39

44.8K 4.5K 111
                                    

Dalam perjalanan pulang dari masjid, Abbas mendadak menghentikan langkahnya, lalu menahan Anfal agar berhenti juga.

"Bah, Abah duluan aja. Abbas mau ajak Anfal keliling kampung dulu," kata Abbas, pada kakeknya yang sudah berjalan di depan.

Sang kakek hanya menoleh singkat, lalu mengangguk, dan kembali melanjutkan langkahnya.

"Serius, Bas? Ngapain?" tanya Anfal dengan wajah bingung.

"Ya biar lo hafal jalanan ini lah," balas Abbas.

"Bas, ini bukan kali pertama gue ke sini. Gue masih hafal jalan kok."

Abbas berdecak, tanpa mengucapkan apapun, cowok itu berinisiatif menarik tangan Anfal. Abbas tahu, bukan hal sulit bagi Anfal mengingat jalanan, karena otak cowok itu memang encer. Namun Anfal sudah lama tidak ke sini, jadi Abbas ingin mengajak cowok itu jalan-jalan sekalian ngobrol, biar lebih akrab. Abbas masih merasa tidak enak atas sikap dinginnya pada cowok itu semalam.

Rumah Abbas letaknya tidak begitu jauh dari perkebunan teh, hanya butuh waktu lima menit jalan kaki, maka hamparan kebun teh sudah terpampang jelas di depan mata.

Anfal hanya bisa pasrah ketika tangannya terus ditarik Abbas. Setelah sampai di perkebunan teh, Abbas mengajak Anfal duduk di atas rumput, di pinggiran kebun itu.

Udara dingin kian terasa, kebun teh belum terlihat jelas karena diselimuti kabut tebal. Di atas sana matahari mulai malu-malu memancarkan sinarnya. Pemandangan yang indah, menyesal Anfal tidak membawa kameranya.

Anfal memandang takjub hamparan kebun teh yang ada di depannya. Dia jadi ingat masa kecil, tiap kali Abbas mengajaknya main ke mari, dia pasti akan menolak dengan alasan tubuhnya selalu gatal-gatal setiap habis dari sini. Sungguh Anfal tidak habis pikir dengan sikap buruknya di masa lalu.

"Gue minta maaf, Fal."

Lamunan Anfal seketika buyar mendengar ucapan Abbas. Kenapa malah Abbas yang meminta maaf?

"Bukannya yang harusnya minta maaf itu gue ya? Karena selalu jadi Abang yang menyebalkan buat lo."

Abbas sedikit terenyuh mendengar kata 'Abang' dari mulut Anfal. Jika Anfal begini, baru Abbas merasa Anfal seperti abangnya.

"Ya udah, berarti kita harus saling minta maaf. Lo maafin gue gak?"

Anfal terkekeh, meski dia tidak tahu apa kesalahan Abbas padanya, tapi maafkan saja lah.

"Oke, kalo lo? Maafin gue gak?"

Abbas tampak berpikir, sampai Anfal menatapnya begitu penasaran. Cowok itu akhirnya tersenyum, lalu merangkul bahu Anfal dengan gemas.

"Tentu. Lo kan Abang gue yang paling baik," ucap Abbas lalu menarik pipi Anfal, mulai keluar sifat menyebalkannya.

"Bilang begitu karena lo gak punya Abang yang lain kan?"

"Siapa bilang? Ada kok."

"Siapa?"

"Abang ojek, Abang bengkel, Abang tukang bakso mari-mari—"

Anfal segera membekap mulut Abbas agar cowok itu tidak melanjutkan ucapan tidak jelasnya. Setelah itu keduanya kembali tertawa.

"Gue seneng lo tinggal di sini, jadi gue gak cuma tinggal sama Abah lagi."

"Gue juga seneng."

Pandangan yang semula ke depan, kembali dialihkan memandang Anfal di sampingnya.

"Hotel baru lo udah jadi?"

Anfal hanya mengangguk disertai pandangan yang masih lurus, tangan kanannya tanpa sadar mencabut rumput-rumput liar dengan kasar di sampingnya. Terlihat wajah cowok itu mulai agak tidak nyaman dengan pertanyaan Abbas.

Jika harus jujur, Anfal benar-benar terbebani tiap kali mengingat hotel berbintang yang telah rampung dan sudah menjadi miliknya itu. Anfal tidak menginginkannya, tapi ayahnya terus mendesak agar Anfal yang mengurus hotel itu.

Anfal memang sudah belajar banyak dari sang ayah, tapi tetap saja dia masih ragu pada kemampuannya. Dia tidak yakin bisa mengelola hotel yang baru grand opening dua Minggu lalu itu dengan baik, apalagi jika dia sudah mulai sibuk kuliah nanti. Sang ayah bahkan mewajibkan dia untuk pulang ke Jakarta seminggu sekali. Ah! Ayahnya memang kejam.

"Hebat ya, masih muda udah jadi CEO." puji Abbas, sangat bangga dengan pencapaian sepupunya itu.

Hebat? Apanya yang hebat. Anfal yakin, jika ayahnya tahu tentang kesalahan fatalnya di masa lalu, hotel itu pasti akan diambil alih olehnya. Bukan hanya hotel, bahkan semua fasilitas yang selama ini Anfal miliki, akan hangus juga. Anfal tidak akan menjadi apa-apa lagi setelah itu.

"Lo mau tukeran posisi?"

Abbas melotot, langsung menggeleng cepat.

"Gue bisa tekanan batin, Fal."

Itu yang gue rasain sekarang. Batin Anfal, miris.

"Lo kasih nama apa tuh hotel?"

Anfal mengulas senyum kecil, mood-nya kembali membaik jika ingat nama itu.

"Hai Dear hotel and resort."

Ada makna mendalam dibalik nama itu, hanya Tuhan dan Anfal sendirilah yang mengetahui.

~

Pagi ini Abbas berangkat naik angkutan umum karena motornya dipinjam oleh Anfal untuk membeli barang-barang keperluan ospeknya. Abbas masih heran, Abbas tahu motor cowok itu ada banyak, tapi kenapa ya dia tidak mau membawanya ke Bandung?

Baiklah, Abbas tahu niat Anfal yang ingin berubah dan mau belajar hidup sederhana, tapi apa harus sesederhana itu? Dia bahkan hanya membawa beberapa baju saja dari Jakarta. Jika begitu, jatuhnya bukan belajar hidup sederhana, tapi belajar hidup susah. Oke baiklah Abbas, sangat tidak penting kamu memikirkan cowok yang sulit ditebak itu. Terserah Anfal saja lah, itu kan hidup Anfal, kenapa jadi Abbas yang harus pusing.

Baru saja turun dari angkot, senyum Abbas langsung merekah ketika melihat Maira yang tengah berjalan memasuki gerbang sekolah. Abbas berlari mengejarnya.

"Pagi, Maira!" sapa Abbas, dengan senyum yang hangatnya melebihi sinar matahari.

Seperti biasa, ekspresi Maira datar saja. Meski begitu, entah kenapa Abbas selalu suka melihatnya. Wajah Maira benar-benar enak dipandang, dengan ekspresi apapun, cewek itu tetap terlihat cantik.

Maira terus berjalan dengan langkah agak cepat, terlihat sekali jika dia sedang berusaha menghindari Abbas. Apakah Abbas akan diam saja? Oh, tentu tidak. Langkahnya bahkan lebih lebar dari langkah Maira.

"Ada orang nyapa tuh dibales dong, masa dicuekin aja. Gak enak loh," kata Abbas lalu memanyunkan bibirnya, terlihat sangat lucu.

"Kalo wajah aku cuek kayak kamu, Fajar pasti bakal bilang, Abbasa. Kamu tau gak artinya?"

Penasaran, Maira akhirnya memandang wajah Abbas penuh tanya.

"Orang yang berwajah masam. Parah banget kan? Orang wajah aku cute gini."

Bukan Abbas namanya jika tidak pandai memuji diri sendiri. Selanjutnya Abbas terus berbicara meski tidak mendapatkan respon baik dari Maira.

Tanpa mereka sadari, jika ada orang yang terus memperhatikan mereka sejak tadi dengan raut penuh kebencian.

Dialah Elina, sang primadona sekolah yang tidak pernah mau dikalahkan dalam bidang apapun. Sungguh, Elina benar-benar muak melihat Maira. Dia tidak suka Abbas mendekati cewek itu. Dia tidak suka orang-orang memuji kecantikan cewek itu dan membandingkannya dengan dirinya. Dia benci pada sikap cewek itu, yang selalu sok jual mahal di depan Abbas atau cowok lain.

Apa sih istimewanya Maira? Biasa saja. Sudah lama Elina ingin memberi pelajaran pada adik kelasnya itu. Agar dia sadar diri, dan berhenti sok kecantikan.

Anak itu perlu diberi pelajaran. Dia pikir dia siapa, sampai bisa bersikap begitu sama Abbas. Tunggu aja bodoh, gue bakal lo menderita sebentar lagi.

Elina tersenyum licik ketika sebuah ide jahat muncul dalam otaknya. Tanpa membuang waktu, gadis itu berbalik arah dan berlari meninggalkan area sekolah. Dia harus ke toko secepatnya, sebelum bel masuk berbunyi.




To be continue...

Di Usia 16(Terbit)Where stories live. Discover now