12

65.7K 8.1K 333
                                    

Gadis itu tidak bisa menyembunyikan rona merah di pipinya ketika sang kekasih terus saja menggodanya.

"Jangan nunduk terus, aku kan mau liat wajah pacarku," goda Anfal.

"Malu, Kak."

Anfal terkekeh geli. Sikap Maira tidak pernah berubah sejak dari pertama kali mereka saling menyapa, selalu malu-malu. Anfal menyodorkan sebuah cokelat yang dihiasi pita berwarna merah muda pada Maira, semakin bersemu lah Maira dibuatnya.

"Manis, kayak kamu."

Perlahan, Maira menatap wajah Anfal, lalu tersenyum.

"Kakak juga manis," balas Maira menerima cokelat itu terus membuka bungkusannya.

"Kayak apa?"

"Kayak pita ini," jawab Maira terkekeh geli sambil menempelkan pita merah muda itu pada pipi Anfal.

Anfal mengerucutkan bibir kemerahannya, terlihat begitu menggemaskan di mata Maira.

"Kakak marah?" tanya Maira cemas ketika melihat raut sebal Anfal, dengan cepat dia melepaskan pita itu.

"Maaf."

Anfal terkekeh hangat. "Ini yang aku suka dari kamu, sudah cantik, gak gengsian lagi." pujinya.

"Jangan puji aku."

"Kenapa? Itu bukan pujian Mai, itu fakta. Kamu gampang banget bilang makasih atau maaf, dan aku suka."

Memilih tidak menghiraukan, Maira memakan cokelatnya sambil memandang ke samping. Dia lapar, dan Anfal memang selalu tahu jika dirinya suka makan. Hal itu membuat Maira semakin bangga memiliki kekasih sepertinya.

"Makasih Kak buat cokelatnya."

"Tuh kan, apa aku bilang." Anfal kembali terkekeh.

"Kakak ih," Maira memanyunkan bibirnya kesal.

Anfal menatap Maira lekat, lalu merapihkan anak rambut gadis itu. Sekujur tubuh Maira menegang, dia menahan napas selama beberapa detik. Jantungnya bekerja jauh lebih cepat dari biasanya.

"Humaira, pipi yang kemerah-merahan. Tanpa riasan apapun kamu udah lebih dari cantik."

Demi Tuhan, Maira tidak bisa menjabarkan perasaannya saat ini. Dia senang, benar-benar senang. Cowok itu mendekatkan wajahnya di telinga Maira, hingga membuat Maira merinding merasakan helaan napas hangatnya yang begitu dekat.

"I love you." bisik nya lembut.

"Sial!"

Anfal mengehentikan motornya di bahu jalan. Bisa-bisanya dia melamun di tengah perjalanan!

Cowok itu membuka helmnya, kemudian mendengus kesal. Angin malam yang dingin terasa tajam menusuk kulit putihnya meski terlindung jaket jeans hitam.

Anfal tidak mengerti, tidak pernah bisa mengerti. Mengapa bisa, sudah lima bulan lebih dia tidak bertemu dengan Maira, tapi kenangan tentangnya masih sering berkelebat.

Anfal tidak mencintai Maira, dia yakin itu. Dia punya banyak mantan, tapi kenapa hanya Maira yang sulit dilupakan? Apa karena hanya Maira satu-satunya perempuan yang sudah dia tiduri? Ya, dia memang hanya melakukan itu dengan Maira. Karena entah kenapa, sejak pertama kali melihat kecantikan Maira, Anfal terkecoh hingga hampir kehilangan akal. Maira cantik, Anfal tidak bisa menampik hal itu. Sayangnya, dia bodoh dan miskin, Anfal harus berpikir ribuan kali jika jatuh cinta padanya.

"Apa bener lo udah pergi dari kota ini?" tanya Anfal entah pada siapa.

Lama cowok itu berdiam diri di sana, dipandangnya kendaraan yang berlalu-lalang dengan tatapan kosong.

Mencoba membayangkan seandainya dia mau bertanggungjawab, mungkin sekarang dia sedang berada di dalam gubuk reyot bersama perempuan itu dengan baju robek-robek lagi kumal. Wajah tampannya akan tua sebelum waktunya. Malam hari tidak bisa tidur karena stres memikirkan bagaimana mencari makan untuk keesokkan harinya. Itu sungguh mengerikan!

Anfal bergidik takut sambil menggeleng cepat. Tidak! Dia punya otak cemerlang, rugi jika tidak digunakan dengan baik. Biar saja Maira pergi, ke Kutub Utara sekalipun Anfal tidak peduli.

Di tengah pikirannya yang carut-marut itu, pandangannya tanpa sengaja tertuju pada seorang perempuan yang tengah duduk sendirian di depan rumah sakit.

Maira? Anfal mengucek matanya, takut salah lihat. Namun, setelah Anfal pandang kembali perempuan itu, ternyata memang benar dia Maira.

Tanpa memikirkan apa-apa, Anfal menyebrangi jalan lalu berlari memasuki halaman rumah sakit, meninggalkan motornya begitu saja.

"Maira," lelaki itu membeku ketika melihat perempuan yang ada di depannya memang benar-benar Maira.

Maira mendongak, bola matanya membulat sempurna seperti baru saja melihat setan ketika tatapannya saling beradu dengan Anfal. Reflek, dia bangkit lalu berjalan mundur berusaha menjauhi lelaki itu.

Maira menggeleng, tubuhnya sudah menggigil ketakutan. Jaket yang dikenakannya dirapatkan, berusaha melindungi perutnya yang sudah terlihat buncit.

"Mau apa lagi kamu? Pergi!" usir Maira histeris, terus melangkah mundur sampai tubuhnya membentur tembok.

Melihat wajah Maira yang begitu ketakutan, membuat Anfal bingung harus berbuat apa. Dia memandang perut Maira, ternyata anak itu dijaga dengan baik, tidak lama lagi dia akan lahir ke dunia. Anfal sulit menjelaskan bagaimana perasaannya saat ini.

"Maira," panggilan itu spontan membuat Maira dan Anfal menoleh ke belakang.

"Ayah," Maira segera berjalan mendekati ayahnya.

Huh, syukurlah ayahnya segera kembali setelah menebus obat. Maira membuang napas lega.

Pak Imran menatap wajah Anfal tanpa ekspresi, dia merasa malu karena ketahuan berbohong. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, pria paruh baya itu segera menarik tangan Maira, pergi meninggalkan Anfal.

Ternyata dia masih di sini.

Ada perasaan lega setelah dia melihat Maira, apalagi saat melihat perut Maira yang sudah besar. Anak itu baik-baik saja, dia pasti beruntung lahir dari rahim seorang perempuan yang hatinya sebening embun. Dan jika dia tahu siapa ayahnya, dia pasti akan menyesal dan sangat kecewa karena memiliki ayah yang jahat. Memang akan jauh lebih baik jika anak itu tidak perlu mengenal siapa ayahnya.

Di Usia 16(Terbit)Where stories live. Discover now