44

43.3K 4.6K 61
                                    

Dari pukul 11 malam Anfal sudah kembali ke Bandung. Namun, hingga Senin pagi ini, belum juga dia lihat batang hidung sepupunya. Bahkan ketika Anfal mencoba membangunkan Abbas untuk salat subuh, cowok itu tidak mau membuka pintu kamarnya. Dia hanya berteriak kalau dirinya sedang kurang enak badan, jadi ingin salat di rumah saja.

Anfal duduk di beranda rumah dengan almamater biru tua yang masih berada dalam pelukannya. Cowok itu termenung memikirkan sikap Abbas. Kenapa sebenarnya? Apakah Abbas sedang ada masalah?

"Hoi," sapa Abbas.

Anfal tersentak, lamunannya langsung buyar setelah pundaknya ditepuk oleh Abbas. Abbas ikut duduk di samping Anfal, Anfal tersenyum senang.

"Katanya gak enak badan, kok mau berangkat sekolah?" tanya Anfal ketika memperhatikan penampilan Abbas yang sudah rapi dengan seragam putih abu-abunya, hanya rambutnya saja yang kelihatan agak berantakan.

Abbas hanya tersenyum tipis. Sejujurnya fisiknya baik-baik saja. Namun entah kenapa, sejak tahu jika Maira adalah kekasih Anfal, dia merasa seolah tidak semangat melakukan apapun dan hatinya terasa hampa. Sumpah, bukannya Abbas cemburu atau apa. Dia hanya tidak habis pikir, kenapa pacar Anfal harus Maira? Dan kenapa coba Anfal tidak pernah menceritakan hal ini pada Abbas?

"Sekarang gue tau, kenapa lo selalu kelihatan tenang meski dibombardir tumpukan kerjaan dan tugas."

Anfal mengerutkan keningnya tidak mengerti. Apa demam Abbas amat parah, sampai bicara ngaco begini?

"Kenapa?"

"Karena lo punya penyemangat."

"Siapa?" tanya Anfal, benar-benar bingung.

"Crush lo, lah."

Crush? Anfal terdiam, mencoba memahami maksud dari ucapan Abbas. Astaga! Jangan-jangan Abbas membuka file rahasianya. Sialan, kenapa coba dia tidak izin dulu pada Anfal?

"Lo buka-buka komputer gue?"

"Cuma mau nge-game kok, eh gak sengaja liat nama file itu, yaudah gue buka," jelas Abbas, tidak merasa bersalah sama sekali.

"Curang lo, giliran soal cewek gak pernah mau cerita sama gue."

Anfal menghembuskan napas berat. Buat apa juga dia ceritakan Maira pada Abbas? Tidak mungkin kan Abbas mengenal Maira? Dan lagipula, Maira kan bukan lagi kekasih Anfal. Lalu kenapa Anfal masih menyimpan foto-foto Maira? Ya karena dia memang tidak pernah bisa melupakan cewek itu. Setiap kali dia ingin menghapus foto-foto itu, selalu berujung gagal, dengan alasan yang dia sendiri tidak bisa memahaminya. Entahlah, hatinya selalu merasa berat untuk melupakan semua kenangan manis bersama Maira.

"Dia udah bukan siapa-siapa gue lagi," kata Anfal dengan wajah lesu.

"Maksud lo?" tanya Abbas, begitu penasaran.

"Kita udah putus."

Anfal bangkit, seolah tidak ingin membahas hal itu. Dadanya selalu nyeri tiap kali mengingat kesalahannya di masa lalu. Dia sadar, dirinya yang berbuat salah saja sulit untuk melupakannya. Apalagi Maira, yang menjadi korbannya.

Anfal ingin sekali bertemu lagi dengan Maira dan anaknya, tapi karena kesibukannya, membuat ia sulit membagi waktu untuk mencari mereka. Anfal yakin Maira tinggal di kota ini, dan Anfal yakin dia pasti bisa bertemu lagi dengan Maira.

Abbas mengukir senyum setelah mendengar jika Maira bukan lagi kekasih Anfal. Hatinya kembali terasa lega, saking senangnya dia sampai tidak sadar jika Anfal sudah beranjak pergi.

~

Abbas tidak mengerti, tidak pernah bisa mengerti dengan sikap Maira, atau sikap semua perempuan di dunia. Apa karena mereka yang terlalu sulit diterka, atau Abbas yang tidak peka? Entahlah.

Pasalnya, bukan hanya sikap Maira yang membingungkan. Sikap kedua teman Maira pun begitu, mereka selalu saja berusaha menghindari Maira darinya. Apa Abbas sudah membuat salah pada Maira? Tidak tahu juga.

Sayangnya, Abbas bukan seseorang yang mudah menyerah. Dia akan terus berusaha selama sesuatu yang dia inginkan itu belum tercapai. Dia ingin berteman dengan Maira, itulah pencapaian yang belum terealisasi hingga hari ini.

"Arqam, lo percaya gak kalo cewek tuh susah ditebak?"

Arqam yang tengah sibuk memakan bakso hingga mulutnya penuh hanya bisa mengangguk-angguk, karena kesulitan bicara.

Abbas mendelik tidak habis pikir. Ini sahabatnya sedang lomba makan atau apa? Kenapa cepat sekali? Padahal bel masuk juga masih lama.

"Lo makan gak bisa pelan-pelan apa? Ke-selek tau rasa."

"Takut diembat sama lo kayaknya," ujar Fajar, yang baru datang lalu ikut duduk di samping Abbas. Tiga botol air mineral kemudian diletakkan di atas meja.

"Jijik." gumam Abbas.

Ketika Arqam masih sibuk dengan makanannya, tiba-tiba saja dia tersendat dengan mata melebar ketika melihat seorang perempuan menghampiri meja mereka. Abbas dan Fajar yang belum menyadari kedatangan perempuan itu malah tertawa melihat wajah tersiksa Arqam.

Arqam segera mengambil minum, menenggaknya hingga tersisa setengah. Setelah merasa lebih baik, dia menggoyang-goyangkan lengan Abbas, membuat Abbas mengerutkan alisnya penuh tanya.

"Liat tuh siapa yang datang."

"Hai," sapa Maira, membuat ketiga cowok itu membeku seketika.

"Aku mau bicara sama Abbas, boleh?"

Seolah bisu, kedua sahabat Abbas hanya memberikan anggukan sebagai jawaban. Di tengah kebingungannya, Abbas tetap bangkit dari duduknya, dan berjalan mengikuti langkah Maira.

Maira terus saja berjalan, dia sama sekali tidak menghiraukan orang-orang yang menatapnya penuh rasa ingin tahu, bahkan ada yang berbisik-bisik. Maira tidak peduli dengan semua itu, dia hanya ingin permasalahan ini segera usai.

Setibanya di balkon sekolah yang cukup sepi, Maira akhirnya menghentikan langkahnya. Dia membalikkan badan, lalu memandang wajah Abbas yang kini sudah berdiri di hadapannya.

"Abbas, serius kamu mau berteman dengan aku?" tanya Maira to the poin.

"Iya, Mai. Apa sekarang kamu sudah mau jadi temanku?" balas Abbas dengan jantung berdebar hebat. Sumpah, dia tidak mengerti dengan perasaannya yang merasa sangat senang bisa berdiri di depan Maira dengan jarak sedekat ini. Bahkan Abbas tidak bisa menampik jika dia begitu suka melihat iris cokelat yang dinaungi bulu mata lentik alami itu.

Mata indah itu tidak pernah berubah sejak pertama kali Abbas melihatnya. Jernih dan lugu berkombinasi, seperti tidak pernah disentuh dosa.

Maira malah tersenyum kecil, membuat hati Abbas kian meleleh. "Aku mau kasih tau kamu satu hal, bisa enggak kamu anterin aku pulang hari ini?" tanyanya.

Pertanyaan Maira membuat Abbas menganga takjub, lalu tersenyum lebar. Tentu saja dia bisa! Setiap hari pun dia bisa jika Maira yang memintanya.

"Tentu, Mai."

"Oke. Pulang nanti aku tunggu di parkiran."

Maira pergi begitu saja setelah mengatakan hal itu. Berbagai macam pikiran mulai memenuhi kepala Abbas. Kira-kira, kenapa ya Maira mau diantar pulang olehnya?

Di Usia 16(Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang