20

69.7K 6.8K 79
                                    

Maira duduk di teras belakang rumah dengan pandangan kosong. Banyak hal yang ada dipikirannya saat ini, dan semuanya terasa sangat menggangu.

Cacian, hinaan, cemoohan, dan segala macam bentuk ucapan menyakitkan hati lainnya sudah tidak asing lagi bagi Maira. Semua itu bagai makanan sehari-hari untuknya, rasanya hari tidak lengkap jika dia tidak mendapatkan sindiran pedas. Maira selalu berusaha sabar dan menerima jika yang dihina adalah dirinya, tapi jika ada yang menghina bayi dalam perutnya, sungguh dia tidak pernah bisa menerima.

Dia berpikir, bagaimana nasib anaknya kelak jika sudah lahir? Akankah dia bisa terima lahir dari rahim seorang perempuan yang tidak memiliki suami? Bisakah dia sabar menghadapi hinaan orang-orang? Mampukah dia bahagia meski tidak pernah mengenal sosok ayah?

"Maira," panggil Bu Nur dengan senyuman lembut, lalu duduk di sebelah Maira sambil membawa piring berisi potongan buah apel.

"Nih, makan," Bu Nur menyodorkan piring itu, tapi Maira malah menggeleng.

"Maira gak laper, Bu." tolak Maira, nadanya terdengar lemah, tidak ceria seperti biasanya.

Bu Nur meletakkan piring itu di teras, lalu memandang wajah Maira dengan iba. Sungguh Bu Nur sangat kagum pada Maira, sebab Maira begitu sabar menghadapi semua cobaan ini.

Maira masih sangat muda, usia semuda itu harusnya hanya dipusingkan dengan tugas sekolah, tapi Maira lain. Kasihan Maira, dari lubuk hati terdalamnya dia pasti rindu mengenakan seragam sekolah. Dia pasti rindu pada teman-temannya.

"Maira pasti kepikiran ucapan orang-orang ya?"

Lagi, Maira menggeleng dengan senyuman kecil. Perempuan itu kemudian kembali menatap lurus ke depan, di pandangannya rerumputan hijau yang bergoyang-goyang tertiup angin sore. Rasa tidak berselera untuk bicara atau makan.

"Kalo enggak, terus kenapa Maira ngelamun dari tadi?"

"Maira takut," gumam Maira lirih, membuat Bu Nur mengerutkan keningnya heran.

"Takut apa, Nak?"

Maira menunduk memandang perut besarnya, mengusapnya lembut.

"Maira takut baby kecewa lahir dari rahim seorang pendosa," kata Maira, tanpa terasa air matanya mulai menetes.

Bu Nur menggeleng mendengar ucapan Maira, tangan Maira diraih, lalu diusap pelan.

"Sayang, kamu gak boleh bicara seperti itu. Semua manusia memiliki dosa, semuanya. Allah sayang Maira, Allah kasih Maira kepercayaan buat menjadi seorang ibu. Baby pasti bangga punya ibu hebat seperti Maira," ucap Bu Nur, mencoba menguatkan.

Maira makin terisak. Apa karena bawaan hamil, dia jadi gampang sekali menangis?

"Gimana kalo suatu saat nanti dia menanyakan ayahnya? Maira takut Bu ... Maira takut ...." cicit Maira terdengar begitu menyayat hati.

Bu Nur menarik pelan tubuh Maira untuk bersandar padanya, dia mengusap lembut kepala Maira penuh kasih. Ini yang membuat Bu Nur semakin menyayangi Maira, Maira tidak pernah sungkan untuk bercerita padanya.

"Baby punya Mama, punya Nenek. Dia tidak akan pernah kekurangan kasih sayang, jadi untuk apa dia menanyakan ayahnya?" ujar Bu Nur.

"Baby tidak butuh ayah, baby hanya butuh seorang ibu. Ibu yang akan dipanggilnya Mama, yang hatinya secantik wajahnya. Mama yang akan menyayangi dia lebih dari apapun."

Benarkah begitu? Maira tidak yakin.

Maira kembali menegakkan duduknya, makin besar perutnya, makin berat bebannya. Sekarang dia mudah sekali sakit pinggang dan pegal-pegal. Jadi dia tidak bisa tahan lama dengan posisi apapun.

"Ibu, terima kasih ya, Ibu selalu baik sama Maira. Maira sangat beruntung mengenal Ibu," kata Maira setelah merasa sedikit lega, karena sudah menceritakan keresahannya pada Bu Nur.

"Harusnya Ibu yang berterima kasih, karena Maira sudah hadir dalam hidup Ibu. Ibu minta, kamu jangan pernah tinggalkan Ibu ya?" pinta Bu Nur penuh permohonan.

Bu Nur tidak mau tinggal sendirian lagi. Bu Nur sudah sangat menyayangi Maira, dan dia sangat takut jika suatu saat Maira pergi meninggalkannya.

Maira hanya tersenyum kecil. Dia tidak bisa berjanji, tapi dia akan berusaha untuk selalu ada di dekat Bu Nur.

Bu Nur tersenyum lega, tapi senyumnya hanya sesaat karena melihat wajah Maira kembali gelisah.

"Ibu, Maira takut ...." ucap Maira seolah tahu tatapan penuh tanya Bu Nur.

"Apalagi yang kamu takutkan, Nak?"

"Maira baru enam belas tahun, kalo Maira meninggal saat melahirkan nanti—"

"Maira! Jangan bicara seperti itu!" bentak Bu Nur lalu menggeleng cepat.

Maira langsung menunduk ketika melihat wajah Bu Nur sudah memerah. Entah apa kesalahannya, dia begitu takut melihat Bu Nur saat ini.

"Kalo Maira meninggal ... Ibu mau kan jaga anak Maira?" Maira tetap melanjutkan ucapannya, karena menurutnya ini sangat penting untuk dibicarakan.

Umur manusia tidak ada yang tahu kan? Maira sadar, hamil di usia yang masih sangat belia itu rawan akan kematian. Itulah sebabnya, ada baiknya jika dia mempersiapkan diri dari sekarang.

"Humaira, tolong jangan bicara seperti itu ...." pinta Bu Nur lirih, yang kini sudah menumpahkan air matanya.

"Ibu mau kan, janji untuk jaga anak Maira?" Maira mengulangi pertanyaannya sambil menatap mata Bu Nur lekat-lekat.

"Sayang ...." Bu Nur tidak mampu berkata-kata, dia hanya bisa menggeleng lemah.

"Bu ... Maira mohon. Maira gak mau baby tinggal di panti asuhan. Maira yakin, kalo dia dirawat sama Ibu, dia pasti akan jadi anak yang baik."

"Maira akan selamat, baby akan lahir dengan selamat. Jangan bicara seperti itu lagi ya?"

Maira pun berharap demikian, tapi ketakutan itu kian hari kian nyata dia rasakan. Di satu sisi dia sangat tidak sabar menantikan kelahiran anaknya, tapi di sisi lain dia takut jika ketika anaknya lahir, dia menutup mata untuk selamanya. Apakah ketakutan ini wajar dirasakan oleh setiap ibu hamil? Atau, hanya Maira yang merasakannya karena begitu takut akan sakitnya melahirkan? Entahlah. Apapun yang akan terjadi padanya kelak, dia harus terima. ~

Di Usia 16(Terbit)Where stories live. Discover now