16

66.7K 7.8K 153
                                    

"Dimakan ya, jangan malu-malu."

Maira hanya mengangguk dengan senyuman canggung, perlahan dia membuka mulut, memasukan sendok berisi nasi beserta lauknya lalu mengunyah pelan-pelan.

Maira sangat bersyukur, karena masih ada orang baik yang mau menolongnya. Bu Nur namanya, orangnya begitu ramah dan lembut. Setelah dibawa ke rumahnya, Maira disuruh mandi, kemudian diberi pakaian ganti miliknya. Dan sekarang, Maira dipaksa agar mau makan, sudah begitu hidangan di meja makan pun beraneka jenis dan begitu menggiurkan. Maira yang sejak semalam menahan lapar sangat senang melihatnya. Andai saja dia tidak merasa segan, pasti dia sudah makan cepat dan banyak seperti di rumah sendiri.

"Bu Nur, makasih banyak," ucap Maira. Entah sudah berapa kali Maira mengucapkan kata terima kasih sejak masuk ke mobilnya, Bu Nur hanya terkekeh.

"Humaira, panggil Ibu saja. Ibu lebih senang mendengarnya," kata Bu Nur sambil tersenyum lembut pada Maira.

Usia Bu Nur sudah 39 tahun, dan dia tidak bisa memiliki anak. Itu adalah fakta paling menyakitkan yang harus dia terima dengan lapang dada. Selama ini Bu Nur tinggal seorang diri, suaminya telah menceraikannya. Sejak itu, rumah luas berlantai dua ini selalu terasa tidak berarti bagi Bu Nur. Bu Nur sangat kesepian, oleh sebab itu dia lebih banyak menghabiskan waktu di rukonya.

"Ibu."

Sejak pertama kali melihat wajah Bu Nur, damai Maira rasakan di hatinya. Bu Nur orang baik, kebaikannya terpancar jelas dari raut wajahnya.

Bu Nur terharu, air mata menetes perlahan. Dia kembali tersenyum pada Maira.

"Maira, benar kamu gak punya keluarga di Bandung?" tanya Bu Nur, sekadar memastikan untuk kesekian kalinya.

Maira hanya mengangguk, mulutnya masih sibuk mengunyah. Di dalam mobil menuju ke sini, Maira sudah menjelaskan semuanya kepada Bu Nur, tentang kenapa dia bisa berada di kota ini.

"Kalo gitu Maira tinggal di rumah Ibu ya? Temani Ibu."

Bu Nur tidak mengerti, kenapa dia merasa begitu percaya pada Maira hingga ingin agar Maira tinggal di rumahnya. Sungguh, hatinya merasa begitu hangat setiap kali Maira memanggilnya 'Ibu'.

"Ib-ibu serius?"

Bu Nur mengangguk, piring berisi ayam goreng digeser ke hadapan Maira, agar Maira kembali menambah makannya.

"Serius dong. Memangnya kamu mau tinggal di mana kalo gak di sini? Kasihan Adek bayinya," Bu Nur mengusap perut Maira dengan lembut.

"Iya 'kan? Adek mau 'kan tinggal di sini cama Nenek?" tanya Bu Nur pada bayi yang masih ada di dalam perut Maira dengan nada yang dibuat-buat menirukan anak kecil, Maira terkekeh mendengarnya.

"Maira tidak mau menyusahkan Ibu. Maira takut suami Ibu-"

"Ibu sudah tidak punya siapa-siapa," potong Bu Nur, tatapannya berubah sendu.

Maira memandangnya dengan rasa bersalah bercampur ingin tahu. Seingatnya, tadi dia melihat bingkai besar foto pernikahan Bu Nur dan suaminya di dinding ruang utama. Apa dia sudah meninggal? batinnya.

"Maaf Bu."

Bu Nur menggeleng. "Ibu mandul Maira, tidak bisa memiliki keturunan. Lima tahun lalu suami Ibu menceraikan Ibu, karena dia ingin sekali punya anak. Dan sekarang, dia sudah hidup bahagia bersama keluarga kecilnya di Madiun," curhat Bu Nur, air matanya kembali menetes, tapi dia masih bisa tersenyum.

Bu Nur sudah rido, sebab dia percaya jika ini adalah takdir terbaik yang telah ditetapkan oleh Allah untuknya.

Maira mengusap air mata Bu Nur menggunakan ibu jarinya dengan lembut. Bu Nur tertawa bahagia mendapatkan perlakuan hangat itu. Digenggamnya tangan Maira penuh kehangatan.

"Maira cantik, mau kan mulai sekarang menjadi anak Ibu?"

Maira tertegun mendengarnya, tanpa sadar dia mengangguk menyetujui. Bu Nur memeluknya erat.

"Tapi ... apakah Ibu tidak malu punya anak seperti Maira?"

"Tidak, Nak. Kamu anak baik, Ibu percaya kamu anak baik," ucap Bu Nur sambil mengusap punggung Maira. "Terima kasih Ya Allah, sudah mempercayakan saya untuk memiliki dan menjaga seorang anak. Terima kasih ...." Bu Nur mengecup puncak kepala Maira penuh kasih.

Bohong jika Maira juga tidak merasakan kehangatan ketika dipeluk Bu Nur. Dia senang, sangat senang. Pelukan Bu Nur sama hangatnya seperti pelukan almarhumah sang ibu.

Bu Nur meleraikan pelukannya, lalu memandang Maira lembut.

"Setelah selesai makan, kita ke mall ya? Ibu mau beliin kamu pakaian," ajak Bu Nur, kemudian kembali mengusap perut besar Maira yang tertutup baju terusan. Maira merasa geli, tapi dia menyukai hal itu.

"Adek juga mau beli baju? Nanti Nenek belikan ya?"

"Tidak Nenek, Adek belum lahir," jawab Maira sambil terkekeh.

"Kamu sudah tahu jenis kelaminnya, Nak?"

Maira menggeleng. Sejak hamil hanya terhitung dua kali dia pernah ke rumah sakit. Pertama ketika tahu dirinya hamil, dan kedua ketika perutnya kram lalu bertemu bajingan itu. Ish! Maira sangat kesal jika mengingatnya.

"Kalo gitu kita juga ke rumah sakit ya?"

"Gak perlu, Bu. Kandungan Maira sehat-sehat saja kok."

"Memangnya kamu gak mau tau anak kamu laki-laki atau perempuan?"

Maira tersenyum lembut. "Laki-laki atau perempuan, bagi Maira keduanya sama-sama anugerah. Nanti kan kalo sudah lahir juga tau," ucapnya.

"Tapi Ibu penasaran Maira. Kalo tahu dari sekarang kan, kita jadi tahu harus beli baju seperti apa."

Maira malah terkekeh kecil, lalu menunduk mengusap perutnya. "Ibu, Baby bilang dia senang kalo Neneknya penasaran," ucap Maira beralasan. Jika anaknya sudah lahir, dia pasti akan mencebikkan bibirnya sebal karena dijadikan kambing hitam. Ah, Maira sangat tidak sabar menantikan kelahiran anaknya.

Bu Nur menggeleng, ikut terkekeh. Belum satu hari dia mengenal Maira, tapi dia sudah merasa begitu dekat dengannya. Alangkah senangnya dia memiliki anak yang baik dan ceria seperti Maira.

Di Usia 16(Terbit)Where stories live. Discover now