3

78.1K 8.6K 434
                                    

"Benarkah Kakak cinta sama aku?" tanya Maira dengan ekspresi tidak percaya sekaligus bahagia.

Anfal mengangguk, senyuman manis terus mengembang dari bibir merah mudanya. Detik berikutnya Maira pun ikut tersenyum, bahkan senyumnya amat lebar, terlihat jelas jika gadis berambut panjang itu hatinya sedang berbunga-bunga.

Bagaimana tidak berbunga? Ini Anfal loh, kakak kelasnya yang sudah dia kagumi sejak awal masuk SMA. Namun, selama ini dia hanya bisa memendam perasaannya itu karena sadar akan derajatnya. Apa yang Maira dengar beberapa menit lalu tidak salah kan? Anfal bilang mencintainya? Ini mimpi kah? Tidak. Ini bukan mimpi, ini kenyataan. Karena sudah beberapa kali Maira mencubit lengannya sendiri, dan rasanya sakit.

"Lalu bagaimana perasaan kamu?" tanya Anfal.

Maira tidak mampu berkata-kata, hanya mengangguk dengan senyuman cerah lah jawabannya.

"Berarti ... sekarang kita resmi berpacaran?"

Sekujur tubuh Maira membeku saat Anfal menanyakan hal itu dengan suara yang begitu lembut di telinga. Jantungnya berpacu sepuluh kali lipat lebih cepat. Selama beberapa detik, dia lupa bagaimana caranya bernapas dengan normal. Ah, Maira meleleh dibuatnya.

"Gimana kalo ayah tau? Ayah bilang aku gak boleh pacaran, tapi aku suka sama Kak Anfal." batin Maira.

Maira melihat sekeliling. Beruntungnya murid lain sedang sibuk dengan obrolan masing-masing, ditambah Anfal juga memilih meja kantin yang berada di barisan paling pojok, jadi sepertinya tidak ada yang terlalu memperhatikan obrolannya dengan Anfal.

"Maaf Kak, tapi ayah gak bolehin aku pacaran." ucap Maira kemudian, setelah tersadar dari lamunannya.

Lagi, Anfal tersenyum lembut hingga mampu menyihir Maira. Iman Maira mulai goyah, dia tidak bisa katakan tidak jika Anfal sudah menatapnya sedemikian lembut seperti ini. Lelaki itu memiliki rahang yang kokoh, hidung mancung yang seimbang, pupil mata se-hitam tinta dengan tatapan tajam yang selalu berhasil mencairkan hati banyak gadis, juga bulu mata panjang dan alis tebal. Selain itu, tubuhnya pun tinggi dan gagah, jago di banyak bidang akademik pula. Maira tidak bisa menampik jika alasan pertama kenapa dia menyukai Anfal adalah; karena Anfal tampan.

"Gak usah bilang sama ayah, hubungan kita cukup jadi rahasia berdua aja." ucap Anfal lembut dan meyakinkan.

Maira gamang.

"Aku tau, udah lama kan kamu suka sama aku? Kalo kamu gak mau jadi pacar ku, apa kamu rela jika aku berpacaran dengan gadis lain?"

Maira menggeleng cepat. Tentu saja dia tidak rela!

"Tapi ... kenapa Kakak cinta sama aku? Aku kan cuma orang miskin."

"Itu bukan masalah, Mai."

Maira memandang wajah Anfal dalam-dalam, mencari sebuah ketulusan dari mata indah itu. Kemudian dia kembali mengulum senyum.

"Ya, aku mau jadi pacar Kakak."

Kertas yang telah dicoret-coret ditarik dari buku, lalu diremas dengan kuat dan dilemparkan tepat memasuki tong sampah di ujung kamar.

"Bodoh!" umpat Anfal dengan mata memerah, rambutnya dijambak karena frustrasi.

Kenapa kenangan itu harus kembali muncul dalam pikirannya? Come on, itu kenangan buruk yang tidak seharusnya diingat lagi! Sungguh Anfal benar-benar tidak habis pikir, kenapa coba cewek bodoh itu harus hamil? Dan kenapa dia tidak mau menggugurkan kandungannya? Memang dasar cewek gila!

Maira sudah tahu jika Anfal tidak akan mungkin mau bertanggung jawab, lalu kenapa dia tetap bersikeras untuk mempertahankan kandungannya itu? Apa dia tidak takut pada masa depannya yang sudah dipastikan akan hancur jika dia tidak mau menggugurkan kandungannya? Lalu, benarkah dia rela membesarkan anak itu tanpa hadirnya seorang 'ayah' untuk anaknya kelak?

Anfal menggeleng sambil memejamkan mata, berusaha menyingkirkan bayangan Maira dari pikirannya.

"Bajingan!"

Sial! Umpatan penuh kebencian itu kembali terngiang. Harusnya, Anfal bisa bersikap biasa saja kan? Secara, Maira juga tidak berani menuntut apa-apa darinya. Iya, Anfal harus bisa bersikap sewajarnya. Perempuan itu harus segera disingkirkan dalam pikirannya.

Klek

Pintu kamar terbuka perlahan, kemudian muncul seorang pria paruh baya berkemeja hitam dengan celana formal. Penampilan pria itu terlihat rapi, ditambah kacamata D frame yang bertengger di hidung mancungnya, membuatnya kian berwibawa.

Anfal menoleh pada pria yang tidak lain adalah ayahnya itu. Sang ayah melangkah mendekati, lalu berdiri di sampingnya.

"Banyak tugas ya? Sampai kamar kamu berantakan begini?" tanya Pak Ilyas sambil berdecak pelan ketika memperhatikan kamar anaknya yang kacau balau. Buku-buku, tas, hingga sepatu berserakan di lantai. Begitupun dengan peralatan lain di meja belajar yang juga berserakan seperti sengaja dibuat begitu. Pak Ilyas memijit pelipisnya, tiba-tiba merasa pusing melihat semua ini.

Anfal hanya mengangguk, lalu tersenyum tanpa dosa.

"Gak apa, nanti Papa suruh Bi Asti buat beresin. Kamu fokus saja belajar. Ingat, kamu sudah kelas dua belas, Papa mau kamu bisa belajar lebih rajin lagi." kata Pak Ilyas terdengar tegas, dan Anfal hanya bisa kembali mengangguk.

"Setelah lulus, kamu harus bisa kuliah di universitas negeri. Kamu tahu, jika Papa sudah lama mengharapkan hal itu. Kamu anak kami satu-satunya, Papa sama Mama cuma bisa berharap sama kamu," jeda tiga detik. "Anfal, kamulah penerus bisnis Papa, jangan pernah kecewakan kami." lanjut Pak Ilyas sambil menepuk pelan bahu Anfal, kemudian melangkah meninggalkan kamar karena tidak mau mengganggu Anfal yang menurutnya sedang belajar.

Anfal mendongak, napas dihembuskan kasar. Menjadi anak tunggal dari keluarga kaya raya bukanlah hal mudah. Jujur, Anfal muak ditimpa beban seberat ini. Jika mengikuti kata hati, Anfal tidak pernah tertarik untuk terjun ke dunia bisnis seperti ayahnya. Namun, dia tidak punya pilihan lain karena hanya dia harapan kedua orang tuanya. Anfal tidak ingin memberontak, sebab dia sangat menyayangi mereka berdua, apalagi sang ibu.

Lalu, bagaimana jika kedua orang tuanya tahu kalau dia sudah menghamili anak orang? Bisa dipastikan Anfal akan ditendang dari rumah dan tidak akan mendapatkan harta warisan barang satu persen pun. Tidak! Anfal tidak mau hal itu terjadi. Hidup begini jauh lebih menyenangkan daripada harus hidup susah bersama Maira, belum lagi jika anak itu lahir, membayangkannya saja sudah membuat Anfal ngeri. Dia masih sangat muda, banyak cita-cita yang harus diraih, menjadi ayah di usia 17 tahun sama sekali bukan harapannya.

Anfal yakin, semua yang sudah dia lakukan pada Maira tidak akan pernah membuatnya menyesal di kemudian hari. Anfal tidak boleh memikirkan perempuan itu lagi. Dia hanya perlu fokus belajar agar bisa meraih cita-citanya. Setelah dia sukses, dia bisa menikah dengan perempuan cantik yang setara dengannya kelak, lalu hidup dengan bahagia tanpa bayang-bayang Maira dan anaknya. Oh tidak, itu hanya anak Maira, bukan anaknya. Maira sendiri kan yang bilang kalau janin yang ada dalam kandungannya itu tidak membutuhkan seorang ayah?

Maira bodoh, pergilah dari kehidupan gue!

Di Usia 16(Terbit)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu