9

62.1K 7.3K 119
                                    

Sudah tiga hari Maira tidak ada keluar dari rumah. Bahkan untuk sekedar menjemur pakaian saja, sang ayah tidak mengizinkan.

Meski sikap Pak Imran masih sama dinginnya, tapi ada satu hal yang patut Maira syukuri; bahwa beliau masih tetap perhatian pada Maira. Itu membuktikan jika sebesar apapun kesalahan Maira, Pak Imran masih menyayanginya.

Pak Imran melarang Maira untuk melakukan banyak pekerjaan, dia hanya memperbolehkan Maira masak dan menyapu lantai dalam rumah saja.

"Mau ngapain kamu?"

"Mau nyuci, Yah." jawab Maira yang sudah membawa keranjang pakaian kotor dari kamar ayahnya.

Pak Imran menarik keranjang itu. "Tidak perlu. Biar Ayah yang mengerjakannya," ucapnya dengan nada datar.

"Tapi Ayah—"

"Jangan membantah. Atau kamu mau kandungan kamu kenapa-kenapa?"

Pak Imran berjalan menuju kamar mandi sambil membawa keranjang baju itu, dan Maira tersenyum setelah mendengar ucapannya. Hati Maira menghangat, tidak percaya jika ayahnya ternyata peduli juga pada calon cucunya.

Tok tok tok!

Suara ketukan pintu itu membuyarkan lamunan Maira. Maira mengerutkan keningnya heran, bertanya dalam hati siapa kiranya yang mengetuk pintu rumah dia sepagi ini?

Ketika Maira keluar dari kamarnya, hendak membukakan pintu, dengan cepat Pak Imran menahannya.

"Sudah Ayah bilang jangan keluar."

"Assalamualaikum! Maira! Kamu ada di dalam kan? Ini aku Mai, Binar!"

"Binar," gumam Maira ketika mendengar suara di depan pintu rumahnya.

Binar, Maira sangat merindukannya, benar-benar rindu. Apa Binar sudah tidak marah lagi padanya?

"Ayah, itu Binar. Biarin Maira keluar ya? Maira kangen sama dia," pinta Maira.

Pak Imran menggeleng tegas.

"Masuk kembali ke kamar. Masuk!" perintah Pak Imran dengan nada geram sambil mendorong pelan tubuh Maira agar masuk kembali ke kamar.

Maira menggeleng, menatap ayahnya penuh permohonan. "Sekali ini aja Ayah, Maira mohon ...." lirih Maira.

Pak Imran membuang muka, tidak tega melihat wajah sedih anaknya. Bukannya dia jahat pada Maira, tapi ini juga demi kebaikan Maira. Pak Imran tahu jika Binar adalah sahabat baik Maira, dan Pak Imran sangat takut jika Maira akan mengatakan hal itu pada Binar. Tidak! Pak Imran sangat tidak siap jika kabar buruk ini menyebar luas.

"Masuk Maira."

Maira tidak bisa memaksa lagi, dia patuh masuk ke dalam kamarnya.

Pak Imran keluar menemui Binar. Binar mendongakkan kepalanya menatap Pak Imran, lalu mencium punggung tangan pria itu.

"Om, Maira ada kan? Dia kenapa ya kok gak masuk-masuk sekolah? Apa dia sakit?" pertanyaan bertubi-tubi dilemparkan Binar.

"Maira tidak ada."

Pak Imran tidak tahu, apa ucapannya itu masuk dalam kategori bohong demi kebaikan atau apa, yang jelas dia tidak ingin Maira bertemu dengan siapapun untuk saat ini.

Maira mendengarkan perkataan mereka dari balik tembok kamarnya, hatinya mencelos mendengar jawaban sang ayah.

Binar membulatkan mata tidak percaya. "Tidak ada ke mana? Maira pindah sekolah? Gak mungkin kan, Om?" tanyanya dengan nada sedikit serak.

Entah kenapa dada Binar tiba-tiba sesak mendengar ucapan Pak Imran. Binar ingin bertemu Maira. Binar ingin meminta maaf pada Maira. Terlalu menyakitkan rasanya jika dia tidak bisa bertemu dengan sahabatnya lagi.

"Benar. Maira sudah pergi ke Malang dua hari lalu."

Lagi-lagi Pak Imran berbohong, dalam hati dia terus mengucapkan kata maaf kepada Tuhan.

"Gak mungkin Om! Maira! Kamu ada di dalam kan? Tolong keluar, Mai!" teriak Binar enggan mempercayai kenyataan. "Maaf Om, Binar izin masuk." Gadis itu menerobos masuk ke dalam rumah.

Dengan cepat Maira mengunci pintu kamarnya ketika mendengar langkah kaki Binar kian dekat. Maira berdiri di balik pintu, menahan pintu itu takut didobrak, mengingat jika Binar adalah gadis yang nekat.

"Maira! Keluar Mai! Aku tau kamu ada di dalam! Aku tau, Mai! Kamu gak mungkin kan pergi ke Malang? Buat apa coba pindah ke sana? Bukannya kamu sendiri yang dulu pernah bilang kalo Tante kamu satu-satunya yang tinggal di Malang itu orangnya galak?!" Binar berteriak seperti orang gila sambil terus menggedor pintu kamar Maira dengan keras.

Di balik pintu, tubuh Maira sudah merosot lemah dengan tangisan tertahan.

"Binar, cukup! Kamu tidak percaya pada, Om?!" berang Pak Imran berusaha menahan tubuh Binar agar berhenti melakukan hal konyol.

Binar memberontak kasar, seragam sekolahnya sudah kusut. Dia tidak peduli hari ini mau kesiangan atau apa, yang penting dia bisa bertemu Maira!

Binar maju satu langkah, kening dan sebelah tangannya ditempelkan pada pintu kamar Maira. Tanpa disadari, dia sudah terisak.

"Mai, aku minta maaf soal hari itu. Maaf karena udah paksa kamu buat cerita sama aku, tapi aku janji ... aku janji gak akan paksa lagi. Maafin aku ya? Aku kangen Mai ...." Binar berusaha meraup oksigen sebanyak-banyaknya. "Aku kangen banget sama kamu," lanjutnya begitu lirih.

Aku juga kangen banget sama kamu, Binar. Maafin aku, aku bukan sahabat yang baik.

Maira hanya bisa memeluk lutut dengan sebelah tangan, sementara tangannya yang lain sibuk menutup mulut karena menahan tangis agar tidak terdengar.

Binar mengusap kasar air matanya. Dia benci menangis! Sepertinya apa yang Pak Imran katakan memang benar. Buktinya sejak tadi Binar tidak mendengar suara apapun di dalam kamar Maira.

"Om, maaf ya Binar udah gak sopan," ucap Binar merasa bersalah pada Pak Imran.

Pak Imran hanya mengangguk pelan.

"Kalo gitu Binar pamit." Binar menyalami tangan Pak Imran, langkahnya kembali diayunkan meninggalkan rumah itu dengan perasaan hampa.

Di Usia 16(Terbit)Onde histórias criam vida. Descubra agora