23

63.6K 7.5K 292
                                    

Bayi merah yang amat menggemaskan itu akhirnya lahir ke dunia setelah hampir 24 jam Maira berjuang melawan rasa sakit.

Ternyata Maira tidak meninggal. Tuhan masih memberinya kesempatan untuk hidup lebih lama lagi. Setelah bayi itu lahir, Maira memang sempat mengalami pendarahan hingga membuatnya tidak sadarkan diri selama beberapa jam. Parahnya, bukan hanya dia yang pingsan, tapi Bu Nur pun ikut pingsan saking paniknya pada kondisi Maira.

Beruntung, dokter segera bertindak dan pendarahan yang Maira alami pun tidak begitu serius. Setelah sadar, Maira memberikan ASI pada bayi laki-lakinya dengan perasaan yang begitu haru.

Maira memandang bayi dalam pangkuannya lekat-lekat. Dia sangat menggemaskan. Pipinya tembam, bahkan meski masih sangat merah, ketampanannya sudah terpancar begitu kuat. Bibir mungil dan hidungnya yang bangir... kenapa harus dominan lebih mirip dia?

Pipi lembut itu diusap dengan sangat hati-hati. Entah ke mana hilangnya semua rasa sakit yang sebelumnya dia alami, semuanya berganti jadi rasa haru dan bahagia. Ini perasaan bahagia yang belum pernah Maira rasakan sebelumnya. Bahagia yang benar-benar bahagia. Ah, Maira terlalu sulit mengungkapkannya dengan kata-kata.

"Ibu, terima kasih banyak, Ibu sudah menguatkan Maira," ucap Maira dengan nada yang masih lemah, tersenyum pada Bu Nur.

Maira tidak tahu bagaimana jadinya jika tidak ada Bu Nur di sampingnya. Dia sangat berterima kasih kepada Bu Nur, karena sudah mau menemaninya berjuang dan juga menjadi penyemangat nya.

Bu Nur membalas senyum Maira dengan hangat. Hatinya lega dan amat bahagia setelah melihat Maira dan bayinya baik-baik saja. Alhamdulillah, Allah menyelamatkan keduanya. Bu Nur tidak perlu merasa takut lagi.

"Terima kasih juga, kamu sudah berjuang dengan hebat. Ibu bangga banget."

"Ternyata, Allah masih memberi Maira kesempatan. Padahal, Maira sempat berpikir kalo hari ini Maira akan mati."

"Sekarang kamu percaya kan, kalo Allah itu sayang banget sama kamu? Dia mau kamu menjaga anak ini dengan baik," kata Bu Nur sambil mengusap kepala bayi itu dengan lembut.

Maira mengangguk. Kendati masih merasa lemas, tapi dia terus saja mengukir senyum.

"Kamu sudah punya nama untuk baby tampan ini?"

Maira terdiam mendengar pertanyaan Bu Nur.

"Maira, kamu mau punya Adek laki-laki atau perempuan?" tanya ibu Maira sambil mengusap perut besarnya.

Tidak lama lagi Maira akan punya adik. Dia sangat menantikan kelahiran bayi dalam kandungan ibunya. Mau laki-laki atau perempuan, Maira tetap akan senang jika dia sudah lahir. Karena, Maira ingin punya teman. Hampir semua teman sekelasnya punya adik atau kakak, hanya dia yang belum punya.

"Apa aja deh." jawab Maira dengan senyuman lebar.

Sang ayah terkekeh sambil menggosok-gosok rambutnya. Maira cemberut mendapatkan perlakuan itu, kasihan ibunya sudah susah-susah mengepang rambutnya, eh ayahnya begitu mudah malah mengacak-acak.

"Ayah, rambut Maira jadi berantakan lagi kan," omel Maira masih cemberut.

Ayah dan ibunya malah tertawa, ditarik gemas pipi tembem Maira oleh sang ayah sampai memerah. Ah, sudahlah pipi Maira ini merah, jadi tambah merah kan?

"Anak Ayah ini memang paling cantik kalau cemberut," goda ayahnya.

Dibilang cantik, Maira tidak bisa untuk tidak tersenyum. Hilanglah rasa kesalnya saat itu juga.

"Maira pengen punya Adek laki-laki aja deh," ujar Maira membuat kedua orang tuanya saling berpandangan dengan wajah heran.

"Kenapa?" tanya kedua orang tuanya bersamaan.

"Karena kalau Adek Maira perempuan, nanti Maira gak akan dibilang 'anak yang paling cantik' lagi sama Ayah dan Ibu," ungkap Maira begitu jujur hingga membuat kedua orang tuanya terkekeh.

"Kalau lahirnya malah perempuan, gimana?" tanya sang ibu.

"Enggak apa, tapi kalian harus janji tetap panggil Maira anak yang paling cantik. Janji?"

Karena tidak ingin membuat anaknya sedih, maka keduanya pun mengangguk sebagai persetujuan.

"Kalo perempuan, Ayah akan kasih nama siapa?" tanya ibu Maira.

"Fatimah Az-Zahra."

Pak Imran sangat mengagumi sosok perempuan mulia yang merupakan anak dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam itu. Sudah cantik, akhlaknya begitu indah lagi.

"Ayah, itu kan nama Ibu!" ujar Maira tidak terima, sementara ibunya hanya menggeleng-geleng kan kepala dengan senyum yang terus terukir.

"Iya, Ayah hanya bercanda. Kalo perempuan, Ayah akan kasih nama Siti Hajar. Bagus gak?"

Maira mengangguk antusias. "Hajar Ibunda Nabi Ismail? Wah, bagus Ayah."

Ibunya tersenyum mengiyakan. Sejak Maira masih balita Pak Imran memang senang sekali menceritakan kisah-kisah Nabi padanya sebelum tidur.

"Kalo laki-laki?" tanya Maira, semakin penasaran.

"Haidar."

"Maira," panggil Bu Nur untuk kesekian kalinya.

Maira tersentak pelan, panggilan itu akhirnya berhasil membuyarkan lamunannya.

"Haidar," kata Maira setelah lama terdiam, dia kembali tersenyum memandang wajah tampan anaknya.

Hajar atau Haidar, nama itu tidak ada yang digunakan untuk calon adik Maira. Karena beberapa hari setelah itu, Ibunya tertabrak sebuah mobil hingga menyebabkan tubuhnya terpental ke aspal dan mengalami pendarahan hebat. Dan keduanya tidak bisa terselamatkan. Itu adalah tahun terpahit bagi Maira dan ayahnya, yang sebenarnya tidak ingin Maira ingat lagi.

"Haidar? Nama yang indah."

Maira mengecup pipi anaknya penuh kasih. "Assalamu'alaikum, Baby Haidar," panggil Maira lembut kepada anaknya, setetes air mata jatuh mengenai pipi Haidar. Tidak, kali ini bukan air mata kesedihan, tapi air mata bahagia.

Di Usia 16(Terbit)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant