38

44.9K 5K 163
                                    

"Bas, malam ini Anfal tidur di kamar kamu. Kamar belakang belum dibersihkan dan direnovasi," kata Kakek Ahmad. "Siapa suruh pulang terlambat," sindirnya kemudian.

"Kenapa gak di kamar Abah aja?"

Pertanyaan Abbas dibalas tatapan tajam oleh kakeknya. Segera Abbas menyeringai tanpa dosa.

"Hehehehe, nanya doang Bah, bercanda."

Anfal hanya menggelengkan kepalanya. Sepupunya ini dari dulu tidak pernah berubah, selalu paling bisa mencairkan suasana.

"Ya sudah, cepat mandi, badan kamu sudah bau keringat." perintah Kakek Ahmad sambil melenggang memasuki rumah begitu saja.

Abbas melotot tidak terima, lalu mencium aroma tubuhnya. Tidak bau, malah aroma parfumnya masih menyeruak. Jahat kakeknya ini, masa badan Abbas yang wangi ini dibilang bau!

Abbas melirik Anfal yang terkekeh di sampingnya. "Gak usah ketawa, gue gak bau ya." sinis nya, lalu melangkah menuju kamarnya.

Anfal pun mengikuti langkahnya. Ketika langkah cowok itu tiba di ambang pintu, teriakkan Abbas menggelegar memenuhi seisi rumah.

"Jangan lupa kunci pintunya!"

Anfal menurut, dia mengunci pintu depan, dan melanjutkan langkahnya memasuki kamar Abbas.

"Apa ini?" tanya Abbas sambil mengangkat sebuah paper bag yang tergeletak di atas meja belajarnya.

"Buat lo," balas Anfal, lalu duduk di kasur Abbas.

Penasaran, Abbas membuka paper bag itu, lalu mengambil isinya. Tiga t-shirt berwarna hitam, putih dan bermotif horizontal. Abbas menatap wajah Anfal dengan mengecilkan matanya. Ternyata dari dulu cowok itu tetap sama, setiap membelikan Abbas sesuatu pasti yang sesuai dengan warna kesukaannya sendiri. Kenapa Anfal ini suka sekali warna hitam dan putih, apa hidupnya se-tidak berwarna itu? Di tatap begitu, Anfal hanya tersenyum kecil.

Abbas kembali mengalihkan pandangannya pada tiga t-shirt itu, matanya membulat ketika melihat bandrol harga yang masih terpasang pada ketiganya. Satu baju harganya lebih dari 500 ribu, jika ditotal jadi 1,5 juta lebih? Gila! Abbas merinding sendiri melihatnya.

"Nih baju bisa bayar SPP satu semester," gumam Abbas.

"Emang lo udah gak dapet beasiswa?" tanya Anfal. Setahunya Abbas itu berprestasi dan dapat beasiswa full di sekolah, jadi mana mungkin dia memikirkan SPP.

"Masih kok, perumpamaan aja. Lo ngapain sih beliin gue baju semahal ini?"

"Itu udah yang paling murah, kok." ujar Anfal begitu ringan. Dia tidak berbohong, dia tahu jika Abbas tidak suka barang mewah, makanya ketika membelikan baju untuk Abbas, dia selalu mencari baju yang paling murah. Murah versinya itu, mahal bagi Abbas.

Abbas menghela napas, memasukkan kembali ketiga t-shirt itu ke dalam paper bag.

"Fal, gue masih heran, kok lo mau sih tinggal di sini? Bukannya, dulu lo itu gak pernah nyaman ya kalo ada di sini?" tanya Abbas to the poin sambil menyangga kedua tangannya pada meja.

"Gue mau berubah, Bas."

Jujur, Abbas belum bisa mempercayai semua ini.

"Enggak semudah itu, Fal. Ingat, di rumah ini gak ada pembantu, jadi kalo lo butuh apa-apa, cari sendiri. Dan ingat, jangan pernah nyusahin Abah."

Anfal hanya mengangguk memahami. Dia sudah memikirkan ini dari jauh-jauh hari, dan dia merasa jika ini bukan pilihan yang buruk. Anfal harus belajar hidup susah, agar jika sudah menikah dengan Maira nanti, dia tidak terlalu kaget. Ya walau mungkin, hidupnya dengan Maira akan lebih susah dari ini.

Di Usia 16(Terbit)Where stories live. Discover now