19

62.6K 7K 235
                                    

"Maira ... Maira ...."

Pak Imran terus memanggil-manggil nama Maira dalam tidurnya dengan suara lirih.

Sejak Maira pergi dari rumah, Pak Imran sudah mencoba mencari ke mana-mana. Namun sayang, usahanya sama sekali tidak membuahkan hasil.

Pak Imran begitu menderita, cahayanya, mataharinya, pelangi nya pergi meninggalkannya. Dia memang masih sangat kecewa pada Maira, tapi sungguh, rasa sayangnya tidak berkurang sedikitpun kepada anaknya itu.

Pak Imran merasa sungguh menyesal pada keputusannya yang ingin menitipkan Maira pada sang adik. Dia tidak memikirkan perasaan anaknya sendiri yang tentu saja sangat terluka mengetahui hal itu. Awalnya, dia berpikir jika Maira tinggal di Malang adalah jalan satu-satunya. Sebab, saat itu dia sangat putus asa. Pak Imran tidak tahu lagi harus melakukan cara apa agar Maira tidak diketahui tetangga. Perut Maira sudah besar, semakin dekat menuju persalinan. Anak itu akan lahir, Pak Imran bingung harus menyembunyikan anak itu di mana jika Maira melahirkan di sini.

Sejak kepergian Maira, Pak Imran merasa sudah tidak punya semangat hidup lagi. Dia sudah berhenti bekerja, karena alasannya untuk selalu semangat bekerja sudah tidak ada. Tidak ada lagi yang selalu menyapanya di pagi hari dan menyambutnya dengan hangat di malam hari ketika dia pulang kerja. Tidak ada lagi yang membuatkan makanan. Tidak ada lagi yang menghabiskan makanan. Tidak ada lagi tawa ceria.

Setiap hari yang bisa Pak Imran lakukan hanya merenung di dalam rumah sambil menatap pintu utama, berharap seseorang datang mengetuk pintu itu, lalu tersenyum seraya memeluknya dengan hangat.

"Ayah, Maira kangen."

Itu lah kata yang ingin sekali Pak Imran dengar. Dia berjanji, akan membalas pelukan hangat anaknya itu seraya berkata bahwa dia juga sangat kangen.

Jika Maira pulang, Pak Imran janji akan bersikap hangat seperti dulu. Pak Imran janji akan membelikannya banyak makanan, setiap malam dia janji akan membelikan Maira martabak cokelat, lalu mengusap mulut belepotan nya. Mereka akan berbincang hangat. Pak Imran juga janji akan lebih memperhatikan kesehatan Maira dan calon cucunya. Dia janji akan merawat dan menyayangi bayi itu jika sudah lahir. Dia tidak akan peduli lagi pada omongan tetangga, yang penting Maira ada bersamanya.

Pak Imran terbangun dari tidurnya dengan air mata mengalir.

"Maira, Ayah kangen ...."

Pria itu melangkah dengan lemah menuju lemari kayu, mengambil salah satu bajunya. Baju kemeja warna coklat yang dipilihkan Maira dulu, baju itu selalu dia kenakan dan dipeluk setiap kali sangat merindukan Maira.

"Maafkan Ayah, Sayang." Pak Imran memeluk baju itu sambil terisak.

"Maira pulang, Ayah rindu sekali pada kamu, Nak."

Sesal, itulah yang tergambar jelas dalam wajah Pak Imran. Setelah Maira pergi, baru dia merasakan sakitnya penyesalan.

Pak Imran kembali duduk di atas kasur, foto keluarga yang terpajang di atas meja dicapai nya. Sambil masih memeluk baju coklatnya, dia mengusap pelan foto itu.

Itu adalah foto yang diambil delapan tahun lalu, ketika Maira masih berusia delapan tahun. Maira tersenyum lebar dalam pangkuannya, sementara sang isteri bersandar di bahunya dengan memasang senyum lembut. Sejak dulu mereka memang sudah hidup pas-pasan, tapi mereka tidak pernah mengeluh. Istri Pak Imran selalu sabar dan bersyukur dalam keadaan apapun. Betapa Pak Imran juga sangat bersyukur karena memiliki isteri yang bukan hanya cantik parasnya, tapi juga cantik akhlaknya.

Pak Imran mengusap lembut wajah istrinya dibalik bingkai kaca itu.

"Maaf, aku sudah gagal menjadi seorang Ayah yang baik ...." ucapnya penuh penyesalan.

Setelah mengecup bingkai foto itu, Pak Imran menatap jam di dinding yang menunjukkan pukul 2 dini hari.

Selama ini, dia tidak pernah berani mencurahkan segala isi hatinya selain pada Tuhan. Jika saja dia sudah tidak memiliki iman, mungkin kini dia hanya tinggal nama.

Allah lah satu-satunya kekuatan yang dia punya saat ini. Allah selalu ada untuknya, Allah selalu mendengar setiap keluh kesahnya. Pak Imran yakin, jika dia mau bersabar dan menyerahkan semua masalah ini sepenuhnya pada Sang Pencipta, semuanya pasti akan dipermudah.

Pak Imran meletakkan bingkai foto dan baju itu di tempat semula, lalu melangkah menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu.

Maira, Ayah akan selalu mendoakan kamu. Semoga Allah mengampuni segala dosa kamu. Semoga kamu selalu berada dalam lindungan Allah. Dan semoga, Allah menghendaki agar kamu kembali pulang ke rumah. Ayah akan selalu menunggu kamu, Sayang.

~

Sejak kejadian di toko beberapa hari lalu, Maira tidak pernah lagi diperbolehkan untuk pergi ke sana. Bu Nur melarangnya karena takut Maira kembali sedih.

Apalagi setelah gosip itu menyebar luas. Hampir setiap hari Bu Nur mendengar omongan tidak baik dari sana-sini tentang Maira. Namun, sekuat hati dia mencoba sabar meski sudah gondok luar biasa. Jika dia melayani omongan mereka, mereka akan semakin suka. Itulah alasan kenapa Bu Nur tidak melawan.

Setiap pagi Bu Nur selalu mengajak Maira olahraga di sekitar perumahannya. Lalu pergi ke pasar, memasak bersama, dan bercerita sana-sini hingga lupa waktu. Tidak jarang Bu Nur tidak pergi ke toko karena menemani Maira, dia serahkan semua pekerjaan kepada dua pekerjanya, karena mereka sudah sangat Bu Nur percayai. Dua pekerjanya adalah perantau dari luar kota, dan mereka selama ini tinggal di ruko lantai atas dengan fasilitas yang sudah dijamin oleh Bu Nur.

Karena kebaikan Bu Nur itulah, keduanya jadi begitu patuh dan bekerja dengan baik.

Sekarang, jika Bu Nur pergi ke toko, dia tidak pernah berlama-lama di sana. Tengah hari sudah kembali ke rumah, karena tidak mau Maira merasa kesepian. Semakin hari Bu Nur semakin menyayangi Maira layaknya anak sendiri, takut sekali dia kehilangan Maira.

"Geulis juga buat apa kalo gak bisa jaga diri."

(Cantik)

Seorang ibu yang sedang berkumpul bersama ibu-ibu lainnya mengelilingi gerobak sayur mulai mengalihkan topik obrolan ketika melihat Bu Nur dan Maira yang baru saja pulang sehabis olahraga, berjalan menuju mereka. Maira bilang ingin beli sayuran di tukang sayur gerobak saja, karena dia sudah lapar ingin segera masak lalu makan. Jadilah Bu Nur setuju untuk beli sayur di sana, sejujurnya dia malas sekali karena ada banyak ibu-ibu menyebalkan.

"Bu Iceu teh kumaha atuh? Memang banyaknya kan perempuan cantik ya nakal," ujar Bu Nani yang juga turut ada di sana, nadanya sengaja ditinggikan agar Bu Nur dan Maira mendengar dengan jelas.

(Bu Iceu gimana sih)

Ibu-ibu yang lainnya menanggapi dengan tawa.

"Ah, siga lagu Doel Sumbang nya? Kumaha tea lirikna teh?" Ibu bertubuh kurus mencoba mengingat salah satu lagu yang sering dinyanyikan suaminya.

(Seperti lagunya Doel Sumbang? Gimana liriknya)

"Naha nu geulis sok loba nu bangor?" Bu Nani menyanyikan lagu itu dengan suara tidak enak didengar.

(Kenapa yang cantik banyak yang nakal)

Mereka kembali tertawa, sesekali melirik Bu Nur dan Maira dengan ekspresi tidak suka.

"Sigana mah ngarasa asa aing hade rupa ... gunta-ganti Jalu tunggungna jadi cilaka ...." Ibu bertubuh kurus yang sudah berhasil mengingat lagu itu ikut menyambung nyanyian Bu Nani.

(Kayaknya merasa diri paling menarik, ganti-ganti lelaki ujungnya jadi celaka)

Tawa terus menggema. Kembang-kempis dada Bu Nur mendengar semua ini.

"Mai, kita beli sayurnya ke pasar aja ya?" tanya Bu Nur sambil mengusap pelan bahu Maira.

Maira diam saja memandang ibu-ibu itu dengan wajah lara. Dia tidak mengerti sepenuhnya dengan obrolan ibu-ibu itu, tapi dia tahu jika mereka pasti sedang menyindirnya. Itulah kenapa, hatinya terasa sangat sakit di hari yang masih sepagi ini.

Bu Nur menggenggam tangan Maira, lalu menuntun Maira agar segera meninggalkan tempat itu.

Di Usia 16(Terbit)Where stories live. Discover now