41

44.9K 4.7K 15
                                    

Koridor ramai oleh para murid yang berlalu-lalang, karena bel istirahat sudah berbunyi tujuh menit lalu.

Maira berjalan bersama Anisa dan Sindi, posisinya ada di tengah-tengah. Dia merasa dilindungi. Dan memang seperti itulah faktanya, kedua temannya itu sangat khawatir pada Maira setelah kejadian di toilet pagi tadi, mereka takut Maira diapa-apakan lagi oleh Elina dan kedua sahabatnya.

Dari arah yang berlawanan, Abbas berjalan bersama kedua sahabatnya. Mereka terlihat sangat bahagia, terus tertawa, padahal topik obrolannya hanya seputar sepak bola.

"Bas, gebetan lo tuh," ucap Arqam tiba-tiba, ketika menyadari langkah Maira di depannya.

Abbas mengerutkan keningnya. Gebetan? Siapa? Rasanya Abbas tidak pernah merasa punya gebetan.

Fajar berdeham ketika langkah ketiga cewek itu kian mendekat. Oh ayolah, Fajar dan Arqam adalah dua sahabat baik Abbas. Mereka tentu tahu banyak hal tentang Abbas, termasuk kebiasaan aneh cowok itu setelah hadirnya Maira.

Biasanya, Abbas lebih sering didekati oleh cewek daripada mendekati duluan. Dan biasanya juga, Abbas berteman dengan setiap cewek dalam konteks yang normal saja. Memang, cowok itu sering bercanda dan tertawa dengan teman-teman ceweknya, tapi tidak sesering ketika bersama Maira. Dari tatapan Abbas saja, kedua sahabatnya itu sudah tahu bagaimana perasaan Abbas kepada Maira. Namun, menyebalkannya Abbas selalu menampik ketika ditanya apakah dia menyukai Maira atau tidak. Cowok itu selalu menjawab jika dirinya tidak memiliki perasaan apapun pada Maira selain berharap agar bisa menjadi temannya.

"Hai, Maira," sapa Abbas.

Fajar dan Arqam memutar bola matanya jengah. Lihatlah, bahkan meski Maira berjalan dengan kedua temannya, yang disapa cuma Maira. Sudah bisa disimpulkan bukan bagaimana perasaan Abbas?

Sindi, yang biasanya selalu mendadak kaku jika berhadapan dengan Abbas, kini berubah menjadi cuek. Cewek itu jadi kesal melihat wajah Abbas. Bagiamana bisa Abbas memasang wajah tidak bersalah begitu? Tidak tahukah dia apa yang sudah menimpa Maira pagi tadi?

"Kak, sebaiknya Kakak gak usah deh bersikap sok akrab lagi sama Maira." ucap Anisa dingin. Sindi menatapnya terharu, tidak menyangka jika sahabatnya punya pemikiran yang sama dengannya.

"Kenapa?" tanya Fajar, wajahnya begitu penasaran.

"Karena banyak yang gak suka kalo Kak Abbas deket sama Maira, apalagi mojang sok cantik itu." ujar Sindi, malas.

"Elina?" Arqam mencoba menebak.

Abbas memandang Maira, tapi Maira hanya menunduk sejak tadi. Belum sempat Abbas mengucapkan kata apapun, dengan cepat Sindi dan Anisa menarik tangan Maira, meninggalkan ketiga kakak kelasnya.

Abbas hanya menggelengkan kepalanya dan kembali melanjutkan langkahnya bersama Fajar dan Arqam menuju lapangan. Ya salam, kenapa berteman dengan Maira begitu sulit?

Sungguh Abbas tidak percaya, jika mencoba mengenal Maira bisa sesulit membiasakan diri bangun dini hari untuk salat tahajud. Ah! Untuk apa juga Abbas terlalu kepikiran, daripada memikirkan semua itu, lebih baik dia fokus latihan futsal karena tidak lama lagi tim futsal sekolahnya akan bertanding melawan tim dari sekolah lain. Abbas sudah kelas XII, ini kesempatan terakhirnya untuk membuat bangga nama sekolahnya.

~

Setelah dipikir-pikir, Maira merasa menyesal. Sepertinya sikap dia kepada Abbas sudah sangat keterlaluan.

Dilihat dari wajahnya, Abbas itu orang baik-baik. Sikapnya kepada Maira pun tidak pernah berlebihan, lalu kenapa Maira harus merasa begitu risi didekati Abbas? Padahal kan, Abbas tidak punya salah apapun padanya.

Menyoal Elina, Maira tidak peduli pada gadis itu. Dia sudah biasa mendapatkan hinaan, jadi hal seperti itu memang sudah sepantasnya menjadi makanan sehari-hari Maira.

Ketika berjalan menuju pulang, Maira tidak sengaja melihat Abbas di parkiran. Dia memperhatikan sekelilingnya, parkiran tidak begitu ramai. Hati Maira mulai gamang, bingung antara harus menghampiri cowok itu atau tidak. Namun, jika dia terus bersikap dingin pada Abbas, rasanya tidak enak juga.

Akhirnya, Maira memaksakan diri menghampiri Abbas.

"Abbas," panggil Maira, terdengar ragu.

Abbas menoleh, lalu tersenyum ketika melihat wajah Maira yang kini sudah ada di depannya. Helm yang semula akan dikenakan kembali dikaitkan pada setang.

"Maira," Abbas merasa takjub, baru kali ini Maira menyebut namanya.

"Apa wajah aku terlihat begitu menggemaskan, sampe kamu gak mau panggil aku Kakak?" tanya Abbas, masih sempat-sempatnya percaya diri.

"Aku ulang kelas satu tahun, jadi kayaknya kita seumuran. Makanya, aku gak mau panggil kamu Kakak."

Abbas tersenyum, ternyata itu alasannya, dia baru tahu.

"Kenapa? Kamu mau aku antar pulang?"

Dengan cepat Maira menggeleng.

"Aku cuma mau minta maaf untuk sikap nyebelin aku selama ini ke kamu," ucap Maira, tulus.

Abbas terkekeh mendengar penuturan polos Maira.

"Jadi udah ngerasa kalo selama ini nyebelin?"

"Kamu juga nyebelin."

"Oke oke, kalo gitu aku juga minta maaf."

Maira memandang Abbas, penuh tanya.

"Kenapa kamu selalu berusaha deketin aku?"

"Karena aku mau jadi teman kamu." jawab Abbas, tanpa pikir panjang. Memang itu yang dia mau, jadi itulah jawaban yang dia yakini.

"Kenapa kamu mau jadi teman aku?"

Sial. Kenapa untuk pertanyaan itu Abbas kesulitan menjawabnya?

Kalo kamu tahu siapa aku sebenarnya, aku yakin, kamu gak akan mau lagi jadi temanku, Bas.

"Aku cuma mau bilang, kalo aku bukan perempuan baik-baik. Jadi, sebelum nanti kamu nyesel karena udah terlalu jauh kenal aku, ada baiknya mulai sekarang kamu jauhin aku."

Abbas menggaruk tengkuknya, benar-benar tidak mengerti dengan ucapan Maira. Bukan perempuan baik-baik? Maksudnya apa coba? Ish! Kenapa sih cewek itu selalu sulit ditebak jalan pikirannya?

Setelah mengatakan kalimat itu, Maira buru-buru berlari meninggalkan Abbas. Dan Abbas masih bergeming dengan raut kebingungan. ~

Di Usia 16(Terbit)Where stories live. Discover now