Kemala Sari - Pengungkapan

74 12 0
                                    

[ Mala ]
Pengungkapan

[ Mala ]Pengungkapan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

•••

"Masih menyelinap, Mala?"

Langkah kaki Mala terhenti saat mendengar suara dari ujung lain lorong. Dia mengembuskan napas perlahan sebelum akhirnya berbalik. Dia berusaha untuk mempertahankan wajah yang tidak bersalah, tapi itu mustahil.

"Papa? Aku hanya ...," Mala mengangkat bahunya, "tidak bisa tidur. Mencari udara segar."

"Benarkah?" Ayahnya mendesah, menatap putrinya dengan mata sedih. Jelas tidak percaya omong kosong yang keluar dari mulut putrinya. "Aku pikir dia tidak lagi tertarik, Mala."

Mala membuka mulutnya, mengernyit dengan bingung. "Apa? Aku tidak mengerti."

Ayahnya melangkah mendekatinya. Melingkarkan lengan di sekeliling bahunya. "Boleh Papa menemanimu? Jalan-jalan? Seperti yang kamu katakan, mencari udara segar?"

"Tentu," jawab Mala.

Mereka berjalan dalam keheningan. Mala melirik ayahnya beberapa kali. Mereka tidak pernah canggung sebelumnya tapi saat ini itulah yang dirasakan Mala. Dia menggigit bibirnya, membuka mulutnya tapi kemudian menutupnya lagi. Dia bahkan tidak tahu harus mengatakan apa. Dia berharap bisa menyelinap diam-diam ke dek. Donovan tidak pernah berada di sana lagi, tapi itu tidak menghentikan Mala untuk terus datang. Berharap dengan sia-sia Don akan berdiri di sana sekali lagi.

Mereka mencapai dek dan Mala meringis saat ayahnya terus berjalan ke langkan tempat yang biasanya dia gunakan bersama Don. Dia masih ingat ciuman mereka, ingat rasa bibir Don di bibirnya dan tangan di rambutnya. Itu membuat kupu-kupu mengamuk di perut Mala. Wajahnya panas saat ingatan itu terasa begitu jelas di kepalanya. Dia berharap telah mengatakan sesuatu yang pintar malam itu tapi dia telah dikonsumsi. Telah dihabiskan. Hingga kata-kata rasanya mustahil.

"Apakah putriku jatuh cinta?"

"Apa?" Mala mendongak, semua lamunan tentang Donovan meleleh dari kepalanya. "Apa maksud Papa?"

"Putriku menyelinap dari kamarnya untuk menemui seorang pria, apa lagi yang harus Papa pikirkan?"

"Papa!" erang Mala, sejenak dia berpikir untuk melompat ke lautan hanya untuk mendinginkan rasa malu yang sekarang membakar hingga pipinya memerah.

"Dia bahkan melewatkan malam musiknya untuk pria ini."

"Papa hentikan!" ucap Mala memohon, dia menutupi wajahnya. Tentunya ayahnya tidak menguntitnya selama ini, 'kan?

"Hmm?"

"Dan Don bukan pria. Dia hanya anak laki-laki."

"Anak laki-laki yang mengajari putriku minum minuman keras dan merokok di sekitarnya?"

Mala merengut tapi tidak yakin argumen macam apa yang bisa menjadi pembelaan di pihaknya.

"Don hanya .... Don itu ...."

Mala tidak tahu bagaimana menggambarkannya. Dia tahu Don adalah kabar buruk, dia tahu dia seharusnya berlari sejauh mungkin dari anak laki-laki seperti itu. Tapi kenyataannya, Don menariknya. Jiwanya yang rusak entah bagaimana memikatnya.

"Rumit?" Ayahnya menyarankan dan Mala mengangguk.

"Hanya saja Don tidak sesederhana itu. Apakah Papa mengikutiku selama ini?"

Ayahnya mengangkat alisnya, seolah mengatakan 'Bukankah itu sudah jelas?'

Mala sekali lagi mengerang dan berharap dia terbakar rasa malu di sana hingga menjadi abu. "Setiap malam?"

"Apa lagi yang bisa Papa lakukan?"

"Uhh ... jadi Papa melihat itu? Ciuman itu?"

Ayahnya berkedip dengan wajah datar. "Apakah kamu benar-benar ingin tahu itu, Sayang?"

Mala buru-buru menggeleng. "Tidak! Tolong jangan katakan apa pun!"

"Aku tidak tahu apa yang kamu lihat dalam dirinya Mala. Kamu belum pernah seperti ini." Ayahnya mengusap rambut hitam Mala, menatap putrinya dengan ingin tahu. "Katakan, apakah kamu mencintai dia?"

"Aku pikir begitu. Rasanya menyenangkan saat berada di sekitarnya. Dia membuatku merasa berarti, apakah itu salah Papa?"

"Tapi itu sudah selesai sekarang?"

Mala terkekeh dengan pahit. "Dia bilang aku harus pergi. Turun dari kapal ini karena sesuatu yang buruk akan terjadi."

"Jadi itu alasan kenapa kamu ingin turun di pemberhentian berikutnya?" Mala mengangguk. "Tapi kamu tidak berusaha dengan keras saat Mama bilang tidak. Kamu sepertinya hanya setuju begitu saja."

"Aku tidak ingin pergi. Aku pikir dia akan kembali, apakah itu bodoh?"

Ayahnya mendesah dan bersandar pada langkan besi, menatap putrinya dengan senyuman kecil di sudut bibirnya. "Bukankah itu yang dilakukan cinta? Itu membuat seseorang menjadi bodoh."

"Tapi itu juga membuat orang merasa baik," ucap Mala pelan, ayahnya mengangguk.

"Dia tidak di sini, jadi aku pikir itu selesai. Jadi bisakah Paba yakin kamu tidak akan menyelinap lagi besok?"

Mala mengangguk, karena jelas Donovan tidak akan datang. Donovan bilang dia harus pergi. "Baik, tidak ada lagi menyelinap."

Ayahnya kembali merangkul bahunya saat mereka kembali ke arah kabin. Memeluk Mala dan melindunginya dari angin yang mengamuk.

Dalam bayang-bayang, seorang bocah laki-laki menatap dalam diam hingga mereka tidak terlihat lagi. Merasa bersyukur dan kecewa di saat yang sama.

 Merasa bersyukur dan kecewa di saat yang sama

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Le Wiston The SeasWhere stories live. Discover now