6

67.4K 7.5K 231
                                    

          Maira berjalan dengan lesu. Biasanya tiap pulang sekolah dia selalu bersama Binar, naik angkot bareng, tertawa membicarakan hal-hal tidak penting lalu berpisah di pertigaan. Sekarang, mereka masih saling diam.

Rasanya sangat tidak nyaman. Maira ingin persahabatan mereka seperti dulu. Andai dia tidak dibutakan oleh cinta pada lelaki berwajah bak pangeran tapi hatinya seumpama iblis itu, pasti sekarang dia masih bisa menjalani hidup normal seperti biasanya. Andai, andai, dan andai. Maira hanya bisa berandai setelah diterpa badai besar ini. Kenyataan tidak pernah seindah angan, kini Maira menyadari hal itu.

"Ayah!"

Wajah Maira berubah cerah ketika melihat sang ayah sedang bertengger di motor bebeknya, di depan gerbang sekolah.

Maira berjalan cepat menuju ayahnya. "Ayah!" teriak Maira sekali lagi.

Pak Imran menolehkan kepalanya, mencari sosok Maira di antara banyaknya anak-anak yang berhamburan keluar dari gerbang sekolah. Dilihatnya Maira sedang melambaikan tangan ke arahnya, Pak Imran tersenyum lebar, lalu ikut melambai-lambaikan tangannya dengan tinggi.

"Ayah, ayah tumben jemput Maira?" tanya Maira setelah mencium tangan ayahnya.

Maira menatap wajah hangat ayahnya, kemudian mengusap peluh yang mengalir di kening sang ayah dengan lembut.

Pak Imran kembali tersenyum, tangan Maira dielus pelan sambil diletakkan di pipinya. "Hari ini Ayah izin kerja setengah hari, jadi bisa jemput kamu." jelasnya.

Pak Imran jarang sekali libur. Sekarang, mumpung dia sudah gajihan kemarin dan uangnya ada lebih, dia berencana ingin mengajak anaknya jalan-jalan. Ke pasar, atau ke manapun Maira mau, yang penting Maira senang itulah tujuannya.

"Maira seneng banget dijemput Ayah."

Pak Imran mengusap lembut kepala Maira, kemudian memasangkan helm pada anak itu. "Hari ini Ayah mau lihat senyum kamu lebih lebar lagi, jadi kamu mau apapun, pasti Ayah belikan." kata Pak Imran sungguh-sungguh.

Mata Maira berbinar cerah. "Beneran?" tanyanya begitu antusias.

Pak Imran mengangguk. "Iya. Kamu mau ke mana, Nak? Ke pasar atau ke taman, atau ke Monas?"

Maira malah terkekeh. "Kalo mau ke mall gimana?"

"Yah, kalo ke mall Ayah takut uangnya gak cukup."

Maira memeluk ayahnya dengan erat, menghirup aroma keringat yang selalu membuatnya tenang.

"Bercanda kok Ayah, kita ke pasar aja ya?"

"Siap!" Pak Imran memberi hormat, lalu memasang helm, Maira kembali terkekeh.

Setelah motor dihidupkan, Maira naik dan kembali memeluk ayahnya. Motor pun melaju dengan kecepatan sedang diiringi candaan dan tawa riang Maira.

Tuhan ... jangan jauhkan aku dari Ayah, aku mohon ....

~

Setibanya di pasar, Pak Imran langsung menarik tangan Maira menuju toko baju. Kasihan Maira, sudah lama sekali dia tidak membeli baju baru, terakhir beli itu lebaran tahun lalu.

"Ayah, kenapa kita ke sini?"

"Pilih Nak, baju mana yang kamu mau."

Maira menggeleng. "Enggak. Maira gak butuh baju baru. Kalo Maira beli baju, nanti uang Ayah habis gimana? Kalo uangnya habis, nanti dari mana kita bisa beli beras, telur, tahu, tempe, sayuran? Listrik? Kalo listriknya dicabut gimana Ayah? Nanti gimana kita bisa masak air, mandi? Ya ampun Ayah!" Maira menepuk jidatnya dengan wajah gelisah. "Ya ampun, gak mungkin kan kita numpang mandi di rumah orang? Ayah kan tau kalo tetangga kita itu pada bawel, enggak-enggak! Gak usah beliin Maira baju ya? Kita makan nasi Padang aja gimana?"

Di Usia 16(Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang