52

45.1K 4.6K 46
                                    

Binar melepaskan pelukannya ketika mendengar tangisan bayi. Astaga! Dia baru sadar jika Maira tengah menggendong seorang bayi.

"Duh, maaf Mai, saking bahagianya aku sampe gak nyadar kamu bawa bayi," ucap Binar merasa sangat bersalah.

Maira hanya tersenyum kecil dengan gelengan kepala sambil berusaha menenangkan Haidar.

Binar memandang wajah bayi yang sudah kembali terdiam itu lamat-lamat, lalu mendongak menatap Maira. Wajah bayi itu, mengingatkan Binar pada seseorang, jangan-jangan...

"Ini anak siapa, Mai?" tanya Binar, mencoba memastikan jika dugaannya tidak benar. Tidak mungkin, ini pasti bukan anak Maira 'kan? Maira pindah sekolah, Pak Imran sendiri yang bilang begitu.

"Anak aku, Nar."

Binar membeku seketika, lalu terkekeh tidak percaya.

"Mai, kamu 'kan pindah ke Malang, ini pasti anak Tante Hanum ya?"

"Lihat wajahnya, Nar. Kamu pasti tau jawabannya."

Binar kembali memandang wajah Haidar. Gadis itu membekap mulutnya ketika wajah itu kian mengingatkannya pada seseorang. Tidak! Binar enggan mempercayai hal ini.

"Maira, jadi selama ini ...."

"Aku berhenti sekolah karena hamil. Aku gak pindah ke Malang, Nar."

"Kalo gak ke Malang, terus kamu ke mana selama ini?"

"Bandung. Ceritanya panjang, dan beginilah akhirnya." Maira kembali tersenyum seolah merasa baik-baik saja.

"Jadi ini anak Kak—"

"Ini anak aku." potong Maira, sebelum Binar menyebut nama bajingan itu.

"Dia tau?" tanya Binar masih terlihat tidak percaya. Namun, dia tidak menyebut nama Anfal karena takut Maira memotong ucapannya lagi.

Melihat dari raut wajah Maira, sepertinya dia sangat tidak nyaman dengan pertanyaan Binar.

"Udah sore, Nar. Aku pulang dulu ya," Maira malah mengalihkan pertanyaan Binar.

Ketika Maira akan kembali melangkah, dengan cepat Binar menahannya.

"Aku harap kamu masih menganggap aku sahabat, Mai."

Ya Allah, harusnya Maira yang berkata seperti itu, tapi Maira terlalu sadar diri jika dirinya tidak pantas memiliki sahabat sebaik Binar. Itulah alasan kenapa dia harus segera meninggalkan Binar.

"Aku pendosa, Nar. Aku gak pantes jadi sahabat kamu lagi."

Binar menggeleng. Saat ini dia merasa sangat bersalah. Harusnya dia selalu ada ketika Maira dalam kondisi terpuruk. Harusnya dia mencoba mencari Maira, bukan hanya diam dan percaya begitu saja dengan ucapan Pak Imran.

"Jangan ngomong gitu, Maira. Apapun yang terjadi, kamu tetap sahabatku. Jangan jauhin aku lagi ya?" pinta Binar sambil menggenggam sebelah tangan Maira.

Maira tersenyum haru. Hati Binar memang sebaik itu, beruntungnya Maira mengenal sosok seperti Binar.

"Kamu udah berapa hari ada di Jakarta? Pasti, kamu mau ke Bandung lagi ya? Terus, di sini lagi ngapain?"

Ah, pertanyaan bertubi-tubi seperti ini yang selalu Maira rindukan dari sosok Binar. Mendadak, Maira jadi ingat Sindi dan Anisa. Tidak Maira, jangan lagi mengingat mereka, mereka hanya teman sekolah. Kamu sudah tidak bersekolah di sana lagi, berarti mereka bukan teman kamu lagi. Batin Maira.

"Udah tiga hari. Enggak, aku gak akan ke sana lagi. Sebenernya, dari pagi aku lagi nyari kerja, tapi gak dapet. Mungkin karena aku bawa bayi, jadi gak ada yang mau memperkerjakan aku."

Di Usia 16(Terbit)Where stories live. Discover now