Epilog - Marian Elizabeth

117 9 17
                                    

[ Marian ]
Epilog

[ Marian ]Epilog

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

•••

"Silahkan bertukar cincin."

Mendengar itu, Diluvian meraih cincin dari dalam kotak, memasangkannya di jari manis tangan kiriku yang terulur. Sontak sebuah senyum tipis aku tunjukkan, bentuk formalitas dan sedikit menertawai diri sendiri.

Pada akhirnya, aku yang berusaha melarikan diri dari pertunangan dengan anggota keluarga Radolph pun berakhir disini, bertunangan dengan seorang Diluvian Radolph. Meski tetap melaksanakan pertunangan, Diluvian adalah pilihan yang terbaik ketimbang Dulce—adiknya yang sangatlah tak kusukai. Juga, dia takkan mengkhianati ataupun meninggalkanku, seperti orang itu.

Lanjut, aku sekarang sudah lulus dari sekolah, meski hanya mengenyam pendidikan di rumah. Setahun belakangan ini aku tidak diperbolehkan kemana-mana, katanya karena kondisi mentalku sangatlah buruk.

Aku bahkan tak bisa mengingat dengan baik tentang hal-hal buruk yang terjadi padaku setahun yang lalu. Jelas kusadari bahwa hidupku kembali dimulai dari angka nol. Hampir mati dan ditinggalkan oleh orang tersayang membuatku gila. Diluvian bilang aku sudah berulang kali mencoba bunuh diri, bahkan hendak menenggelamkan diriku setiap kali melihat laut. Hingga lelaki yang cinta mati kepadaku itu membelikan sebuah vila di daerah perbukitan, yang jauh sekali dengan perairan lepas.

Tinggal berdua dengan Diluvian membuatku serasa seperti burung dalam sangkar, diperlakukan selayaknya ratu namun dijaga ketat agar tak berterbangan sembarangan di luar sana. Menurut cerita lelaki itu, aku kerap melarikan diri ke dermaga hanya untuk berteriak dan berjalan melawan ombak menuju ke tengah laut. Pernah sekali aku lepas dari penjagaan, yang membuat ayah dan Diluvian sangat marah. Berbeda dengan ayah yang meluapkan kekesalannya, Diluvian hanya mendiamiku, sebelum akhirnya memerlakukanku seperti biasa.

Kupikir, dia akan membenciku setelah itu, namun dia justru menjadi lebih protektif dari sebelumnya. Ia kerap menyalahkan dirinya atas segala ketidakstabilan mentalku, bahkan hampir membatalkan pertunangan karena merasa aku tertekan dengan hubungan kami berdua. Padahal sebenarnya tidak, aku bahkan sudah merelakan jika pertunangan tetap terjadi. Melihat bagaimana Diluvian berusaha keras untukku membuat ayahku luluh. Kepergian Alyasa pun menjadi salah satu alasan krusial mengapa ayahku tak bisa mencari pria lain, selain Diluvian.

Ngomong-ngomong soal Alyasa, dia tidak mati, tapi dia benar-benar menghilang dari mansion ini. Bahkan Ibunya—Rani, sama sekali tak mau berbicara tentang kemana perginya Alyasa. Mau mencari informasi kemanapun, semua berakhir nihil. Alyasa Angkasa benar-benar sudah tak diketahui keberadaannya, namun Rani selalu bilang bahwa Alyasa akan baik-baik saja dan memercayai keputusannya.

Memangnya wanita paruh baya itu tidak khawatir kalau semisal Alyasa kenapa-napa di negeri orang?

Aku tak habis pikir, tapi aku juga tidak bisa banyak berpikir. Semakin aku memikirkan tentang Alyasa, dadaku sesak. Jadi aku berusaha untuk tidak banyak memikirkan tentangnya dan memfokuskan diriku pada Diluvian.

Le Wiston The SeasWhere stories live. Discover now