21

61.8K 6.7K 51
                                    

"Pak Imran ke mana, Pa?" tanya Anfal kepada ayahnya.

Sudah lama sekali dia tidak menyambangi hotel yang belum rampung ini, yang kelak akan dikelola olehnya. Maklum, akhir-akhir ini dia begitu sibuk dengan berbagai tugas sekolah dan les privat. Apalagi Ujian Nasional kian dekat, tiada hari yang dia lewatkan tanpa belajar. Bahkan ketika bangun tidur saja, yang pertama dia cari adalah buku pelajaran, saking takutnya mendapatkan nilai tidak memuaskan.

Pak Ilyas menghembuskan napas berat. "Berhenti, dua bulan lalu," jawabnya.

"Serius?" tanya Anfal setengah tidak percaya.

Kenapa berhenti? Bukankah seharusnya Pak Imran saat ini sangat membutuhkan uang? Jika mengingat tidak lama lagi Maira akan melahirkan. Maira masih tinggal bersamanya kan? tanya Anfal dalam hati.

"Iya." singkat saja Pak Ilyas menjawab.

"Kenapa Pa? Hotel ini kan belum rampung seratus persen, masih banyak yang harus dikerjakan."

Pak Ilyas hanya mengangkat bahu. Dia pun tidak tahu alasan Pak Imran berhenti, dia hanya diberi tahu oleh mandor bangunan ini.

"Papa gak tahu. Mungkin saja dia sudah mendapatkan pekerjaan baru."

"Enggak mungkin." Anfal menampik ucapan ayahnya.

Pak Ilyas menatap anaknya dengan dahi berkerut. "Tumben sekali kamu tanya-tanya tentang pekerja di sini? Biasanya juga gak pernah peduli," sindir Pak Ilyas. Pasalnya, dia tahu sekali sikap anaknya. Anfal itu sangat cuek, baik kepada keluarga apalagi orang asing.

Anfal mengalihkan pandangannya ke bawah, di mana dari bangunan atas ini dia bisa melihat kolam renang yang telah rampung, hanya saja belum diisi air. Bangunan ini sudah selesai 80 persen, sepertinya memang akan beres sesuai dengan target Pak Ilyas. Anfal tidak risau akan hal itu, karena dia sudah banyak diberi ilmu berbisnis oleh ayahnya.

"Aku mau pulang, setengah jam lagi ada les." Anfal mencoba cover line.

Cowok itu menyalami tangan sang ayah, lalu pergi meninggalkannya. Meski cuek begitu, Anfal tetap selalu bersikap sopan kepada orang tua.

Ketahuilah; ketika Anfal mengancam Maira dulu, saat dia bilang akan membunuh ayah Maira, semua itu hanya kebohongan semata. Anfal tidak akan mungkin melakukannya, karena dia tahu Maira hanya punya sang ayah. Ketika itu dia kalut, makanya bicara seperti itu.

Sedikit demi sedikit, penyesalan itu mulai merayap dalam hatinya. Kenapa Anfal begitu jahat sampai tega menyuruh Maira untuk menggugurkan kandungannya? Bahkan, malah dia yang menampar cewek itu. Anfal yakin, Maira pasti sudah sangat membencinya. Bukan hanya benci, mungkin cewek itu juga akan takut jika bertemu dengannya.

Apakah jika mereka kembali dipertemukan, Anfal akan meminta maaf? Entahlah, Anfal merasa gamang.

~

Maira berjalan pelan menaiki anak tangga, tangan kanannya berpegangan pada besi pembatas, tangan kirinya digunakan untuk menyangga pinggangnya. Perut yang semakin besar membuatnya sulit beraktivitas. Berjalan sebentar pun dia sudah ngos-ngosan. Menurut perhitungan dokter, Maira akan melahirkan satu Minggu lagi.

"Eh, kamu mau ke mana, Nak?" tanya Bu Nur yang keluar dari kamarnya, tadinya hendak turun untuk melihat Maira apa sudah tidur atau belum. Namun karena Maira malah menuju kamarnya, dengan segera dia memapah Maira.

"Maira gak bisa tidur, mau tidur di kamar Ibu. Boleh kan?"

Bu Nur tersenyum, lalu mengangguk pelan. "Boleh dong," ucapnya dan membawa Maira masuk ke kamarnya.

Bu Nur menyusun bantal untuk Maira bersandar agar tidak pegal, baru memerintahkan Maira untuk naik ke kasurnya.

Setelah menemukan posisi yang nyaman, Maira tersenyum pada Bu Nur yang sudah duduk di sampingnya.

"Nak, kayaknya baby udah gak sabar pengen cepat keluar. Nendang-nendang terus nih," ucap Bu Nur begitu antusias ketika mengusap perut Maira dan merasakan tendangan-tendangan yang cukup keras di dalam sana.

Maira hanya terkekeh. Jangankan baby, dia juga tidak sabar ingin segera mengeluarkannya. Karena Maira sudah benar-benar tidak nyaman dengan keadaan perut besar, kaki bengkak, dan pinggang pegal. Apakah ini yang ibunya alami dulu ketika mengandung Maira?

Ibu, maafkan Maira. Karena Maira malah membalas perjuangan Ibu dengan kekecewaan.

Maira memandang jam di atas drawer, sudah pukul sebelas malam. Bu Nur belum mengantuk kah?

"Ibu belum ngantuk?"

"Ibu juga gak bisa tidur, tadinya mau ke kamar kamu, eh malah kamu ke atas," jawabnya sambil terkekeh.

"Biasanya, Ibu bakal langsung tidur setelah dengar Maira cerita 'kan? Kalo gitu Maira mulai cerita yah?" tanya Maira yang sudah hafal kebiasaan Bu Nur.

Bu Nur hanya mengangguk dengan senyuman yang terus mengembang, lalu membaringkan tubuhnya di samping Maira. Maira mulai bercerita. Cerita apa saja, dari mulai masa kecil, sampai merembet ke mana-mana. Bu Nur menjadi pendengar yang baik, hanya diam mendengarkan lalu tertawa ketika menurutnya ada yang lucu. Sampai akhirnya, dia mulai memejamkan mata dan tertidur dengan lelap.

Maira tersenyum ketika melihat wajah teduh Bu Nur yang begitu tenang dalam tidurnya. Dia mencoba untuk tertidur juga, tapi sayangnya tidak bisa.

Maira merasa perutnya tidak nyaman. Dia bulak balik ke kamar mandi, tapi rasa mulasnya tidak kunjung hilang. Malah, makin ke sini makin terasa sakit. Apa dia akan segera melahirkan?

Maira menggeleng. Dokter bilang kan seminggu lagi, mana mungkin hari ini? Maira yakin, ini hanya keram biasa. Dia menghiraukan rasa tidak nyaman itu dengan mencoba tertidur. Dan sialnya, rasa mulas itu malah kian mengganggu sampai membuatnya tidak bisa tertidur hingga azan subuh berkumandang.

Di Usia 16(Terbit)Where stories live. Discover now