyum sejenak sebelum mengarahkan tubuhnya menghadap jendela, memunggungi Elorra.

Pria berbadan kekar berbalutkan jas khusus di sudut ruangan pun mengangguk lalu mengajak beberapa rekannya keluar. Elorra yang mengerti akan maksud isyarat tersebut lantas memeluk kuat kaki Ijekiel. Senyuman itu memudar berganti dengan ketakutan.

"A-Ampuni saya, ayah. Saya mengatakan kebenaran, tolong jangan! Tolong hentikan mereka!" Elorra tersungkur di hadapan sang pemilik kapal. Penampilannya sungguh kacau, masih dengan baju yang basah ia memohon. Iris violetnya mengerjap, berusaha menemukan siluet Ijekiel yang terhalang akan cahaya mentari dari luar jendela.

Beliau terdiam acuh, menghiraukan seruntun kalimat lirih dari putri semata wayangnya. Telinga seakan-akan menuli, hati pun telah membeku bagaikan sebongkahan es. Sorot matanya menajam memandang lautan lepas, tangisan pilu tak berwujud dari Elorra dihempaskan jauh-jauh.

Le Wiston The SeasWhere stories live. Discover now