27

58.5K 6.2K 82
                                    

Lima menit lalu bel istirahat berbunyi, dan saat itu Maira langsung dikerumuni seperti semut oleh teman sekelasnya, sampai Anisa susah payah menahan mereka yang hampir menindih tubuhnya.

Mereka memperkenalkan diri pada Maira, Maira hanya membalas sekenanya. Dan sekarang, suasana kelas sudah agak sepi. Mereka telah berlari menuju kantin karena tidak mau berdesakan membeli makan. Kini, hanya tersisa tiga orang di kelas; Maira, Anisa, dan Sindi yang masih teman sekelasnya juga.

"Kamu kenapa pindah ke Bandung? Orang tua kamu pindah kerja? Atau, alasan lain?" tanya Sindi bertubi-tubi, gadis berponi dengan tubuh mungil itu mengingatkan Maira pada Binar, sahabatnya dulu. Bawel dan pipinya tembam, Maira jadi rindu pada Binar.

"Sindi, kenapa sih dari tadi banyak banget nanya?" decak Anisa sedikit kesal. Sudah tahu Maira ini masih tahap beradaptasi, eh malah dilempari banyak pertanyaan, dilihat dari wajahnya saja, Anisa bisa menyimpulkan jika Maira merasa tidak nyaman dengan pertanyaan Sindi.

"Biarin aja kali, namanya kan juga perkenalan, biar makin akrab, iya kan Mai?" ujar Sindi lalu menaik-turunkan alisnya memandang Maira, Maira hanya tersenyum kecil.

Gadis itu menilik tiap inci wajah Maira. Benar-benar Maira ini, kenapa makin lama dipandang tidak membosankan? Malah makin membuat orang melongo.

"Emang bener, wajah kamu mulus banget Mai, putih asli. Pipi kamu agak merah, lucu." Dengan tanpa permisi gadis itu mengusap pipi Maira.

Anisa kembali berdecak, lalu menepis tangan Sindi.

"Sin, tangan kamu kotor juga! Keluar yuk, bosen nih," ajaknya sambil menggaruk rambutnya yang tidak gatal.

Sindi mendengus, menatap sahabatnya dengan pandangan sinis.

"Bukan bosen, tapi lapar," cibirnya, membuat Anisa menyeringai.

"Kamu gak lapar Mai?" tanya Anisa kemudian.

"Enggak." jawab Maira seadanya.

"Alah, bilang aja kamu malu kan pergi ke kantinnya?" tebak Sindi sok tahu.

Maira menggeleng, dia memang tidak lapar. Malah, sekarang dia hanya ingin duduk diam sendirian di dalam kelas karena sejak tadi payudaranya terasa sakit, dan perasaan sudah tidak karuan.

Biasanya jam segini Haidar udah minum ASI tiga kali. Duh, aku nyetok cuma satu botol lagi, cukup gak ya?

Hae, Mama kangen.

"Yaudah, gimana kalo aku beliin kalian makanan, dan kalian tunggu di depan lapangan futsal, nanti kita makannya di sana," usul Anisa.

Sindi langsung mengangguk menyetujui. "Ide bagus tuh! Aku nitip susu kotak rasa stroberi sama somay ya? Mai, kamu mau apa?" tanya Sindi pada Maira.

Lagi, Maira menggeleng.

Anisa berdecak. "Aku beliin kamu sama kayak Sindi aja ya, Mai?"

"Gak usah repot-repot, Nis."

"Gak repot kok, pokoknya kamu harus pesan makan. Nanti kamu sakit gimana hayo?"

"Ya udah deh, air mineral aja."

"Serius? Somay enak loh, cilok juga, atau bakso?" tawar Sindi, Maira menggeleng.

Menyerah, akhirnya Anisa berlari meninggalkan kelas. Ketika bayangan Anisa sudah menghilang, Sindi menarik tangan Maira agar ikut dengannya ke depan lapangan futsal.

"Sin, aku tunggu di sini aja deh," Maira berusaha melepaskan genggaman Sindi.

Sindi tidak menggubris, dia terus menarik tangan Maira melewati koridor sekolah hingga turun ke lantai bawah.

"Maira, rugi kalo kamu gak liat kakak kelas yang lagi latihan futsal di lapangan. Mereka ganteng-ganteng Mai, apalagi yang namanya Ibnu Abbas, juara satu jajaka di seolah kita tahun ini. Kasep, kapten futsal, wakil ketua OSIS dan pinter. Orangnya juga ramah banget, cair deh hati kamu liat dia," Sindi terus mengoceh sendiri.

Maira tidak menghiraukan, dia hanya bisa pasrah karena lengannya tidak kunjung dilepaskan.

Sindi menghentikan langkahnya ketika tiba di depan Mading, gadis itu menarik Maira agar memperhatikan Mading di depannya.

"Lihat Mai, tuh, nama Kak Abbas selalu memenuhi Mading sekolah," jelas Sindi begitu antusias, tangan Maira akhirnya dilepaskan, kini dia sudah menunjuk sebuah foto lelaki yang merupakan kakak kelasnya itu mengenakan pakaian khas daerah Jawa Barat tengah berdiri dengan senyuman menawan, di sampingnya ada seorang perempuan berkebaya putih anggun dengan rambut disanggul yang juga senyum ke arah kamera. Di bahu dua orang itu tersampir shawl juara. Keduanya adalah kebanggaan sekolah, nama mereka pun sangat dikenal oleh para murid.

"Nah, yang ini namanya Kak Elina, mojang sekolah ini. Aku yakin sih Mai, kalo aja kamu masuk dari kelas satu, pasti yang jadi mojang kamu, walaupun beda satu tahun."

Hah, kenapa harus aku? tanya Maira dalam hati. Kenapa pula namanya di bawa-bawa, apa hubungannya?

"Menurutku, kamu jauh lebih cantik dari Kak Elina, cocok kalo pasangan sama Kak Abbas," kata Sindi lalu nyengir.

"Kayaknya mata kamu kemasukan debu, Sin." ucap Maira, dan kembali melanjutkan langkahnya entah ke mana, dia terus saja melangkah.

Sindi mengejarnya sambil memanyunkan bibir. Maira ini tidak punya cermin di rumah kah? Apa dia tidak sadar memiliki paras yang begitu ayu? Yang membuat kaum adam menjerit-jerit, dan kaum hawa cemburu.

"Kamu gak ngerasa cantik apa, Mai?" tanya Sindi setelah berhasil mensejajarkan langkahnya kembali dengan Maira.

Maira mengangkat bahu, yang dia tahu tentang dirinya hanyalah perempuan penuh dosa, tidak ada kecantikan sama sekali.

"Menurut aku, perempuan yang kamu bilang Kak Elina itu, cantik. Dia jadi juara pasti bukan hanya karena kecantikannya, tapi karena otaknya yang cemerlang, atau sikapnya yang baik mungkin," ujar Maira.

"Ya, kamu benar. Otak dia memang cemerlang, tapi dia sombong," sinis Sindi, mendadak panas hatinya jika mengingat sosok Elina. Parasnya memang cantik, tapi buat apa jika sombong?

Maira tidak ada bicara lagi, malas lah jika harus membicarakan orang. Dia duduk di bangku semen depan kelas, dan Sindi pun ikut duduk di sampingnya. Pandangan Maira lurus pada lapangan futsal di depan sana, tapi dia bukan fokus pada para pemain di lapangan, melainkan terheran melihat para siswi yang mengerubungi sisi lapangan itu sambil meneriaki nama Abbas. Sepopuler itukah?

"Itu Mai, yang namanya Kak Abbas. Kasep kan?" jari telunjuk Sindi tepat mengarah pada lelaki bertubuh jenjang yang kini tengah menggiring bola dengan lihai.

Maira melihatnya samar-samar, karena terhalang siswi lain. Akhirnya dia menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Sindi.

Sindi memicingkan matanya tajam. "Sekarang kayaknya mata kamu yang kemasukan debu, masa jajaka seganteng itu dibilang gak ganteng? Atau karena kamu udah punya pacar?" tanyanya mencoba menebak.

Maaf, perasaan Maira tidak pernah mengatakan jika lelaki bernama Ibnu Abbas itu tidak genteng, dia hanya menggeleng karena tidak jelas melihat wajahnya. Dan lagi, Maira menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan terakhir Sindi, semoga saja ini memang yang terakhir, karena Maira sedang malas bicara.

Baru saja Sindi membuka mulut, hendak kembali bersuara, mendadak tubuhnya membeku ketika sebuah bola menggelinding di bawah kaki mereka. Lelaki berseragam futsal yang sejak tadi menjadi bahan perbincangan itu keluar dari lapangan, lalu berkacak pinggang dengan napas menderu, memandang ke arah Maira dan Sindi.

Sindi sudah menahan napas dengan mulut yang masih terbuka, wajahnya terlihat shock, dan Maira menatapnya datar saja.

"Sorry, bisa tolong lempar bolanya ke sini?" teriak Abbas pada Maira dan Sindi.

Sindi masih membeku, salah tingkah dipandang Abbas, apalagi saat menyadari mereka sudah jadi pusat perhatian.

Maira? Dia masih diam, sama sekali tidak ada niat untuk membantu melemparkan bola itu ke lapangan. Hei, apa susahnya cowok itu mengambilnya sendiri? Bola ini juga datang ke sini karena tendangannya kan? Malas sekali jika Maira mengambilkan bola itu.


To be continue~

Di Usia 16(Terbit)Onde histórias criam vida. Descubra agora