37

45.2K 4.6K 21
                                    

Abbas memarkirkan motornya di halaman rumah. Dahinya berkerut heran ketika melihat sebuah mobil sedan hitam mengkilap yang terparkir juga di sana, dengan seorang supir pribadi berbadan kekar tengah bersandar di pintu pengemudi.

"Abbas," sapa Pak Ilyas yang berdiri di beranda rumah.

Abbas tersenyum canggung kepada pria yang sudah dia anggap seperti orang tuanya itu. Cowok itu menghampiri Pak Ilyas, dicium tangannya dengan sopan.

"Kok, baru pulang?" tanya Pak Ilyas.

"Iy-"

"Abbas!"

Belum sempat Abbas menjawab pertanyaan Pak Ilyas, tiba-tiba saja tubuhnya dihambur oleh istri Pak Ilyas dengan erat.

"Mama kangen banget sama kamu," ucapnya, meleraikan pelukan, tersenyum hangat pada Abbas.

"Mama sehat?" tanya Abbas setelah mengecup tangan wanita berusia 40-tahunan itu.

Bu Aisha mengangguk. Abbas masih terheran-heran, bukannya Anfal akan datang lusa? Kenapa malam ini sudah ada di sini?

"Sekarang bukan Abah yang sudah pikun, tapi kamu." ujar Kakek Ahmad, yang sudah berdiri di depan pintu, memasang wajah tidak habis pikir pada cucunya.

Abbas menyeringai tanpa dosa, lalu berjalan menuju sang kakek, mencium tangannya. Abbas memang selalu berusaha agar memiliki akhlak yang baik, jadi jangan heran jika dia suka sekali menyalami tangan orang tua. Tidak hanya sanak saudara, kakek-kakek di pinggiran jalan yang sering meminta-minta pun sering Abbas cium punggung tangannya dan sudah menjadi sahabat karibnya. Abbas jika berteman tidak pernah pilih-pilih, siapa saja bisa jadi temannya selama orang itu baik.

"Maaf Bah, ada banyak urusan hari ini," alibinya.

"Lagian, bukannya Anfal baru akan ke sini lusa ya?"

"Anak itu udah gak nyaman di Jakarta, katanya mau cepat-cepat tinggal sama kamu." ujar Bu Aisha.

"Terus sekarang dia ke mana?" tanya Abbas, matanya menerawang ke segala penjuru, mencari sepupunya.

"Gue di sini," kata Anfal, keluar dari dalam rumah, lalu tersenyum pada Abbas.

Abbas memandang lelaki itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tubuhnya kian tinggi dan bersih, meski hanya mengenakan jeans hitam dan t-shirt putih, tapi terlihat modis. Mungkin karena baju bermerek, pikir Abbas.

Tanpa diduga, Anfal memeluk Abbas sampai Abbas melotot tidak percaya.

"Long time no see." kata cowok itu setelah melepaskan pelukannya, kembali melemparkan senyuman hangat pada Abbas.

Abbas mengernyit, ini benar Anfal? Kok, aneh sekali. Selalu nya jika ke sini cowok itu akan memasang wajah datar, lalu mencak-mencak sendiri karena ingin pulang. Namun, kenapa malam ini lain? Dia bahkan memeluk Abbas dan terus tersenyum. Abbas benar-benar heran dibuatnya.

"Karena Abbas udah pulang, jadi kita pamit balik ke Jakarta sekarang ya, Bah?" kata Bu Aisha pada kakek Ahmad.

"Kenapa gak nginep aja, Ma?" tanya Abbas.

Bu Aisha tersenyum manis. "Biasa. Papa kalian banyak kerjaan," jawabnya sambil melirik sang suami. Bu Aisha pun inginnya menginap, karena dia masih rindu pada Kakek Ahmad, tapi mau bagaimana lagi, suaminya besok pagi harus sudah kembali bekerja.

Pak Ilyas menghela napas, lalu merangkul bahu Abbas. "Bas, Papa percaya kamu jauh lebih bijak dari Anfal. Kami minta, tolong kamu pantau terus Abang kamu, kalo ada apa-apa, jangan sungkan lapor ke kami. Ya?"

Kali ini Anfal yang menghela napas. Kenapa orang tuanya belum juga bisa mempercayai jika dia bisa jaga diri sendiri? Kenapa coba harus menyusahkan hidup Abbas? Oh ayolah, mungkin mereka berpikir jika Abbas lebih bijak, tapi tetap saja kan Anfal yang lebih tua? Meski hanya selisih satu tahun.

Abbas hanya mengangguk dengan senyuman kecil. Iyakan sajalah, daripada memperpanjang waktu.

"Sayang, baik-baik di sini ya? Jangan nyusahin Abah," pesan Bu Aisha sambil mengusap lembut pipi Anfal.

"Iya, Ma."

Bu Aisha lalu memeluk Anfal begitu erat, Anfal hanya tersenyum. Entah sudah berapa kali sang ibu memeluknya hari ini, Anfal sampai tidak bisa menghitung saking banyaknya. Beberapa detik kemudian Bu Aisha mulai terisak.

Anfal mengusap-usap bahu ibunya penuh kasih sayang. "Ma, udahlah. Anfal kan cuma tinggal di Bandung, bukan di Bangladesh," ucapnya sambil terkekeh.

Bu Aisha malah semakin kencang tangisnya. "Tapi kan, ka-mu jarang banget jauh sama Ma-ma. Mama bakal kesepian, Nak." kata Bu Aisha disela isak tangisnya.

Tidak tega melihat istrinya begini, Pak Ilyas menarik tubuhnya pelan, lalu merangkulnya. "Udahlah, Ma. Toh di sini juga Anfal tinggal sama Abah, ada Abbas juga. Anfal yang ingin tinggal di sini 'kan? Dan seminggu sekali dia juga akan pulang ke Jakarta," ujar Pak Ilyas mencoba menenangkan.

"Walaupun gak ada Anfal, kan ada para pekerja. Lagian, kalo di Jakarta juga Anfal jarang ada di rumah."

Apa yang dikatakan Pak Ilyas memang ada benarnya juga. Kenapa Bu Aisha harus sesedih ini? Padahal, sejak SMA juga Anfal memang jarang sekali ada di rumah.

"Benar Aisha, jangan terlalu mencemaskan Anfal, dia akan baik-baik saja di sini." kata Kakek Ahmad.

Bu Aisha tersenyum pada ayahnya, lalu menyalami tangan renta itu.

"Bah, Aisha titip Anfal, kalau Abah ngerasa terbebani—"

"Sttt ... Anfal juga cucu Abah. Jangan bicara seperti itu, Abah sangat menyayanginya."

"Terima kasih Abah," lirih Bu Aisha dalam pelukan hangat ayahnya.

Sejak kedua orang tua Abbas meninggal, Bu Aisha selalu meminta Kakek Ahmad dan Abbas agar tinggal bersamanya, tapi Kakek Ahmad selalu menolak dengan alasan tidak bisa meninggalkan rumah yang penuh dengan kenangan bersama almarhumah sang istri. Begitupun dengan Abbas, setiap Bu Aisha menawarkan agar dia lanjut sekolah di Jakarta, Abbas selalu menolak dengan alasan tidak ingin meninggalkan kakeknya sendirian. Jika Bu Aisha memberi uang pun, Kakek Ahmad selalu menolaknya, bilang kalau dia masih bisa menghasilkan uang dari hasil jual-beli burung-burungnya.

Kepribadian Abbas yang sederhana, memang tidak lain karena sang kakek.

Setelah memeluk Anfal untuk kesekian kalinya, Pak Ilyas pun tidak ingin membuang waktu lagi. Karena tidak mau melihat istrinya yang terus menangis. Mereka meminta diri pada Kakek Ahmad, lalu Anfal dan Abbas mencium tangan mereka, dan keduanya pun masuk ke dalam mobil. Setelah supir pribadinya ikut masuk, mobil itu pun perlahan berjalan, meninggalkan pekarangan rumah kakek Ahmad.





ToBeContinue


Di Usia 16(Terbit)Where stories live. Discover now