32

50.7K 6.1K 180
                                    

Sore hari di taman balai kota, terlihat ada banyak pengunjung yang datang. Dari yang masih kanak-kanak, para remaja, sampai lansia.

Taman seluas 13.800 meter persegi ini memiliki beberapa bagian. Di antaranya; area taman Merpati, taman Badak, taman Dewi Sartika, hingga taman Vanda.

Bu Nur mengajak Maira ke taman merpati yang ditumbuhi tanaman landep dengan rumput hijau asri, karena Bu Nur sangat sering mengunjungi tempat itu. Maira oke-oke saja selama Bu Nur senang, sementara Pak Adi memilih menunggu di mobil, katanya mengantuk.

Ketika tiba di sana, mereka duduk di sebuah bangku panjang berwarna cokelat, tepat di bawah pohon besar yang rindang, angin sepoi-sepoi menjadikan tempat itu kian nyaman disinggahi. Maira menghirup dalam-dalam udara segar di sana sambil tersenyum senang.

"Ibu, Maira seneng banget bisa ke sini," kata Maira, tersenyum memandang orang-orang yang berlalu lalang.

Jangankan Maira, Bu Nur pun sangat senang. Maira begitu bahagia diajak main, padahal hanya ke taman. Bagaimana jika ke pantai atau pegunungan? Ah, Bu Nur jadi mulai merencanakan agenda liburan ke luar kota jika Haidar sudah besar nanti.

"Hae, cepat besar Sayang, nanti kita pergi liburan ke pantai," bisik Bu Nur pada Haidar.

Maira terkekeh geli melihat percakapan Bu Nur yang hanya dibalas wajah lugu Haidar.

"Ibu haus gak? Maira beliin minum ya?" tanya Maira, merasa iba melihat bibir Bu Nur yang terlihat kering.

"Enggak kok, Ibu gak haus."

Namun sayangnya Maira tidak percaya, dia tetap ingin membelikan Bu Nur minum.

"Tapi Maira haus, Ibu tunggu di sini ya, Maira beli minum dulu," alibi Maira.

Bu Nur hanya menggelengkan kepalanya tidak habis pikir. Karena Haidar ada dalam pangkuan Bu Nur, maka secepat mungkin Maira pergi meninggalkan tempat itu agar tidak di halangi lagi. Maira yakin, Bu Nur itu haus, dia bilang begitu hanya karena tidak mau menyusahkan Maira.

Dari area yang tidak jauh dari Bu Nur berada, terlihat ada dua cowok tengah berjalan di antara lalu lalang pengunjung taman. Seorang cowok dengan gaya casual, mengenakan t-shirt panjang berwarna grey serta kacamata hitam terkait pada kerah bajunya, berjalan dengan langkah teratur, fokus membidik kameranya. Sementara temannya yang berbalut jaket jeans, terus mengoceh dengan raut kesal, ingin segera pulang.

"Udah, Fal. Memori kamera lo udah penuh tuh, kebanyakan motret dari pagi," keluh Adji.

Ya, dua orang itu adalah Anfal dan Adji. Sebenarnya niat awal setelah pulang dari kampus, mereka akan langsung kembali ke Jakarta. Namun, saat melewati taman ini, entah kenapa tanpa berpikir panjang Anfal malah mampir ke sini.

Anfal berhasil lulus dengan nilai yang memuaskan dan tentu saja membanggakan kedua orang tuanya. Ada banyak universitas negeri yang menjadi pilihan, baik di Jakarta, luar kota, hingga luar negeri. Namun, Anfal memilih melanjutkan pendidikannya di kota Bandung, dan dia sendiri pun tidak tahu pasti apa alasan yang kuat untuk hal itu. Satu hal yang pasti; dia hanya mengikuti kata hatinya. Dan beruntung, kedua orang tuanya setuju dengan pilihan Anfal, karena sang ibu lahir dan punya keluarga di sini.

"Fal, udah sore, jalanan pasti bakal macet parah! Pokoknya gue mau pulang!"

Adji semakin kesal, menyesal setengah mati karena mau ikut Anfal ke Bandung. Bukan Anfal yang mengajak, tapi dia yang memaksa ingin ikut. Dia pikir Anfal hanya akan ke kampusnya untuk melengkapi berkas pendaftaran, setelah itu pulang. Namun dugaannya salah besar, ternyata cowok itu malah mengunjungi taman ini, hanya untuk mengambil objek yang sekiranya menarik. Sungguh membosankan.

"Fal, besok gue harus ke kampus juga. Lo enak, udah keterima di PTN, lah gue? Gagal PTN, masuk PTS pun baru tes besok," kata Adji dengan wajah yang terlihat sangat melas.

Sayangnya, Anfal sama sekali tidak menggubris. Malah, mata tajam cowok itu kini berbinar ketika melihat seorang ibu yang tengah memangku bayinya. Objek yang menarik, dia harus mengabadikan hal ini. Dengan langkah cepat Anfal menghampiri wanita berhijab putih itu, yang tidak lain adalah Bu Nur.

Anfal tertegun selama beberapa detik ketika melihat wajah bayi mungil dalam pangkuan itu, dan selama beberapa detik juga dia lupa caranya mengedipkan mata saat bayi berpipi tembam itu tersenyum ke arahnya. Entah kenapa, hati Anfal terasa menghangat dengan degup jantung yang berirama cepat. Perasaan apa ini?

"Kenapa, Dek?" tanya Bu Nur, mendongakkan kepalanya menatap Anfal dan Adji secara bergantian.

Adji sudah menepuk-nepuk bahu Anfal karena Anfal diam saja, untuk kesekian kalinya Adji menepuk dengan cukup keras, akhirnya Anfal tersentak.

"Lo kenapa sih?" bisik Adji, lalu tersenyum tidak enak pada Bu Nur.

"Bu, saya boleh foto bayi Ibu?" tanya Anfal tanpa menghiraukan pertanyaan Adji.

Bu Nur diam sejenak, memperhatikan wajah Anfal lamat-lamat. Wajah itu terlihat lugu, manis, dan tampan secara bersamaan. Tidak ada raut jahat sedikitpun. Akhirnya Bu Nur mengangguk dengan senyuman ramah.

"Silahkan, Dek." katanya, mempersilahkan Anfal untuk memotret wajah Haidar.

Anfal tersenyum senang. Tanpa membuang waktu, dia segera mengarahkan lensa kameranya pada wajah menggemaskan itu. Haidar sama sekali tidak merasa terganggu dengan aktivitas Anfal, malah bayi itu terus tersenyum bahkan sesekali tertawa ke arah kamera, membuat Anfal tidak ingin berhenti menekan tombol kameranya untuk terus mengambil gambar bayi lucu itu. Sesekali dia juga izin mengambil gambar Bu Nur, dan Bu Nur tidak keberatan. Ketika bayi itu tertawa, Anfal pun ikut terkekeh. Wajah bayi itu sangat menggemaskan, membuat Anfal tidak tahan ingin terus memotret dengan sesekali mencubit pelan pipi tembam nya. Seandainya saja dia tidak merasa segan pada ibu si bayi, sudah dia cium bayi itu saking gemasnya.

Adji yang hanya menjadi pemerhati, dibuat heran luar biasa. Sudah lama dia bersahabat dengan Anfal, jelas dia tahu banyak tentang cowok itu. Termasuk bagaimana tidak sukanya Anfal pada anak kecil, tapi apa yang Adji lihat sore ini lain. Anfal kenapa sebenarnya? Tidak mungkin kan dia kerasukan jin penunggu pohon besar di atasnya?

Adji mendongak menatap pohon besar itu, lalu bergidik ngeri. Tidak mungkin! Pohon itu tidak mungkin punya penunggu.

"Haidar!"

Teriakkan histeris Maira membuat para pengunjung lain langsung memperhatikannya penuh tanya, termasuk Anfal. Maira menjatuhkan dua botol air mineral yang baru dibelinya begitu saja, lalu berlari mengambil Haidar.

"Mai—" Bu Nur terdiam kaku ketika Maira mengambil Haidar dalam pangkuannya, dan berlari tanpa mengatakan apa-apa.

Maira kenapa? Tanya Bu Nur dalam hati.

Anfal tertegun, berusaha meyakinkan dirinya jika gadis yang baru dia lihat tadi bukan Maira, tapi keyakinannya itu malah kian melemah karena hatinya berbisik kalau cewek yang masih mengenakan seragam SMA itu memang benar-benar Maira.

Tidak. Anfal tidak boleh membiarkan Maira pergi lagi. Ada banyak pertanyaan yang masih belum terjawab. Anfal masih punya urusan dengan Maira. Akhirnya, dia pun berlari berusaha mengejar langkah Maira.

Kepergian Anfal membuat Bu Nur kian bingung. Dia tentu cemas, tapi dia tidak tahu harus berbuat apa. Siapa lelaki itu? Kenapa Maira begitu ketakutan ketika melihatnya? Dan tanpa menunggu jawaban Maira pun, Bu Nur bisa tahu siapa dia sebenarnya.

"Anfal! Tungguin gue!" Adji berteriak mengejar Anfal dengan wajah penuh kebingungan.

Di Usia 16(Terbit)Where stories live. Discover now