18

65K 7.3K 143
                                    

Bu Nur memandang wajah Maira. Maira mengedipkan matanya beberapa kali dengan ekspresi memohon. Karena terlihat sangat menggemaskan, akhirnya Bu Nur tidak bisa untuk tidak tersenyum.

"Kamu yakin? Ibu takut kamu kecapekan, Nak."

Maira bingung, harus dengan cara apa lagi dia merayu Bu Nur? Dia bosan hanya berdiam diri di rumah. Dia ingin sekali membantu Bu Nur bekerja di toko kelontongnya, tapi sejak kemarin Bu Nur terus saja melarang, dengan alasan takut Maira letih.

"Maira mau temani Ibu, boleh kan? Please ...."

Bu Nur menghela napas, kembali tersenyum. "Baiklah, tapi kamu janji ya, jangan banyak bergerak dan jangan angkat-angkat barang berat," peringat Bu Nur.

Maira mengangguk cepat, lalu tersenyum lebar. "Terima kasih Ibu," ucapnya begitu senang.

~

Sejak pagi toko kelontong Bu Nur ramai pembeli, beruntung dia tidak bekerja sendirian. Dia punya dua pegawai laki-laki, satu berjaga di sini untuk mengangkat barang-barang. Dan satunya lagi dipekerjakan untuk mengirim pesanan ke warung-warung langganan. Sementara Bu Nur, tugasnya di sini melayani para pembeli.

Sejak tadi Bu Nur terus saja mengawasi Maira. Maira gerak sedikit ingin membantu mengambilkan barang, dengan cepat Bu Nur melarangnya. Bahkan Maira berdiri kurang dari sepuluh menit saja, Bu Nur sudah berteriak-teriak menyuruh dia untuk kembali duduk.

Toko kelontong Bu Nur ini lumayan besar. Karena ada banyak jenis makanan, jadilah Maira menghabiskan waktu menemani Bu Nur sambil makan. Semakin ke sini Maira semakin mudah lapar, porsi makannya semakin banyak. Jenis makanan apapun masuk ke dalam perutnya, tidak ada pantangan sama sekali, asalkan tidak pedas dan tidak membahayakan janinnya. Hal itu membuat Bu Nur merasa senang dan selalu membawa banyak stok makanan untuk di rumah.

"Mai, Ibu mau ke toilet sebentar. Kalo ada pembeli tolong kamu layani ya? Tapi ingat, kalo belinya banyak kamu minta bantuan Pak Harun."

"Iya, Bu."

Bu Nur berlari ke belakang karena tidak tahan lagi ingin buang air kecil. Maira masih asyik menguyah roti sambil membaca buku nota.

"Punten."

(Permisi)

Maira mengalihkan perhatiannya pada seorang ibu yang kini sudah berdiri di hadapannya. Dengan agak susah Maira berdiri, sebelah tangannya menopang punggung, lalu tersenyum ramah pada ibu bertubuh tinggi besar itu.

"Iya, Bu. Mau beli apa?"

Wanita itu menatap Maira dengan wajah heran. Dia pelanggan setia di toko ini, dan baru sekarang dia melihat Maira. Siapa perempuan hamil ini? Saudara Bu Nur kah? Setahunya, Bu Nur itu sudah tidak punya keluarga. Dia meneliti penampilan Maira dari ujung kepala hingga ujung kaki. Jelas dari wajah lugu Maira ibu itu bisa tahu jika usia Maira masih belia, tapi tidak salah kah dia sedang mengandung?

Wanita itu kemudian memutar bola matanya, memasang wajah tidak habis pikir. Dia menduga, tidak salah lagi, perempuan ini hamil pasti hasil hubungan di luar nikah. Memalukan!

"Bu?" Maira memecahkan lamunan wanita itu.

"Ari Neng saha nya?" tanya wanita itu dengan bahasa Sunda yang tidak Maira pahami.

(Kamu siapa ya)

Maira hanya menggaruk tengkuknya, bingung harus menjawab apa.

Di Usia 16(Terbit)Where stories live. Discover now