54

49.6K 5.2K 107
                                    

Ini hari Minggu dan warung makan milik ibunya Binar tidak pernah sepi pengunjung. Sejak pagi hingga menjelang sore ini pembeli terus berdatangan sampai Maira tidak punya waktu untuk bersantai. Maira bekerja di sini hanya diberi waktu libur sehari dalam seminggu, sementara harinya tergantung Maira. Dan Maira sudah mengambil libur hari Jumat lalu.

Awalnya, Maira bekerja di sini sebagai tukang cuci piring. Namun, pernah beberapa hari ketika ibunya Binar pergi ke pasar, Maira disuruh buat melayani para pembeli. Dan ajaibnya, setiap Maira yang menjaga, pembeli jadi meningkat drastis dengan mayoritas kaum adam. Sejak itulah, Maira ditugaskan jadi pelayan.

Sebenarnya Maira merasa kurang nyaman, apalagi tiap kali dapat tatapan menjijikkan dari pria-pria hidung belang. Namun, karena dia butuh uang, maka tidak ada pilihan lain untuk terima saja perintah dari atasannya. Dan hari ini Maira merasa senang, karena Binar menemaninya sejak pagi.

Binar memang sering ke sini, tapi ketika pulang sekolah saja, itupun jika dia tidak sibuk dengan tugasnya. Karena sekarang dia sudah kelas XII, jadi waktunya memang lebih banyak dihabiskan di sekolah. Namun untuk hari Minggu, sesibuk apapun gadis itu selalu memilih menghabiskan waktunya di sini, karena ada Maira.

Meski sudah lama tidak bertemu, tapi hubungan persahabatan mereka tidak ada bedanya dengan dulu, hangat. Binar tidak pernah sungkan bercerita pada Maira, hanya saja Maira kini memang lebih tertutup. Dan Binar kini pun lebih paham, bahwa selalu ada beberapa masalah yang memang seharusnya tidak dibicarakan. Binar tidak pernah lagi memaksa Maira untuk bercerita jika memang tidak mau, karena dia takut membuat Maira merasa tidak nyaman.

"Mai, nyadar gak sih? Sejak tadi cowok itu ngeliatin kamu terus," bisik Binar sambil memperhatikan gerak-gerik salah satu pelanggan yang terus saja mencuri pandang pada Maira.

Maira hanya menggeleng dengan tangan sibuk membersihkan meja yang baru saja ditinggalkan pembeli, tanpa minat untuk memandang lelaki berkemeja kotak-kotak itu sama sekali. Piring dan gelas kotor dicapainya, lalu dia melangkah menuju wastafel. Binar berdecak sambil mengikuti Maira.

"Kayaknya dia suka deh sama kamu. Soalnya, aku perhatiin hampir tiap sore dia makan di sini. Padahal ya, sebelum ada kamu, aku gak pernah tuh liat cowok itu. Dan semenjak kamu kerja di sini juga, pembeli jadi meningkat. Memang ya, yang cantik tuh selalu beruntung."

Maira menoleh pada Binar, lalu kembali menggeleng dengan senyum kecut. Beruntung? Apanya? Hidup Maira saja sial terus.

"Bukan karena aku, tapi karena emang masakan ibu kamu yang enak." balas Maira, lalu meraih tas sandangnya yang tergeletak di meja dapur. Ini sudah jam pulang, lebih lima menit malah.

"Kamu tuh ya, selalu kayak gitu. Itu kamu mau ke mana udah bawa tas aja?"

"Pulang lah, ini udah waktunya pulang." Maira menyeka keringat di dahinya. Sumpah, rasanya hari ini lelah sekali, tapi kalau sudah melihat wajah ayah dan anaknya, lelahnya pasti hilang.

"Yah, jangan dulu dong. Aku bete tau di sini kalo gak ada kamu."

"Biarin lah, Nar. Ini udah waktunya Maira pulang, dia kan punya anak di rumah. Kalo anaknya nangis gimana?" ujar sang ibu yang baru saja pulang dari minimarket. Plastik putih berisi minyak dan beberapa bumbu dapur yang dibawa diletakkan di atas meja.

Maira membuang napas lega. Akhirnya ibunya Binar pulang juga, jadi dia tidak harus mencari alasan lagi untuk segera pulang.

Binar memanyunkan bibirnya. Dia sadar kalau Maira memang sudah punya anak, tiap kali diajak main pun cewek itu selalu menolak dengan alasan menjaga anaknya. Fakta itu membuat Binar kadang agak kesal, karena bermain bersama Maira tidak sebebas ketika mereka masih sama-sama sekolah. Ya mau bagaimana lagi, ini sudah takdir. Bisa bersahabat kembali dengan Maira saja harusnya Binar sudah beruntung.

Di Usia 16(Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang