45

45.4K 5.1K 32
                                    

"Berhenti di depan," perintah Maira ketika motor Abbas hampir tiba di ruko Bu Nur.

Sudah menjadi kebiasaan Maira yang setiap pulang sekolah akan langsung ke ruko, karena Bu Nur dan Haidar selalu di sana.

Abbas pun menghentikan motornya di depan ruko itu. Hatinya masih menghangat, mengingat perjalan menuju ruko ini. Meski jauh, tapi tidak terasa melelahkan karena di belakangnya ada Maira. Padahal, sepanjang perjalanan Maira tidak banyak bicara, hanya berucap sekenanya saja. Namun, hal itu sudah lebih dari cukup untuk Abbas. Mengingat hal itu, membuat Abbas tidak bisa untuk berhenti tersenyum.

Maira turun dari motor, lalu membuka helm dan memberikannya pada Abbas. Helm berwarna biru itu mendadak dibeli Abbas di jalan tadi, hanya untuk dikenakan Maira agar aman di perjalanan.

"Ayo ikut aku," ajak Maira.

Abbas tersenyum, dan berjalan memasuki ruko itu setelah turun dari motor dan membuka helmnya.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." jawab Bu Nur yang tengah menggendong Haidar.

Maira mencium tangan Bu Nur, lalu mencium pipi Haidar.

Bu Nur memandang wajah cowok yang ada di belakang Maira. Wajah cowok itu seperti tidak asing, ah iya! Bu Nur pernah melihatnya di depan sekolah waktu ikut menjemput Maira dulu. Wah, inikah alasan Maira tidak mau dijemput Pak Adi?

"Ibu, kenalin, ini kakak kelas Maira."

Abbas maju satu langkah, lalu tersenyum dan menyalami tangan Bu Nur dengan sopan.

"Hai, Bu. Saya Abbas, teman barunya Maira."

"Teman baru? Maira bilang kakak kelasnya." ucap Bu Nur sambil menahan senyum.

"Iya. Kakak kelas yang sudah jadi temannya," jelas Abbas.

Bu Nur tersenyum memandang wajah pemuda itu. Aura Abbas terlihat sangat hangat dan menyenangkan, sama sekali tidak kaku padahal baru pertama kali bertemu dengan Bu Nur. Hal itu membuat Bu Nur kagum dengan sikapnya padahal baru kenal, dia berpikir, sepertinya Maira sangat cocok dengan Abbas.

"Ibu, Maira mau gendong Hae." pinta Maira.

Bu Nur segera memindahkan Haidar pada Maira.

"Eum, Abbas mau minum apa? Ibu ambilkan yah?"

"Oh, gak usah Bu. Abbas bentar lagi pulang kok." Itu Maira yang menjawab.

Abbas memandang Maira dengan mencebikkan bibirnya. Maira jahat sekali, apa dia baru saja mengusirnya secara tidak langsung? Hei Maira, perjalanan pulang dari sini ke rumah Abbas itu jauh loh. Kalo Abbas langsung pulang, dia tidak yakin tangannya akan baik-baik saja besok karena terlalu lama nyetir. Bu Nur hanya menggeleng dengan senyum yang masih mengembang. Wanita itu lalu mengambilkan Abbas sebotol air mineral dingin.

"Abbas minum dulu, dari sekolah ke sini 'kan jauh, pasti capek."

Bu Nur menyodorkan botol itu, dan Abbas tersenyum menerimanya.

"Terima kasih Bu." kata Abbas, kemudian kembali menatap Maira sinis. "Tuh Mai, Ibu kamu aja ngertiin aku." lanjutnya.

"Bu Nur bukan Ibu aku."

Perkataan Maira sontak membuat Bu Nur dan Abbas membeku mendengarnya.

"Mai—"

"Bu Nur adalah malaikat penolongku." tekan Maira.

Maira memotong ucapan Bu Nur. Melihat wajah datar Maira, Bu Nur sudah tahu apa yang akan Maira katakan selanjutnya. Tidak! Maira tidak boleh mengatakan semuanya pada teman sekolahnya. Bukankah dia sendiri yang takut akan hal itu?

Abbas malah terkekeh mendengar ucapan Maira. Ibu memang malaikat untuk anaknya 'kan?

Setelah meminum air yang diberikan Bu Nur hingga sisa seperempat, Abbas kemudian mendekati Haidar, dan mengajak bayi itu bicara sambil sesekali mencolek pipi tembam nya.

Dipandangnya wajah bayi itu lekat-lekat. Betapa menggemaskannya adik Maira ini, masih bayi saja sudah sangat tampan. Namun, Abbas merasa seolah pernah melihat wajahnya. Di mana ya?

"Mai, adik kamu lucu banget." ucap Abbas begitu gemas. Dia terus saja mencoba membuat bayi itu tersenyum dengan memamerkan berbagai ekspresi konyol. Kadang menjulingkan mata, menutup wajah lalu membukanya lagi, dan memajukan bibir menyerupai bebek, hingga akhirnya Haidar pun tergelak bahkan tangan mungilnya terangkat berusaha meraih wajah Abbas.

"Ini anak—"

"Mai!"

Maira mengusap tangan Bu Nur, berharap Bu Nur tidak memotong pembicaraannya.

"Ini anakku."

Abbas kembali terkekeh. Pemuda itu menegakkan tubuhnya, dan kini perhatiannya dia alihkan pada Maira.

"Kamu lagi coba bercanda? Hahahaha! Lucu banget, Mai." Abbas tertawa, berusaha menghargai lelucon Maira.

"Aku serius. Ini anakku, Bas."

Abbas menggeleng, masih tidak percaya dengan kata-kata Maira. Sumpah, lelucon Maira lucu sekali.

"Aku berhenti sekolah di Jakarta karena hamil di luar nikah. Aku pergi dari rumah, lalu Bu Nur menolong aku. Aku bukan gadis pendiam dan polos seperti apa yang dikatakan murid lain. Aku udah gak perawan, aku udah punya anak, aku pend—"

"Mai, cukup!" pinta Bu Nur.

"Abbas, jangan percaya, apa yang Maira katakan itu bohong." Bu Nur mencoba meyakinkan Abbas.

Abbas membeku buat seketika, mencoba mencerna ucapan Maira dan Bu Nur. Maksudnya apa sih? Jadi siapa yang sedang bercanda sekarang?

"Biarlah, Bu. Biar Abbas atau semua orang tau siapa aku." ucap Maira, masih terlihat begitu tenang.

Ini memang rencananya sejak beberapa hari lalu. Dia tidak tahan lagi dengan semua ini. Dia tidak mau Abbas terus mencoba mendekatinya sementara cowok itu tidak tahu siapa Maira sebenarnya. Maira tidak pantas berteman dengan Abbas, cowok itu terlalu baik.

Abbas masih mematung. Dan sekarang pikiran cowok itu mulai berkelana. Bayi ini, ya dia ingat wajah bayi ini. Abbas teringat foto yang Anfal cium waktu itu sampai dia menangis. Sampai foto itu selalu ada dalam dompetnya. Jadi anak ini... Tidak! Jika dia anak Anfal, lalu kenapa Anfal tidak menikahi Maira? Lalu kenapa Maira harus pergi dari rumah? Lalu kenapa Anfal bisa mendapatkan foto itu? Apakah mereka sudah bertemu kembali?

"Enggak mungkin," gumam Abbas sambil menggeleng tidak percaya.

Abbas berjalan mundur meninggalkan Maira sambil terus menggelengkan kepalanya. Dan tanpa berpamitan pada Bu Nur, Abbas segera menghidupkan motornya lalu melesat meninggalkan kawasan itu.

Maira hanya tersenyum kecil. Sudah dia duga hal ini akan terjadi. Abbas pasti sudah sangat membencinya, dan Maira yakin, cowok itu pasti tidak akan mau berteman atau bahkan memandang wajahnya lagi. Maira tidak menyesal, dia merasa apa yang telah dia katakan pada Abbas hari ini bukanlah sebuah kesalahan.

Di Usia 16(Terbit)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt