Epilog - Kemala Sari

76 6 1
                                    

[ Kemala ]
Epilog

Orang bilang waktu akan menyembuhkan luka, tapi semua itu bohong

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Orang bilang waktu akan menyembuhkan luka, tapi semua itu bohong. Sudah bertahun-tahun sejak tragedi itu. Bertahun-tahun sejak aku kehilangan orang-orang yang begitu penting dalam hidupku. Namun rasa sakitnya masih sama parahnya. Enam tahun dan rasa sakitnya masih sama persis seolah itu baru terjadi kemarin. Mungkin itu tidak akan pernah sembuh, tidak akan pernah menjadi lebih baik. Aku hanya akan belajar untuk hidup dengan rasa sakit itu.

"Kamu baik-baik saja, Sayang?" Seseorang menepuk bahuku, aku menoleh secara spontan. Senyum tipis menggerakkan bibirku.

"Aku baik-baik saja," ucapku, karena bahkan jika itu menyakitkan aku tidak terluka. Aku masih hidup. Masih bertahan. 

Tragedi Le Wiston telah mengambil banyak korban, itu ada di setiap surat kabar. Di setiap siaran berita di televisi. Di internet. Hampir setiap orang tahu kisahnya, tahu bahwa hari ini adalah hari yang sama sejak kejadian tragis itu. Tepat enam tahun sejak aku kehilangan ayah dan ibuku. Kehilangan anak laki-laki yang mungkin akan menjadi cinta dalam hidupku. Sebagian dari kami yang selamat tidak pernah benar-benar pulih, kami telah mencoba tentu saja, tapi kehilangan seperti itu telah memotong sebagian dari jiwa kami.

Sejak aku berhasil mencapai daratan dengan sekoci penyelamat, aku telah mengalami banyak hal. Awalnya aku baik-baik saja. Aku melihat semuanya seolah itu mimpi. Kemudian ketika hari-hari berlalu aku mulai menyadarinya. Tidak ada Mama yang menyisir rambutku lagi. Tidak ada lagi bermain musik dengan Papa. Perlahan kenyataan itu menimpaku begitu keras, bahwa aku telah meninggalkan anak laki-laki di dasar samudera.

Aku masih baik-baik saja. Rasanya masih sakit juga tapi itu bukan berarti aku sekarat. Aku selamat. Hidup. Bernapas. Jadi aku menjalaninya. Untuk sementara waktu aku tinggal dengan Tuan Illya, bertemu beberapa kali dengan Mr. Miller, lakukan janji temu dengan dokter. Aku terus maju. Hidup tidak berhenti.

Kemudian aku mendapatkan beasiswa yang telah aku mimpikan sejak kecil. Aku bersekolah di sekolah asrama untuk menjadi komposer, mulai benar-benar menulis laguku sendiri, bangun musik yang memamerkan jiwaku telanjang untuk dunia. Aku telah menulis cukup banyak lagu tapi ada satu yang akhirnya membuatku mendapatkan beasiswa ini. 'Their Eternal Lament'  aku menulis liriknya tepat setahun setelah Le Wiston tenggelam di dasar lautan. Itu menceritakan tentang seorang gadis yang tetap bertahan saat semua dunianya karam. Saat dia belajar merangkak dari rasa sakit. Setiap lirik adalah pusaran emosi yang mengaduk jiwaku. Perasaan bersalah. Perasaan tidak berguna karena menjadi yang selamat. Hingga akhirnya penerimaan. Kepercayaan bahwa ada alasan kenapa aku masih hidup sementara mereka tidak.

"Ingin membicarakannya?"

Aku menggelengkan kepalaku, menggoyangkan sanggul longgar yang dijepit dengan hati-hati. Menatap bayanganku di cermin aku tidak lagi melihat diriku menjadi orang yang berdosa. Tidak lagi merasa bersalah karena aku hidup sementara mereka mati. Aku di sini. Hidup. Masih sakit, tapi tidak apa-apa. Remasan di bahuku memberitahuku bahwa dia mengerti.

Le Wiston The SeasWhere stories live. Discover now