15

68K 8.2K 165
                                    

Langit kelam tanpa dihiasi satupun bintang, ditemani aliran udara kencang membuat rambut panjang Maira yang hanya diikat asal menjadi kian berantakan.

Maira tidak tahu dia akan ke mana. Saat ini dia hanya bisa mengikuti langkah kaki, hingga akhirnya langkahnya membawa dia ke jalanan yang amat sunyi. Suasana jalanan itu terasa mencekam, dari kiri kanan yang bisa Maira temukan hanyalah area perkebunan sawi putih. Belum lagi jalanan itu juga menanjak, Maira harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk terus berjalan.

Tubuh Maira menggigil, antara ketakutan dan kedinginan, Maira tidak bisa membedakan keduanya.

Udara Bandung dini hari kian bengis menusuk kulit putihnya, tapi kali ini Maira merasa lain. Ada yang aneh, seperti ada seseorang yang mengintainya sejak tadi. Apakah itu hantu? Maira mengusap-usap lengannya, dia benar-benar ketakutan sekarang.

"Aaaaaaaaaa!"

Maira berteriak histeris ketika melihat seseorang dengan wajah berkedok kain hitam tiba-tiba sudah berada di hadapannya.

Secepat kilat, orang itu merampas tas di tangan Maira lalu berlari dengan langkah seribu. Ketika bayangan orang itu sudah menghilang, Maira baru tersadar dengan apa yang terjadi padanya.

"Tas ku? Maling!" Maira kembali berteriak, tanpa pikir panjang dia berlari mengejar orang itu.

Dan semua usahanya sia-sia. Dia sudah berteriak meminta tolong, berlari, tapi tidak ada satu orangpun yang mendengar. Maira menangis dengan napas tersengal-sengal.

Sekarang dia semakin putus asa. Semua pakaian dan uang hasil memecahkan celengannya telah hilang. Adakah orang yang masih mau membantunya?

Duar!!

Suara guntur yang amat keras berhasil menyentak dan menghentikan tangisnya. Maira menengadah ke langit, setetes demi setetes air mulai turun. Apa penderitaannya belum cukup? Setelah Maira berjalan jauh, lalu tasnya diambil maling, dan sekarang hujan harus turun?

Kenapa sekejam ini takdir yang harus aku jalani, Tuhan?

Maira kembali menangis di bawah hujan yang kian deras dengan petir menggelegar saling bersahutan. Kadang kala cahaya kilat itu terlihat amat jelas sampai Maira merasa akan tersambar. Namun, dia tetap meneruskan perjalanan sambil memeluk tubuhnya yang berbalut jaket hitam pemberian sang ayah.

"Maira kangen ayah ...." lirih Maira dengan bibir bergetar.

Maira tidak pernah jauh dari ayahnya. Maira tidak pernah berani pergi jauh jika tidak bersama ayahnya. Sekarang, dia pergi tanpa ditemani ayahnya. Belum sepuluh jam dia meninggalkan rumah, rasanya sudah rindu saja. Ini pasti karma untuk dia, karena pergi tanpa pamit baik-baik pada sang ayah.

Maafkan Maira, Ayah....

Setelah setengah jam berjalan tidak tentu arah, akhirnya Maira menemukan jejeran ruko yang sudah tutup, rasanya seperti punya harapan baru. Maira berjalan menuju salah satu ruko itu, dia duduk di pinggiran, kembali memeluk tubuhnya. Hujan masih deras, setidaknya di sini Maira bisa berteduh.

"Sayang, dingin ya?" Maira bertanya pada anaknya dengan bibir pucat dan bergetar.

Dia semakin mengeratkan jaketnya, berusaha melindungi perutnya agar bayinya di dalam sana tidak ikut merasa kedinginan.

"Makasih, Nak. Makasih karena kamu sudah jadi anak baik di dalam sana."

Perlahan mata Maira mulai terpejam, dia terlelap dalam keadaan memprihatinkan.

~

"Ya Allah ... anak siapa ini?" wanita berhijab hitam itu membekap mulutnya terkejut ketika melihat seorang perempuan tengah tertidur di depan rukonya.

Wanita itu menggoyangkan bahu Maira dengan pelan.

"Neng, bangun," kata wanita itu dengan logat Sunda yang halus.

Maira perlahan membuka matanya. Dia mendongak menatap wanita di hadapannya. Tangan lemahnya berusaha meraih tangan wanita itu.

"Ibu, to-long saya ... tolong saya ...." mohon nya dengan suara nyaris tak terdengar mahluk lain, kecuali oleh wanita di hadapannya saja.

Ibu? Wanita itu tersenyum merasa tersentuh dengan panggilan yang baru saja dia dengar.

"Mari ikut Ibu," ajaknya tanpa pikir panjang dengan nada begitu lembut, lalu membantu Maira untuk bangkit.

Maira dituntun masuk ke dalam mobilnya.

~

Ayah, maaf Maira harus pergi. Maira tidak bisa tinggal bersama Tante Hanum. Maaf Ayah, Maira sudah mengecewakan Ayah. Ayah tidak perlu cari Maira, Maira janji akan kembali menemui Ayah jika Allah menghendaki. Ayah jaga diri baik-baik ya.

Maira sayang Ayah ❤️

Tubuh Pak Imran merosot setelah membaca selembar kertas yang tergeletak di meja kamar Maira.

"Maira!" dia berteriak pilu sambil menggeleng tidak percaya.

"Mas, ada apa?" tanya Tante Hanum cemas.

Wanita itu baru saja selesai bersolek, bersiap untuk kembali ke Malang.

Pak Imran dengan lemah menyodorkan kertas itu kepada adiknya. Berkerut dahi Tante Hanum setelah membacanya.

Tante Hanum membuka lemari pakaian Maira, hanya ada beberapa baju yang tersisa. Maira tidak main-main menuliskan surat itu. Sekarang Tante Hanum mulai menyesali ucapannya. Maira pasti pergi karena sakit hati padanya.

"Maafkan Tante, Maira ...."

Tante Hanum seorang ibu. Harusnya dia bisa memahami bagaimana perasaan keponakannya. Ibu mana yang rela berpisah dari anaknya? Mungkin bagi Tante Hanum ini adalah keputusan terbaik, tapi tidak bagi Maira.

Sekarang ke mana mereka harus mencari Maira? Maira bahkan meminta agar tidak perlu dicari.

"Mas Imran! Mas kamu mau pergi ke mana?" Tante Hanum sekuat tenaga menahan Pak Imran yang hendak pergi.

"Saya harus cari Maira."

Tante Hanum menggeleng, perih hatinya melihat keadaan kakaknya yang begitu kacau.

"Cari ke mana, Mas? Memangnya Mas tahu dia pergi ke mana?"

"Lalu apa yang harus saya lakukan sekarang?!"

"Sabar, Mas. Mengucap ... Maira pasti akan kembali."

Tidak bisa. Pak Imran tidak bisa sabar dengan keadaan seperti ini. Dia harus mencari Maira, dia tidak siap kehilangan anaknya.

Nak, kamu di mana sayang? Tolong jangan tinggalkan ayah ... tolong jangan buat ayah menderita.

Di Usia 16(Terbit)Where stories live. Discover now