31

52.2K 5.4K 88
                                    

Sial; itulah yang Maira rasakan saat ini. Apa yang dia takutkan benar terjadi, dia telat masuk lima menit, dan langsung didepak keluar oleh guru matematikanya. Sindi dan Anisa sudah berusaha membela, tapi sayangnya guru itu sama sekali tidak peduli. Dia paling tidak suka pada orang yang tidak on time. Bahkan meski telat tiga puluh detik saja, beliau tetap akan memberikan sanksi.

Maira tidak bisa berkutik, karena dia sadar dia yang salah. Akhirnya, dengan wajah sedih bercampur malu, dia mematuhi hukuman gurunya untuk menjemur diri di lapangan selama pelajaran matematika berlangsung.

Ini semua salah cowok itu!

Bulir-bulir keringat mulai membasahi pelipis Maira, sesekali Maira menyekanya, lalu kembali mendongakkan kepala sambil memberi hormat pada bendera. Setidaknya dia harus tetap bersyukur, karena sebelum dihukum dia sudah mengisi perutnya. Kalau tidak, bukan hal mustahil jika dia akan pingsan.

"Aduh!" Maira memejamkan matanya dan sedikit tersentak ketika merasakan ada sesuatu yang menempel di pipinya, terasa sangat dingin.

Abbas tertawa, lalu mengulurkan sebotol air mineral dingin pada Maira. Ish! Dia ini titisan makhluk gaib atau apa? Kenapa suka sekali datang tiba-tiba dan selalu mengagetkan? Maira menghentakkan kakinya kesal.

"Minum dulu," tawar Abbas, masih menyodorkan botol itu pada Maira.

Maira memutar bola matanya malas. "Gak haus." tolaknya singkat.

"Serius?"

Maira tidak minat untuk menanggapi lagi. Hatinya semakin mendidih karena kehadiran cowok itu.

"Maaf," Abbas kembali membuka suara, terdengar menyesal.

Mau tidak mau Maira menolehkan kepalanya memandang Abbas. Syukurlah kalau dia sadar jika dirinya salah. Haruskah Maira memaafkan?

"Kamu tenang aja, aku akan temani kok."

Alis Maira tertekuk aneh mendengar ucapan itu. What? Maaf, tapi Maira tidak butuh ditemani.

"Mau kamu apa? Kenapa kamu selalu ganggu aku?" tanya Maira, yang kini sudah kembali mendongakkan wajahnya pada tiang bendera.

"O, rupanya kamu terganggu ya? Padahal, aku gak ada niat loh buat ganggu kamu."

"Terus?"

"Aku memang kayak gini ke semua orang, termasuk ke adik kelas dan anak baru. So, kamu gak perlu geer."

"Apa? Maaf, siapa ya yang geer?"

"Lah, kan tadi aku bilang kamu."

Hei, geer untuk apa? Kenapa cowok ini bisa berpikir begitu jauh? Jangankan geer, melihatnya saja Maira tidak minat. Andai hukumannya sudah berakhir, Maira pasti akan berlari meninggalkan cowok yang tingkat kepercayaan dirinya sudah melebihi batas normal itu.

"Abbas!" teriak seorang gadis yang berdiri di sisi pilar depan kelas.

Abbas tidak menghiraukan, padahal teriakkan cewek itu cukup nyaring hingga Maira yang mendengarnya pun memejamkan mata karena telinganya terganggu.

Karena Abbas tidak ada merespon, dengan kesal akhirnya gadis itu berlari ke tengah lapangan, menghampiri Abbas.

"Bas, gimana sih? Kenapa malah di sini? Tadi katanya mau ke ruang OSIS!"

Maira memandang gadis yang tengah marah-marah itu. Bibirnya merah dan tubuhnya tinggi semampai, sangat cantik. Wajahnya mirip dengan foto yang ada di Mading, tidak salah, ini pasti Kak Elina yang sering jadi bahan pembicaraan teman-temannya.

Elina memandang Maira dari ujung kepala hingga kaki, kemudian menyunggingkan senyum sinis nya.

"Anak pindahan?" tanya Elina sambil melipat kedua tangannya di dada.

Di Usia 16(Terbit)Where stories live. Discover now