1

189K 11.8K 1K
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

~

Maira termenung di kamar berukuran 2x3 meternya yang berantakan. Ucapan dokter sore tadi kembali berkelebat di pikiran, saat dokter bilang bahwa dirinya sedang mengandung dan usia kandungannya itu sudah menginjak tiga Minggu.

Bagaimana bisa? Itulah pertanyaan yang muncul dalam benaknya. Kenapa harus? Kenapa harus ada malaikat kecil yang tumbuh dalam rahimnya sementara dia masih sekolah dan usianya baru 16 tahun?

Apakah dia sudah siap menjadi seorang ibu? Tentu jawabannya adalah TIDAK. Namun, dia juga tidak mungkin membunuh bayi tak berdosa ini.

Sekarang, dia benar-benar bingung harus melakukan apa. Bagaimana caranya bicara pada lelaki itu? Bagiamana reaksi ayahnya nanti?

Humaira, nama gadis itu. Orang biasa memanggilnya Maira. Humaira, artinya yang berpipi merah. Memang betul lah, gadis itu memiliki pipi yang kemerahan meski tanpa riasan. Wajah cantik warisan almarhumah sang ibu membuatnya selalu ditatap penuh puja oleh banyak lelaki. Malangnya, karena dia bukan berasal dari kalangan atas, banyak orang yang selalu menganggapnya rendah, tidak terkecuali mantan kekasihnya itu.

Maira bodoh, benar-benar bodoh. Lebih bodohnya lagi, kenapa baru sekarang dia menyadari kebodohannya?

Harusnya, dia selalu mendengarkan larangan sang ayah agar tidak pacaran dan fokus saja sekolah. Harusnya, dia tidak semudah itu termakan bujuk rayu kakak kelas yang terkenal tampan dan populer di sekolahnya itu.

Seandainya dia tidak pacaran, pasti hari-harinya hanya akan disibukan dengan tugas sekolah dan berbincang hangat dengan sang ayah ketika sore hari. Seandainya dia tidak merahasiakan hubungannya pada sang ayah, pasti dia sudah putus dengan lelaki itu sebelum mereka melakukan hal itu. Semua ini pasti masih bisa dicegah andai dia tidak bertindak bodoh.

Maira mendongak, air mata yang lancang mengalir ditepisnya kasar. Sekarang lihatlah, dia sedang menangisi kebodohannya. Untuk apa coba? Penyesalan sungguh tidak berarti jika sudah begini.

Dia bimbang dan takut. Sungguh dia tidak menyangka jika malam di mana dia pergi diam-diam bersama kekasihnya ke kelab, diberi sebuah minuman hingga tidak sadarkan diri, lalu paginya bangun di sebuah hotel bersama sang kekasih, semua itu akan mengakibatkan dirinya hamil.

Setelah malam itu, semuanya memang berubah. Sikap kekasihnya berubah, dari yang dulu sangat manis menjadi selalu marah-marah, hingga akhirnya mereka putus. Maira senang ketika diputuskan, karena itu berarti dia tidak perlu berbohong lagi pada ayahnya. Namun apa, apa ini? Kenapa harus ada dia?

Di satu sisi Maira sedih dan takut karena hadirnya janin di rahimnya, tapi di sisi lain dia juga tidak mau janinnya itu kenapa-kenapa. Sudah banyak sekali dia melakukan dosa, dan dia tidak mau menambah dosa yang kelewat besar untuk kedua kalinya dengan membunuh janin suci ini.

Maira meraba perutnya yang masih rata dengan tangan bergetar, lalu tersenyum getir. Dia berhak untuk hidup, Maira janji akan selalu menjaganya sampai kapanpun.

Tok tok tok

Suara pintu terdengar diketuk, jam di dinding kamar sudah menunjukkan pukul 19:15. Maira tersenyum, itu pasti ayahnya, dengan cepat dia berlari untuk membukakan pintu. Namun, ketika sadar ada nyawa lain di rahimnya, dia pun memelankan jalannya karena tidak mau calon anaknya kenapa-kenapa.

Klek

"Assalamualaikum."

Pak Imran tersenyum hangat pada anak semata wayangnya. Maira membalas senyum itu dengan riang, kemudian tangan kekar ayahnya dicapai, hendak dicium.

"Waalaikumsalam Ayah," jawab Maira ketika sudah melepaskan tangan ayahnya.

"Ayah kok baru pulang?"

"Ayah lembur, biar gajinya lebih besar," kata Pak Imran sambil berjalan memasuki rumah.

Maira mengikuti setelah kembali mengunci pintu.

"Ayah, Maira gak suka kalo Ayah kecapekan, nanti sakit. Gak usah lembur lagi ya?" pinta Maira cemas dengan kondisi sang ayah karena akhir-akhir ini beliau sering sekali pulang malam.

Pak Imran memutar tubuhnya, kemudian tersenyum lagi sambil mengusap kepala Maira. Senyum itu, senyum yang tidak pernah luput dari wajahnya untuk Maira, meski dalam keadaan lelah atau sedih sekalipun.

"Sayang, kerja itu sudah kewajiban Ayah. Lagian, Ayah senang melakukannya. Kalo Ayah rajin kerja dan gajinya bertambah, itu kan buat kamu juga, biar kamu bisa lanjut sekolah setinggi-tingginya dan jadi PNS."

Itulah harapan besar Pak Imran. Seorang ayah yang pekerjaannya hanya sebagai tukang bangunan, sangat berharap anak satu-satunya itu kelak akan berhasil menjadi orang sukses dan membanggakannya. Namun, andai Pak Imran tahu jika harapannya sudah pupus, masihkah dia semangat bekerja? Masihkah dia menyayangi Maira?

Maira memandang ayahnya dengan mata berkaca-kaca. Sesak sungguh yang dia rasakan saat ini. Cepat atau lambat ayahnya akan mengetahui semua ini. Entah apa yang akan terjadi padanya nanti, Maira sudah pasrah.

Pak Imran mengerutkan keningnya ketika melihat Maira menangis.

"Loh, anak Ayah kenapa nangis?"

Dada Maira sangat sesak sampai dia kesulitan bicara, yang bisa dia lakukan saat ini hanya memeluk ayahnya erat-erat. Setelah ayahnya tahu dia hamil, dia tidak yakin masih bisa memeluk sang ayah seperti ini.

"Sayang, ada apa?"

Sayang? Maafkan Maira, karena anak kesayangan ayah ini sudah mengecewakan ayah. Maafkan Maira.

"Ma-maaf Ayah ...." ucap Maira disela isak tangisnya.

"Stttt ... kamu gak perlu minta maaf sama Ayah, Ayah baik-baik saja, Nak." ujar Pak Imran sambil mengusap kepala Maira dengan lembut.

"Maaf ...."

Hanya kata maaf lah yang bisa Maira ucapkan saat ini. Lidahnya kaku, dadanya dipenuhi rasa sesal.

...

Saya tidak yakin cerita ini akan dibaca manusia, tapi it's okay lah, sabar.

Ini bukan cerita +++, so jangan suudzon weh.

Di Usia 16(Terbit)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن